Menjaga Kampung Adat dengan Nalar Sederhana

Masyarakat adat di Sulawesi Selatan sangat menjaga hutan karena merupakan sumber kehidupan. Jika ada melanggar maka dikenakan sanksi adat.

hutan adat kajang
Hutan adat Kajang/Istimewa

Makassar, bollo.id Lengang, menjadi kesan pertama yang terasa saat tiba di gerbang masuk Kampung Adat Amma Toa, di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang jaraknya 56 kilometer dari ibu kota kabupaten.

“Salamaki Antama Ri Lalang Embaya, Rambang Seppana I Amma”. Artinya, Selamat datang di Kajang Dalam, kawasan adat Amma Toa.

Tulisan itu menjadi penyambut, saat tiba di kampung adat tersebut. Dan tentu menjadi pusat perhatian, karena berada tepat di gerbang Desa Tana Toa, yang diapit dua pendopo sebagai tempat transit bagi yang ingin masuk ke sana.

Lantaran, memasuki Kampung Amma Toa berarti harus mematuhi adat istiadatnya. Segala jenis alas kaki harus dilepas dan wajib mengenakan pakaian serba hitam. Dan berjalan di atas jalan setapak penuh bebatuan, yang kiri kanan dipenuhi pohon rindang yang merupakan kawasan hutan adat.

Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan merupakan Topena Linua, atau sumber oksigen sekaligus sumber kehidupan seluruh makhluk sekitarnya. Sehingga, pengelolaan hutan tidak bisa secara personal, tetapi bersama-sama.

Demi memastikan kehidupan ramah lingkungan, masyarakat Adat Kajang memiliki hukum adat yang terdiri atas beberapa aturan. Salah satunya ialah ‘Jagai linoa lollong bonena, kammayya toppa langika siagang rupa taua siagang boronga’ yang intinya ialah mengenai pemeliharaan bumi beserta isinya, demikian juga halnya langit, manusia, dan hutan. 

Hukum adat ini ditegakkan Ketua Masyarakat Adat Kajang yang disebut Ammatoa. Aturan atau prinsip lainnya ialah “Yamintu boronga akkio bosi ang ngenne erea nipake a’lamung pare, baddo appa’nia’ timbusia”, yang artinya, itulah hutan yang menyebabkan turunnya hujan untuk digunakan menanam padi, jagung dan sebagainya.

“Sebagian besar Masyarakat Adat Kajang ialah petani. Menanam padi, jagung, dan lain-lain. Dalam persiapan selama 12 bulan, kami bisa menghasilkan persediaan yang mencukupi kebutuhan selama tiga tahun, seperti yang kami simpan di atas (langit-langit rumah),” jelas Ammatoa.

Selain Kampung Adat Kajang di Bulukumba, ada kampung adat di Kabupaten Sinjai, Sulsel yang memang bertetangga, sama-sama berada dalam kawasan hutan adat, yaitu Kampung Adat Karampuang, Kecamatan Bulupoddo.

Bagi Masyarakat Adat Karampuang, menjaga hutan sama halnya dengan menjaga kehidupan. Mereka memiliki banyak kearifan lokal dalam mengelola hutan dan bagi yang melakukan pelanggaran, akan mendapat sanksi adat.

Sebuah pohon besar diperkirakan berusia ratusan tahun berdiri kokoh di pintu masuk hutan. Di sampingnya, ada sumur yang airnya berwarna putih susu. Orang-orang kadang mampir membasuh muka sembari mengucap hajat dalam hatinya.

Dalam kawasan ini terdapat dua rumah adat berdiri kokoh sebagai kediaman dua pemangku adat utama yaitu To Matoa dan Gella. To Matoa adalah pimpinan tertinggi adat yang menjalankan roda pemerintahan yang dibantu oleh beberapa pemangku adat. Sementara Gella mengurus sektor pertanian, perkebunan, kehutanan.


Baca juga : Masih Lemahnya Perlindungan terhadap Masyarakat Adat


Menurut Puang Mengga, yang merupakan Gella,  terkait pengelolaan hutan mereka memiliki sejumlah prinsip seperti mappakalebbi ale’ atau menghargai dan menghormati hutan, mappatau ale’ atau memanusiakan hutan, dan makkamase ale’ atau kasih sayang hutan, juga tuo kamase ale’ atau prinsip hidup selaras dengan alam.

“Bagi kami, menjaga hutan sama halnya dengan menjaga kehidupan sehingga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk terus menjaganya. Seluruh warga yang tinggal di Karampuang punya tugas dan tanggung jawab penuh untuk memelihara dan menjaga kelestarian hutan seperti halnya menjaga keluarga, sebab kalau hutan rusak maka warga pun akan celaka,” urai Puang Mengga.

Selain di Kabupaten Bulukumba, dan Sinjai, ada kampung ada yang sangat dikenal, karena menjadi lokasi kunjungan wisata budaya dan wisata religi di Sulsel, yaitu Desa Adat Kete Kesu di kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sulsel, Devo Khadafi  menyebut, Kete Kesu sudah terkenal dengan kebudayaannya di kancah Internasional. Jika berkunjung ke sana, wisatawan akan menjumpai barisan Tongkonan, rumah adat Toraja. 

Juga ada tradisi kuburan di tebing, yaitu orang yang sudah meninggal dikuburkan di sebuah tebing dan ditandai dengan patung kayu yang menyerupai wajah mereka yang dikuburkan di tebing tersebut.

“Tentu kita akan tetap menjaga dan melestarikan desa-desa dan kampung ada yang ada tanpa merusak tatanan yang ada. Karena keindahan alam dan mitos serta keunikan itulah, yang membuat orang ingin berkunjung. Tentu dengan tetap menerapkan aturan-aturan yang berlaku di sana,” sebut Devo.

Dia menambahkan, beberapa waktu lalu, Disbudpar Sulsel bersama sejumlah stakeholder yang bergerak di bidang kebudayaan dan kepariwisataan, juga didukung Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulsel, membuat suatu kajian.

Kajian itu, menganalisis daya saing pariwisata unggulan Sulsel melalui pemetaan sisi permintaan dan penawaran destinasi unggulan. Kemudian menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) destinasi unggulan pariwisata di Sulsel.

Dan ternyata, dalam kajian tersebut, Direktur Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, M Firdauz Muttaqin mengungkapkan, berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap persepsi wisatawan domestik akan destinasi unggulan di Sulsel, seluruh objek kajian di Kota Makassar, Kabupaten Maros, Bulukumba, Tana Toraja, dan Toraja Utara menunjukkan daya saing internal yang kuat (Strength) dan daya saing eksternal yang menjadi peluang (Opportunity). 

“Sehingga strategi yang dapat dilakukan adalah promosi wisata yang menonjolkan kekuatan dan keunikan masing-masing destinasi, dirangkaikan dengan paket wisata, event wisata, festival budaya, expo wisata, travel fair, dan digital marketing,” katanya. 

Sementara persepsi wisatawan mancanegara masih menjadi tantangan bagi pariwisata Sulsel. Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap persepsi wisatawan mancanegara akan destinasi unggulan di Sulsel, seluruh objek kajian di Kota Makassar, Maros, Bulukumba, Tana Toraja, dan Toraja Utara sudah menunjukkan daya saing internal yang kuat (Strength), namun daya saing eksternal di Bulukumba dan Makassar masih menjadi ancaman (Threat).

“Oleh karenanya, dibutuhkan diversifikasi destinasi dan atraksi wisata untuk menonjolkan kekuatan destinasi sementara masih dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor eksternal. Sehingga promosi destinasi dibutuhkan untuk menonjolkan kekuatan destinasi pariwisata eksisting,” pungkas Firdauz. 

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content