Seorang perempuan pemulung menyusuri lorong pemukiman pemulung di TPA Antang/Chaerani Arief
Seorang perempuan pemulung menyusuri lorong pemukiman pemulung di TPA Antang/Chaerani Arief

Perempuan Pemulung Makassar di Tengah Ancaman Cemaran Logam Berat 

”Kami hanya butuh makan, kalau sakit tinggal ke dokter."

Siang itu, Rabu 16 Agustus 2023, cuaca begitu terik. Matahari serasa satu jengkal di atas kepala. Panas dan menyengat. 

Saya sedang berdiri depan pintu masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang, sebuah fasilitas pengelolaan sampah seluas 19,1 hektare, di pinggiran Kota Makassar. Menyaksikan truk-truk dengan muatan sampah hilir mudik dari fasilitas ini.

Di salah satu bak truk itu, sampah menggunung. Ada botol plastik bekas minuman. Ban hangus terbakar. Botol oli. Sampah-sampah basah yang busuk. Dan sampah elektronik.

Di samping kiri antrean truk sampah, ada sebuah lorong sempit menuju rumah-rumah pemulung. Dan, di samping lorong itu Kantor Pengelolaan TPA Antang berdiri, berhadapan dengan sebuah Puskesmas Terpadu (Pustu), yang tampaknya sudah tutup.

Lorong itu hanya beralas tanah, dengan tumpukan sampah kering yang telah terbungkus karung, bertumpuk rapi, ‘menghiasi’ sepanjang lorong, dan depan rumah mereka.

Di lorong ini, ada sepuluh rumah berpetak-petak dengan dinding seng dan kayu yang lapuk. Dari rumah ini, penampungan TPA terpaut enam meter. 

Ketika menyusuri lorong itu, saya menyaksikan dua anak perempuan sedang asyik memaini air dari dalam baskom. Salah satu anak itu mencipratkan air ke lantai, searah saluran tempat pembuangan. Yang satu memasukkan air itu ke dalam mulutnya.

“Di situ kita ambil air,” kata Sinar, menunjuk sebuah keran air yang bersumber dari PDAM Makassar. “Semuanya pakai selang masuk ke rumah. Tidak ada langsung. Air ini juga yang dipakai minum, tidak dimasak. Itu juga dipakai warga-warga di sini.”

Satu dekade lalu, warga dan Sinar bergantung pada sebuah sumur untuk kebutuhan air bersih, sebelum air sumur itu tercemar. “Baunya kayak bau got. Hitam.” (Belakangan, warga menggunakan air sumur itu untuk mencuci botol bekas. Terkadang dipakai untuk mandi dan mencuci).

Sinar tak ingin dikutip dengan nama sebenarnya. Sinar adalah seorang perempuan pemulung yang juga tinggal di sana, sejak 1993, tak lama setelah TPA Antang beroperasi. Kini, Sinar berusia 30-an tahun. 

Rumah Sinar tepat berada di ujung lorong, dengan karung-karung berisi sampah plastik bertumpuk di ambang rumahnya.

Dari depan rumah Sinar, saya bisa menyaksikan aktivitas yang sedang berlangsung di TPA–saking dekatnya. Ketika angin berembus, aroma gas yang tajam berdatangan dan menusuk hidung.

Aktivitas di dalam TPA Antang/Chaerani Arief
Aktivitas di dalam TPA Antang/Chaerani Arief

Di tempat penampungan itu, sampah yang berasal dari segala penjuru kota dikumpul, membentuk sebuah pegunungan setinggi 30-an meter, dengan cetakan ‘terasering’ pada punggungannya. Di antara gunungan sampah itu, dua ekskavator sedang mengoyak-ngoyak sampah, sembari menyemprotkan kepulan jelaga hitam ke udara. 

Biasanya, Sinar akan berada di sana, mengais-ngais sampah untuk dijual kembali. “Nanti kita pisah sendiri antara aluminium, kaleng, sama besi, dan plastik-plastik,” Sinar bercerita. 

“Kita pilah sesuai jenisnya. Kita lihat dulu dia masuk jenis besi, kuningan, alma, atau apa.”

Pekerjaan ini membuat Sinar rentan terhadap paparan zat berbahaya. Ketika bekerja, Sinar hanya melindungi dirinya dengan pakaian biasa dan sepatu boots. Tak ada masker. Tak ada sarung tangan. 

Sinar tahu, pekerjaannya itu mendekatkan dirinya kepada berbagai penyakit. Apalagi tempat Sinar mengepul sampah, dipenuhi sebaran sampah elektronik yang mengandung konsentrasi logam berat, yang berbahaya bagi kesehatan. Salah satunya baterai.

Sampah baterai mengandung logam berat seperti kobalt, kadmium, lithium, mangan, timbal, dan nikel. Kandungan ini dapat mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahkan limbah baterai ini masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). 

Laporan organisasi non pemerintah, Save the Children pada Februari 2023 lalu, menunjukkan bahwa potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun. Limbah elektronik ini pun bermuara ke TPA Antang, tempat Sinar dan puluhan perempuan pemulung–berbagai usia–mengais hidup.

Save the Children mencatat, setidaknya tiga kecamatan di Kota Makassar menyumbang limbah elektronik terbesar; Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. 

Secara persentase, sampah elektronik ini berupa; televisi (100 %), ponsel (99,7%), kipas angin (93,2%), setrika (93,2%), kulkas (89,2%), penanak nasi (88,7%), laptop (76,4%) dan AC (49,5%). 

“Sampah elektronik itu harus punya TPA sendiri. Dia tidak boleh bergabung dengan sampah lainnya,” begitu menurut Irwan Ridwan Rahim, Kepala Laboratorium Riset Sanitasi dan Persampahan Teknik Lingkungan Universitas Hasanuddin. 

Bagi Irwan, adanya pemukiman pemulung di wilayah aktivitas TPA, sangat mengancam kesehatan mereka. Lebih parah, jika dalam TPA itu, terdapat sampah elektronik yang mengandung konsentrasi logam berat berbahaya. 

“Standarnya [adalah] tidak boleh ada masyarakat [di sekitar TPA],” kata Irwan. “Cuman memang pemerintah kita saat ini terlalu mentolerir. Padahal dalam standar itu tidak boleh, karena yang namanya TPA itu tidak boleh ada aktivitas di dalamnya, selain untuk membuang sampah atau limbah.”

Menurut Irwan, limbah B3 itu: “Dikelola maupun tidak dikelola tetap ada ancamannya.” 

“Tapi,” kata Irwan. “Akan lebih besar jika tidak dikelola sesuai standar yang ada.”

Dari seluruh sampah elektronik ini–masih dari riset Save the Children, sebanyak 40 persen disimpan oleh pemulung dan hanya 33 persen yang dijual. Sementara, ada 20 persen sampah elektronik yang dapat diperbaiki oleh pemulung, 4 persen dibuang–menjadi limbah kembali, dan hanya 3 persen yang dapat didaur ulang.

Ada data lain. Hasil penelitian yang dirujuk oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, menunjukkan dalam setahun ada 5.000 ton sampah elektronik yang bermuara ke TPA Antang. DLH Kota Makassar mengakui belum punya data spesifik tentang sampah elektronik yang ada di TPA Antang. TPA Antang juga belum dilengkapi alat dan standar pengelolaan sampah elektronik.

Logam berat dapat mencemari air, tanah, udara, hingga sampah makanan yang ikut menyatu dengan sampah elektronik–sampah yang juga memapar para perempuan pemulung ketika bekerja.

Pencemaran air akibat logam berat di TPA Antang, salah satunya terlihat dari hasil penelitian Firmawati Suwardi, seorang mahasiswa sarjana kesehatan masyarakat, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, pada 2011 lalu. 

Firmawati menguji sampel air dari sumur yang digali warga di sekitar TPA Antang. Hasilnya? Pada sampel terdapat konsentrasi logam berat jenis timbal (Pb) sebesar 0.128 ppm, atau melampaui ambang batas 0.05 ppm (bagian persejuta), yang ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990. (Catatan: Peraturan ini telah diganti dengan Permenkes Nomor 2 Tahun 2023).

Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa air bersih di sekitar TPA Antang, terkontaminasi logam berat jenis mangan (Mn), menurut penelitian Maya Malle, mahasiswa Departemen Kesehatan Lingkungan Universitas Hasanuddin.

Setidaknya ada dua sampel uji, yang menunjukkan masing-masing konsentrasi mangan sebesar 0.63 mg/l (miligram perliter) dan 0.65 mg/l atau melampaui baku mutu 0.5 mg/l yang ditetapkan Permenkes No 32 Tahun 2017. (Catatan: Peraturan ini menggantikan Permenkes Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. Namun juga telah digantikan oleh Permenkes Nomor 2 Tahun 2023).

Baru-baru ini, saya mengajukan pengujian dua sampel air ke laboratorium swasta, di Makassar. Sampel itu berasal dari dua sumber dekat permukiman pemulung, yang digunakan warga TPA Lama dan Baru.

Di TPA Lama, tempat Sinar, saya mengambil sampel air yang bersumber dari PDAM Makassar.

Hasilnya? Air mengandung timbal (Pb) sebanyak 0,027 ppm atau berada di bawah ambang batas Permenkes 2/2023 sebesar 0,01 ppm. Begitupun pada hasil pengujian parameter Besi (Fe) dengan hasil 0,027 mg/l. Atau berada di bawah ambang batas sebesar 0.2 mg/l.

Sementara hasil pada pengujian sampel air sumur di TPA Baru, terdapat kontaminasi timbal sebanyak 0.027 ppm, dan 0.027 mg/l besi. Hasil uji ini berada di bawah ambang batas.

Meski begitu, sumber air tersebut masih berpotensi besar untuk tercemar logam berat–terutama pada sumur. Lantaran, dengan titik sumber air itu, jarak TPA hanya terpaut 6 meter. 

Seorang perempuan pemulung menata sampah hasil mulungnya/Chaerani Arief
Seorang perempuan pemulung menata sampah hasil mulungnya/Chaerani Arief

Tak ada pilihan lain… 

Ada ancaman berbahaya yang senantiasa menghantui. Tetapi, perempuan pemulung di TPA Antang tak punya pilihan lain.

”Mau apa?” kata Fitri, seorang perempuan pemulung di TPA Antang. “Kalau tidak pergi mulung kita dapat uang dari mana?”

Bagi Fitriani, bekerja sebagai pemulung sungguh menyenangkan. Tidak banyak aturan yang mengungkung. Bahkan, tak perlu sekolah tinggi. “Kalau sakit kita tinggal ke dokter saja,” seloroh Fitriani. “Tapi sejauh ini jarang pemulung mengeluh sakit.”

Namun, data yang dihimpun Puskesmas Pembantu (Pustu) Tamangapa menceritakan hal berbeda.

Sepanjang 2019 hingga 2023, setidaknya ada lima jenis penyakit terbanyak yang diidap masyarakat sekitar TPA Antang, yang diduga berkaitan dengan efek pencemaran. Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA). Hipertensi (HT), Gastritis (asam lambung), Cephalgia (sakit kepala), dan Dermatitis (alergi).

Pada 2019 jumlah kasus ISPA sebanyak 91. HT 87 kasus, Gastritis 79 kasus, Cephalgia 52 kasus. Dan dermatitis 79 kasus. 

Pada 2021 angka penderita ISPA sebanyak 38 orang, HT 30 kasus, Gastritis 17 kasus, Cephalgia 18 kasus, dan dermatitis 26 kasus.

Di tahun berikutnya, angka penderita ISPA sebanyak 27 pasien dan naik sebanyak 29 pasien hingga periode Mei 2023. Pada pasien penyakit gastritis sekitar 23 orang, kemudian meningkat 24 orang di 2023. Penderita cephalgia yang tercatat 23 pasien juga naik menjadi 24 penderita di 2023. 

Bagi Irwan Ridwan Rahim, dampak kesehatan bagi masyarakat–termasuk Sinar dan Fitriani–bukan hanya dirasakan dalam jangka pendek seperti ISPA, batuk, atau penyakit paru, tetapi juga dalam jangka panjang–10 atau 20 tahun ke depan, ketika tubuh telah dalam kondisi rentan. 

“Jangka pendeknya itu misalnya mereka memilah sampah jenis baterai, itu kalau meledak dan terbakar gasnya sangat bahaya saat terhirup. Kita bisa infeksi saluran pernapasan, batuk dan pusing,” Irwan mencontohkan pada saya. 

“Sementara jangka panjangnya seperti saat dia sudah tua baru lah muncul kanker, dan sebagainya.”

Dua keluarga Fitriani, yang juga bekerja sebagai pemulung meninggal dalam keadaan sakit parah. Iparnya, Sanneng Daeng Te’ne dan Daeng Layik, ibunya.

Iparnya, Sanneng Daeng Te’ne meninggal di usia 49 tahun, pada akhir 2021. Sanneng divonis mengidap kanker kulit dan payudara. Menurut dokter, kata Fitriani, itu karena diabetes.

Sementara diagnosa pada Ibunya juga sama: diabetes. Ibu Fitriani, juga terkena penyakit kulit menahun, menimbulkan sensasi gatal setiap saat. Ibunya lumpuh. Selama empat tahun melawan sakitnya, sang ibu meninggal pada 2020, di usia 76 tahun.

“Mama saya itu nanti sakit parah baru berhenti jadi pemulung,” Fitriani mengenang. “Hanya memilah sampah, tidak lagi ke TPA cari-cari sampah. Paling banyak sampah yang dia pilah itu plastik botol, dan plastik kemasan.”

Tetapi apakah penyakit yang diderita keluarga Fitriani disebabkan kontaminasi logam berat? Yang jelas, kedua orang itu telah memulung selama puluhan tahun. 

Kami hidup dari sampah-sampah ini

Fitriani memulung sejak dia berusia 13 tahun. Kini, usia Fitriani 40 tahun. Dia ibu 4 anak. Sekarang, Fitriani tinggal dekat TPA Baru. 

Selama dia memulung, masker bukan perlengkapan wajibnya. Apalagi menurutnya; “Kalau pakai masker bikin sesak.” 

“Belum lagi kalau kita cari sampah itu di bawah panas matahari, sesak sekali!” 

“Paling kita baru pakai kalau sudah dikeruk sampah karena biasa ada bau gas,” kata Fitriani menyela. “Cuman kadang diabaikan juga, karena sudah terbiasa.”

Sering kali, Dinas Kesehatan datang berkunjung. Di hadapan Fitriani dan kawan-kawannya, petugas kesehatan meminta mereka mengenakan alat pelindung diri ketika bekerja. Tetapi, menurut mereka perlengkapan macam itu hanya menghambat aktivitas. 

“Memang tidak terlalu dipikirkan sampai ke sana juga [bahwa sampah elektronik bisa berdampak pada kesehatan], nanti kalau kita sakit lagi baru periksa,” Fitriani tertawa. “Mau dijaga kesehatan, nanti malah kita tidak dapat uang. Waspada saja.”

Bagi Fitriani, ancaman nyata saat ini bukanlah penyakit, tapi kecelakaan kerja yang telah banyak merenggut nyawa kawannya. Tertimbun longsoran sampah hingga tertimpa tiang listrik yang tumbang. 

“Mungkin ini kuasa Tuhan [dia tidak merasa sakit], karena kita bisa bilang kami hidup dari sampah-sampah ini.”

***

Saya menemui Auliani, seorang perempuan pemulung berusia 23 tahun. Auliani memulung sejak dia kecil. Belakangan, dia gemar mengepul baterai dari lautan sampah, karena harga jual yang mahal.

“Harganya itu Rp5 ribu per kilo, makanya kalau baterai banyak kita ambil, banyak juga kita dapat uang,” kata Auliani. 

“Cuman kalau baterai itu susah dicari. Lama dikeruk sampah, apalagi ada bau gas menyengat. Biasa saya sesak kalau menyengat baunya. Kayak panas masuk ke hidung. Cuman susah juga kalau kita pakai masker, makanya seadanya saja.”

Salah satu sudut TPA Antang/Chaerani Arief
Salah satu sudut TPA Antang/Chaerani Arief

Tulisan ini didukung oleh AJI Jakarta dan Internews EJN, dalam Fellowship Meliput Cemaran Logam Berat.

Keterangan foto sampul: Seorang perempuan pemulung menyusuri lorong pemukiman pemulung di TPA Antang/Chaerani Arief

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam

Skip to content