Warga di Blok 8, Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, memakai perahu karet menyusuri genangan banjir/Muh. Syawal - Bollo.id
Warga di Blok 8, Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, memakai perahu karet menyusuri genangan banjir/Muh. Syawal - Bollo.id

Banjir Makassar Bertahun-tahun: Pemerintah Kota Lupa Belajar dan Warga Sudah Ampun!

Fatiha selalu menghitung banjir yang terjadi di lingkungannya. Dalam rentang November 2022 hingga Februari 2023, banjir telah terjadi sebanyak lima kali.

Makassar, Bollo.id Banjir yang merendam Kecamatan Manggala, Kota Makassar seolah menjadi program tahunan dan, ketika banjir datang, warga selalu punya permintaan sederhana: Pemerintah Kota punya solusi mengatasi bencana ini.

“Kami ini kalau mau hitung-hitungan sudah 20 tahun seperti ini,” kata Fatiah Bahmid, seorang warga di Blok 8 Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

“Makanya adakah solusi?”


Baca juga: Belum Ada Mitigasi bagi Warga Pesisir Takalar yang Terdampak Abrasi


Reporter Bollo.id menemui Fatiah pada sore cerah, di Masjid dekat rumah Fatiah yang dijadikan warga untuk mengungsi. Fatiah mengenakan baju terusan hijau dan baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan oleh tim Palang Merah Indonesia.

Masjid itu berdiri di atas daratan yang lebih tinggi di kawasan itu, di tepi jalan penghubung. Rumah Fatiah dan tetangganya berdiri di daratan yang jauh lebih rendah bak dalam cekungan. Ketika banjir menelan rumah-rumah, Masjid itu menyediakan tempat aman buat semua orang di lingkungan itu.

“Awal 2000, masjid ini masih sangat sederhana,” kenang Fatiah. “Kami sudah merasakan bulan puasa di sini. Sahur sampai lebaran di sini.”

Fatiah mulai berlangganan banjir pada awal 2000. Kala itu, tinggi banjir belum melewati lutut. Dan sejak itu, Fatiah bersama tetangganya mulai merasakan bagaimana menjadi pengungsi.

Tahun-tahun berikutnya, banjir mulai setinggi manusia dewasa, bahkan di beberapa tempat, banjir hanya menyisakan atap rumah buat pemiliknya.

“Semakin kesini bukan banjirnya semakin turun, tapi ini malah rumah kami yang tenggelam,” seloroh Fatiha.

***

Warga menggunakan perahu karet untuk membantu warga lain mengamankan barang berharga/Muh. Syawal – Bollo.id

Banjir yang dialami Fatiah terjadi sejak 12 Februari, setelah hujan dengan intensitas tinggi turun sejak Pukul 03.00 dini hari dan membanjiri nyaris seluruh Kota Makassar.

Dari kondisi terkini, setidaknya ada 26 titik yang tersebar di 9 kelurahan dari 3 kecamatan, menurut laporan situasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Makassar, pada 19 Februari. 1740 orang dari 449 keluarga terpaksa mengungsi di 30 titik pengungsian.

“Sekitar 50 persen wilayah Kota Makassar ini, memang adalah wilayah resapan air. Artinya rawah-rawah,” kata Adi Maulana, Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin.

“Jika dilihat dari foto udara, Makassar memang dataran rendah.”

“Cuman dulunya itu tidak dibuat permukiman karena penduduk masih kurang,” lanjut Adi. “Sekarang dengan pertumbuhan penduduk yang semakin besar, maka membutuhkan wilayah untuk permukiman.”

Lantas apa akibat dari pembangunan itu?  “Banyak pengembang [properti] yang [akhirnya] membuka lahan yang tadinya daerah resapan air lalu dijadikan permukiman baik itu disekitar sungai atau waduk yang ada,” jelas Adi.

“Jadi, jika hujan turun tidak ada lagi tempat [resapan]. Mau tidak mau maka akan terjadi genangan hingga banjir.” Adi menambahkan bahwa banjir di Kota Makassar kian parah seiring krisis iklim yang mendera bumi satu dekade terakhir.

Wali Kota Makassar Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, baru-baru ini menyinggung pengembangan perumahan di Kecamatan Manggala, tempat Fatiah bermukim.

Senada dengan Adi, Danny menuduh pembangunan perumahan memicu banjir parah, karena telah ‘memusnahkan’ daerah resapan, menyempitkan dan menyumbat limpasan aliran air.

Perubahan lanskap di kawasan Kecamatan Manggala, sekitar rumah Fatiah/Bollo.id

Menurut Adi, dari seluruh deretan permasalahan banjir menahun di Makassar, ada persoalan yang “sederhana”–kalau tak ingin menyebutnya “klise”: Drainase yang tak lagi mampu menampung limpasan air hujan. “Jadi ketika air hujan turun itu nanti akan meluap termasuk di kanal sungai,” kata Adi.

“Jadi dimaksimalkan lagi konektivitas drainase, kemudian tentu juga kebijakan untuk membatasi adanya pembukaan lahan, atau pendirian pemukiman di daerah resapan air.” Adi juga tak menampik ada pengaruh pasang air laut, yang menghambat limpasan air dari daratan.

Tetapi apakah mitigasi bencana banjir di Kota Makassar telah berjalan? “Sebenarnya mitigasi sudah berjalan,” jawab Adi.

“Tapi mungkin belum maksimal.”

Adi mengklaim, Rencana Kontingensi untuk banjir sudah dimiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah, tetapi tidak tersosialisasikan, dan tak pernah disimulasikan. Inilah yang membuat kesiapsiagaan menghadapi banjir menumpul. Rencana Kontingensi adalah dokumen kesiapsiagaan bencana yang memuat sumber daya yang tersedia, kondisi geografis, populasi, dan hal-hal teknis saat sebelum dan darurat bencana. Dokumen ini harusnya dimutakhirkan tiap tahun seiring perubahan yang ada.

“Kalau kesiapsiagaan meningkat maka kalau terjadi banjir efeknya tidak terlalu besar,” kata Adi.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Amin, memandang hal serupa: mitigasi yang ada seperti jauh panggang dari api.

“Pemerintah kita baik kota maupun provinsi tidak belajar dan tidak melakukan apa-apa terkait mitigasi. Padahal banjir terjadi tiap tahun,” jelasnya.

Mengharapkan Solusi

Uly adalah seorang Ibu, tetangga Fatiah. Dia telah menempati wilayah ini sejak dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan dia terkejut, makin tahun, banjir kian parah.

Uly tidak diam. Berulang kali dia mengadu ke siapapun yang dia anggap sebagai pihak berwenang. Namun, mendapatkan solusi bak mimpi di siang bolong.

“Belum ada solusi. Saya tidak tahu apa penyebabnya,” ujarnya.

Fatiah dan Uly adalah dua warga yang terpaksa meninggalkan rumah barang sejenak dan menelan kerugian yang tidak sedikit. Dalam sekejap mata, mereka menjadi pengungsi bencana.

Baru-baru ini Danny Pomanto, Wali kota Makassar dalam wawancara di CNN Indonesia, menegur presenter karena stasiun televisi itu menampilkan wilayah kumuh yang terendam banjir. Dia tak mau Makassar disangka penuh dengan wilayah kumuh.

Dalam sesi wawancara itu, Danny ditanya tentang solusi pemerintah kota. Dan Danny mengklaim pemerintahan yang dia pimpin telah bekerja maksimal.

“[Orang] selalu berkata untuk sabar,” Fatiah menghela napas.

Kurang sabar apa, Fatiha bertanya. “Kami mengalami ini selama 23 tahun. kalaupun kami mau pergi. Kami mau ke mana?”

Fatiha selalu menghitung banjir yang terjadi di lingkungannya. Dalam rentang November 2022 hingga Februari 2023, banjir telah terjadi sebanyak lima kali.

“Jadi tolong sampaikan suara kami. Carikan solusinya, kami capek, Pak.”

1 Comment

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content