Nur Afni Aripin / Foto: Arsip-Washilah
/

Mengenang Afni…

Nur Afni Aripin, dulunya suka mengafirkan orang, kini menjadi sosok yang terbuka dengan perbedaan.

Catatan editor: Sebagian isi tulisan dapat memicu trauma dan ketidaknyamanan pembaca.

Apa yang kau bayangkan dari alumni pesantren lalu masuk kampus Islam? Dia mendobrak itu.

Dia menolak wajib jilbab. Menurutnya, itu kontrol sosial terhadap perempuan. Sebuah tafsir tunggal yang tak adil. 

Dia pembangkang, tidak takut pada kematian. Dia bahkan pernah menulis tidak ingin lagi meminum obatnya, agar penyakit gondok beracun yang dia derita selama ini bisa melumatnya.

Nama dia, Nur Afni Aripin. Menghabiskan masa kanak-kanaknya di Pinrang, bagian utara Sulawesi Selatan. Lalu pada 2018, Afni–begitu dia dikenal–mulai menempuh kuliah Jurusan Ilmu Politik di Fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik, UIN Alauddin Makassar. 

Bukan karena dia suka politik, atau kelak terjun di dunia itu. Satu-satu alasannya, karena dia hanya ingin kuliah. Tidak peduli apa pun jurusannya.

“Dari pada saya dinikahkan kalau tinggal di kampung,” begitu dia bercerita kepada saya. Cerita sama yang kerap dia ulangi pada siapa pun yang menanyakan kenapa dia hendak kuliah politik tapi ‘membenci’ politisi. 

Pertemuan pertama saya dengan Afni pada 2020, saat mengikuti In House Training Jurnalistik. Fase awal perekrutan anggota di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Washilah —organisasi mahasiswa yang fokus di bidang jurnalistik.

Afni, kala itu bukanlah pribadi yang menonjol. Di forum diskusi, dia tidak pernah mengacungkan tangan. Saya bahkan tidak menyadari ada seorang manusia bernama Afni berada di antara puluhan peserta.

Saya baru mengenalnya secara pribadi beberapa bulan setelahnya. Saat-saat dia menjalani masa magang di Washilah selama sembilan bulan.

Di Washilah, ada tiga tipe anggota magang. Ada yang aktif berkarya, tetapi jarang ke Rujab —sebutan untuk Sekretariat Washilah. Ada yang selalu ke Rujab, tetapi tidak berkarya. Terakhir, ada yang aktif berkarya dan juga sering ke Rujab.

Afni tipe yang pertama. Dia aktif menulis cerita pendek dan puisi, yang kelak membuat Afni dipercaya menulis untuk rubrik sastra. 

Sebelum mengakhiri masa magang dan dikukuhkan menjadi anggota, Afni menulis berita soal pungutan liar yang terjadi di perpustakaan di fakultasnya. 

Begitu terbit, tulisan itu dipersoalkan petinggi kampus. Afni ditelepon Wakil Dekan III Fakultas. Lalu, dia pun menyampaikan kabar itu ke saya sebagai Pimpinan Umum Washilah, kala itu. Dengan nada panik dan suara yang bergetar, Afni bercerita jika dirinya diminta menghadap.

***

Setelah resmi jadi anggota Washilah, Afni kian rajin membaca. Buku apa pun. 

Afni juga rajin mengikuti pelatihan. Pada 2022, dia mengikuti Narative Journalism Tour yang diadakan Yayasan Pantau, lalu mengikuti Workshop dan Beasiswa Produksi Konten Keberagaman untuk Mahasiswa SEJUK pada 2022 dan 2023.

Pengalaman dan bacaan itu mengubah Afni yang dulunya suka mengafirkan orang menjadi terbuka dengan perbedaan. 

Perempuan yang tidak menonjol di In House Training Jurnalistik itu, belakangan jadi Pimpinan Redaksi Washilah. Afni disukai para pengurus lain dan reporternya. Pribadinya sederhana, terus terang, mengayomi, dan selalu menjadi pendengar yang baik.

Reporternya pernah menulis berita pelarangan cadar di UIN Alauddin, yang belakangan dipersoalkan pihak kampus. Saat menceritakannya pada saya–yang kala itu menjabat Dewan Pakar, dia tidak lagi gemetar dan panik.

Padahal, dia bukan sekadar dipanggil menghadap. Dia dimaki-maki hingga diancam skorsing!

Saat saya bertemu untuk membahas hal itu, dia hanya senyum-senyum. Dia berani.

Sambil menjalankan tanggung jawabnya sebagai Pimpinan Redaksi Washilah, dia juga kerap datang ke kantong-kantong perlawanan warga di Makassar, yang sedang memperjuangkan hak mereka. 

Pernah suatu ketika, sekitar pukul 02:00 WITA, kami yang kala itu nongkrong di Rujab Washilah memacu kendaraan ke Barabarayya, satu kampung kota di jantung Makassar. Setelah seorang kawan mengabarkan bahwa beberapa rumah di sana akan digusur di malam itu juga. 

Setiba di sana, tidak ada kejelasan. Tidak ada penggusuran. Saya ketiduran di atas jok motor, lalu paginya kelimpungan mencari Afni. Ternyata dia tertidur di bawah tangga sebuah rumah kosong bekas kebakaran.

***

Afni juga penulis yang jujur. Dia kerap menyebut dunia ini menyebalkan, tetapi secara bersamaan menikmati tiap momen yang dia lewatkan. Penuh riang dan gembira.

Salah satu momen yang dia selalu kenang, saat dia bertemu Andreas Harsono di Manado. Saat mengikuti Narative Journalism Tour oleh Yayasan Pantau. 

Di pelatihan itu Afni aktif. 

Afni saat menghadiri Narative Journalism Tour yang diadakan Yayasan Pantau di Manado/Daniel Kaligis.

“Saya masih ingat beberapa pertanyaan Afni soal kebebasan beragama ketika kami berkunjung ke Sinagog, di Tondano,” kenang Andreas, pengajar di Yayasan Pantau–cum peneliti di Human Right Watch.

Andreas mengenang Afni sebagai jurnalis muda yang mau membela hak perempuan: para perempuan pesisir Makassar, menolak kontrol sosial terhadap perempuan lewat pakaian-pakaian mereka, sunat perempuan, hingga menentang poligami. Afni menolak wajib jilbab, tafsir tunggal terhadap aurat yang dianggapnya tidak adil. Di Tomohon, dia mulai pakai topi dan sesekali melepaskan topinya.

“Saya melihat seorang perempuan muda yang pemberani, dan bakatnya sebagai wartawan besar sekali,” kata Andreas. “Saya jarang bertemu perempuan muda, umur 20-an tahun, dengan rasa ingin tahu dan keberanian macam Afni.”

***

Lima belas hari sebelum menemui ajalnya, 10 September 2023, Afni mampir ke Rujab. Malam itu kali terakhir saya bertemu.

Seperti biasa sepulang liputan seharian —Afni bekerja di Detik.com— , dia datang dengan muka lesuh. Napas yang berat. Mengeluhkan banyak hal. Mengeluhkan pekerjaannya. Mengeluhkan pertanyaan orang-orang terhadap pilihannya membuka jilbab. Dan mengeluhkan komentar orang-orang terhadap tubuhnya.

“Memang saya kurus sekali kah?” tanya Afni.

Beberapa teman yang ada malam itu menjawab sekenanya. Tapi lebih banyak yang memilih diam. Mereka tahu Afni bukan tipe orang yang memikirkan omongan orang lain. Dia hanya lelah saja.

Namun yang membuat saya terperangah malam itu, ketika dia bilang tidak akan menghadiri wisudanya pada 12 September 2023. Karena orang tuanya di Pinrang tidak akan ke Makassar. Ada ‘miskomunikasi.’

Usai menyandang sarjana tanpa prosesi wisuda, Afni sebenarnya berencana pulang ke Pinrang, untuk berfoto studio bersama keluarganya. Mengenakan jubah dengan toga, berpose laiknya seorang sarjana muda yang baru saja wisuda.

Afni juga mengungkapkan niatnya buat menggelar hajatan untuk gelar sarjananya ketika tiba di Pinrang. Namun, sebelum itu terwujud, kejadian memilukan menimpanya. 

Kemarin, Senin 25 September 2023, Afni menghembuskan napas terakhirnya, di Jalan Poros Pammanjengan, Moncongloe, Kabupaten Maros, sekitar pukul 15.40 WITA, depan ambang sebuah perumahan. Afni saat itu sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit untuk memeriksa kesehatan dirinya. Hari itu dia libur.

Afni ditabrak sebuah truk pengangkut galian C tanpa muatan. Kepala Afni pendarahan. Tubuhnya terkapar di jalan, di atas darahnya. Afni meninggal di tempat.

Afni dimakamkan di kampung halamannya di Kabupaten Pinrang/Arya Nur Prianugraha

Afni pulang ke Pinrang dengan iringan sirine yang bersahut-sahutan. Mobil polisi yang mengawalnya, dan mobil jenazah yang mengangkutnya. Setiba di Pinrang, tidak ada toga. Tidak ada foto studio. Tidak ada hajatan perayaan gelar sarjana.

Di rumahnya, Afni disambut tangisan.


Nur Afni Aripin lahir pada 26 Agustus 2000. Obituari ini ditulis oleh Arya Nurprianugraha, dan tayang bersama dengan Washilah, tempat Afni menaruh separuh jiwanya.

Arya Nurprianugraha

Arya Nur Prianugraha, kini bekerja sebagai jurnalis di media online. Sebelumnya aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Washilah.

2 Comments

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Layak Dikenang

Musim Penyiksaan

Ia meninggal pada Kamis, 27 November 2008. Tercetak pada batang kayu salib yang tertancap di pusara:

Ritual Pagi L. E Manuhua

Ia meliput banyak peristiwa bersejarah dari masalah Republik Maluku Selatan hingga jadi saksi buat mengenali jasad

Skip to content