Center Point of Indonesia/Dok. Kawal Pesisir
Center Point of Indonesia/Dok. Kawal Pesisir
/

Karut Marut Reklamasi di Makassar: Ambisi Ikon Kota Dunia

Seperti kebanyakan narasi utopis 'pembangunan', ambisi menyulap Kota Makassar sebagai kota dunia nan smart city yang diklaim bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rupanya kerap kali mengorbankan ekosistem, sumber daya alam, bahkan ruang hidup warganya.

Fokus adalah rubrik baru Bollo.id, memuat penjelasan dari isu dan topik yang sedang kami pantau.


“Kalau direklamasi,” kata Daeng Siang seorang perempuan nelayan Pulau Lae-Lae, kepada jurnalis Bollo.id

“Di mana mata pencaharian kita? Sedangkan yang mau direklamasi itu, di situ kami mencari. Jadi kami tidak mau.” 

Daeng Siang adalah satu dari sejumlah besar penduduk pesisir di Kota Makassar, yang berupaya mempertahankan ruang hidup, dan sumber penghasilannya dari gelombang ‘pembangunan’ tepi pantai: Reklamasi.

Perlahan namun pasti, dampak terhadap lingkungan dan perekonomian masyarakat di wilayah pesisir Kota Makassar, juga kian terasa seiring proyek reklamasi yang terus berlanjut–hingga hari ini.

Seperti kebanyakan narasi utopis ‘pembangunan’, ambisi untuk menyulap Kota Makassar menjadi kota dunia nan smart city melalui proyek-proyek pembangunan dan diklaim bertujuan mengangkat kualitas hidup masyarakat, rupanya kerap kali mengorbankan ekosistem, sumber daya alam, bahkan ruang hidup warganya.

Sejak tahun 2003, aktivitas reklamasi gencar dilakukan dan menyasar wilayah pesisir Kota Makassar. Beberapa di antaranya: penimbunan di Mariso dan Buloa; reklamasi Makassar New Port; hingga mega proyek yang masih berlangsung hingga hari ini: reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), di ambang Pantai Losari.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo

Center Point of Indonesia/Bollo.id
Center Point of Indonesia/Bollo.id

Reklamasi CPI

Gagasan proyek ini dimulai sejak 2009, saat Walikota Makassar, menindaklanjuti Surat Gubernur Sulsel Nomor 644/805/Huk tertanggal 17 Februari 2009, yang meminta penetapan lokasi pembangunan CPI. 

Pada 27 Februari 2009, Walikota Makassar menerbitkan Surat Keputusan Nomor 640/175/Kep/II/09, menetapkan lokasi untuk Pembangunan Kawasan Center Point of Indonesia (CPI), di sebelah barat Pantai Losari, terletak di Kecamatan Tamalate hingga Kecamatan Mariso, Kota Makassar.

Keputusan ini menandakan bahwa Pemprov Sulsel memiliki wewenang untuk mengelola kawasan tersebut.

Proyek reklamasi CPI yang digagas sejak era pemerintahan Gubernur Syahrul Yasin Limpo ini, memulai proyek dengan sejumlah aktivitas. Penimbunan. Pembangunan jembatan, dan jalan baru.

Pada rentang waktu 2009-2013, Pemprov Sulsel mulai melakukan reklamasi, bersama tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait: Dinas Tata Ruang dan Kawasan Pemukiman (Tarkim), Dinas Pekerjaan Sumber Daya Air (PSDA), dan Dinas Bina Marga.

Pendanaan proyek ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Selatan, melibatkan sedikitnya 12 perusahaan rekanan. Total anggaran yang telah digunakan dalam kurun waktu empat tahun itu mencapai Rp141 milyar. Pada awalnya Pemprov Sulsel mengharapkan bantuan anggaran dari pemerintah pusat, tetapi hal itu tak kunjung terwujud.

Tanpa dukungan dana dari APBN, pada tahun 2013 Pemprov Sulsel pun menjalin ‘kongsi’ dengan perusahaan swasta, PT Ciputra Nusantara yang merupakan entitas bisnis di bawah naungan kelompok bisnis PT Ciputra Development Tbk.

Pihak pemodal, yakni PT Ciputra Nusantara menjalin konsorsium dengan PT. Yasmin Bumi Asri sebagai pihak pengembang. Melalui perjanjian kerja sama yang disepakati, kedua pihak menyetujui membagi total lahan seluas 157,23 hektare.

Sebanyak 67,87% atau 106,76 hektare adalah kawasan komersial yang dikelola oleh pihak Kerja Sama Operasi (KSO) Ciputra-Yasmin, sedangkan 32,13% atau 50,47 hektare adalah kawasan publik milik Pemprov Sulsel.

Kelanjutan pelaksanaan proyek ini kembali digencarkan, setelah Pemprov Sulsel menerbitkan Surat Izin Gubernur Sulsel pada 1 November 2013. Memuat izin pelaksanaan serta izin lokasi reklamasi CPI terhadap PT. Yasmin Bumi Asri, selaku pihak pengembang.

Mega proyek berbentuk burung garuda ini merupakan konsep yang diciptakan oleh Danny Pomanto, Walikota Makassar saat ini. Menurut Direktur Utama PT Ciputra Surya, Harun Hajadi, pada 23 Juni 2015, gagasan simbol burung garuda ini berasal dari ide Danny Pomanto. Ketika Danny masih menjadi seorang arsitek. Simbol yang menggambarkan wujud burung garuda ini dipandang sebagai pusat bisnis, industri, dan layanan publik

Pada lahan yang dimiliki, Pemprov Sulsel telah mendirikan sejumlah fasilitas umum seperti Masjid 99 Kubah, Lego-Lego, dan wisma negara. Saat ini pemerintah sedang melaksanakan pembangunan rumah sakit.

Sejauh ini, Ciputra telah menggelontorkan investasi hingga Rp3,5 triliun.


Baca laporan mendalam soal Reklamasi Pulau Lae-Lae: Di Bawah Bayang Reklamasi


Penggusuran, Protes, dan Gugatan

Pengerjaan proyek reklamasi ditandai dengan aktivitas penimbunan dan penggusuran yang menyasar hunian penduduk kelas menengah ke bawah di kawasan pesisir Kota Makassar. Masyarakat pesisir di Kecamatan Tamalate dan Mariso pun tak terhindar dari penggusuran.

Tahun 2014 menjadi tahun terakhir bagi Daeng Bollo–salah seorang warga–menempati huniannya di Tanah Tumbuh, Kecamatan Mariso. Bollo beserta 31 kepala keluarga lainnya menjadi korban penggusuran paksa, yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Dalam Catatan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar, sejumlah nelayan kehilangan tempat tinggal dan wilayah tangkapan ikan, bahkan mereka terpaksa beralih profesi menjadi pemulung. Sebagian lainnya, memilih merantau menjadi buruh di daerah pertambangan.

Tak hanya itu, anak-anak dari keluarga nelayan yang menjadi korban penggusuran terpaksa putus sekolah, karena kesulitan biaya pendidikan yang tidak mampu lagi ditanggung oleh orang tua mereka.

Dampak yang dirasakan akibat reklamasi ini tak hanya menyentuh penduduk pesisir Kota Makassar, tetapi juga memengaruhi ekosistem pulau-pulau lainnya yang berada dekat dengan kawasan reklamasi.

Gelombang protes pun bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat. Korban penggusuran. Organisasi nirlaba. Hingga kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP).

Akhir Januari 2016, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel bersama LBH Makassar sebagai kuasa hukum, menggugat pihak Pemprov Sulsel bersama pihak pengembang, PT. Yasmin Bumi Asri, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar. 

Mereka mengajukan beberapa persoalan yang diduga melanggar prosedur hukum. Namun, PTUN Makassar dalam putusannya “tidak memberikan rasa keadilan bagi publik” dan menyatakan gugatan Walhi Sulsel tidak dapat diterima karena gugatan telah kadaluwarsa, sehingga pihak penggugat tidak lagi memiliki kepentingan yang dirugikan dalam reklamasi CPI.


Baca serial fokus sebelumnya:

Pengungsi di antara Dilema Kemanusiaan dan Isu Kebencian

Menanti Suaka: Nestapa hingga Daftar Hitam


Destinasi Wisata Baru: Melanjutkan Cerita Kelam

Mirisnya, Pemprov Sulsel lagi-lagi menutup mata akan dampak reklamasi CPI yang digagasnya 14 tahun silam. 

Pada 11 Januari 2023, Pemprov Sulsel telah melakukan penandatanganan Addendum IV dengan PT. Yasmin Bumi Asri untuk melanjutkan reklamasi CPI sebanyak 12,11 hektare, yang tak sempat terbangun di lahan jatah milik pemprov.

Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman menyampaikan reklamasi 12,11 hektare ini akan digunakan untuk menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat Sulsel.

Finally,” katanya. “Ditandatangani kesepakatan bersama antara Pemprov Sulsel dan PT Yasmin Bumi Asri sebagai dasar untuk memenuhi kewajiban PT Yasmin Bumi Asri atas hak tanah reklamasi 12,11 hektare kepada Pemprov Sulsel.”

Dan, penimbunan lanjutan itu kini sedang menuju Pulau Lae-Lae, tempat Daeng Siang bertaruh hidup.


Keterangan foto sampul: Aksi parade laut menolak Reklamasi Pulau Lae-Lae, 4 April 2023/Dok. Kawal Pesisir


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content