Bollo.id – Sepanjang masa kampanye, pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) berlomba menyampaikan program mereka untuk mengurangi emisi karbon sebagai upaya memerangi krisis iklim, jika kelak mereka terpilih.
Namun, program mereka berbanding terbalik dengan emisi yang mereka keluarkan sepanjang masa Pemilihan Umum 2024, menurut hasil riset organisasi non pemerintah, Trend Asia, baru-baru ini.
Trend Asia telah memantau ketiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk melihat dampak aktivitas selama masa kampanye terhadap lingkungan, termasuk jejak karbon penerbangan.
Jejak emisi karbon dioksida (CO2) yang ditinggalkan oleh ketiga paslon tersebut, menurut Trend Asia mencapai 1.276.342 kilogram, atau setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Emisi ini menurut Trend Asia, berasal dari jejak penerbangan transportasi udara mereka dalam kurun waktu 92 persen selama hari kampanye, sejak 8 November 2023 hingga 4 Februari 2024 atau selama 69 hari kampanye.
Fokus pemantauan Trend Asia ialah pada emisi CO2 dari penerbangan yang digunakan ketiga paslon tersebut. Berupa private jet, helikopter, dan pesawat komersial carter.
Untuk mendapatkan data penerbangan ini, Trend Asia mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye Pilpres 2024 dari masing-masing paslon dengan bandara atau lapangan terdekat. Untuk melihat kedatangan dan keberangkatan.
“Jejak karbon dari tiga paslon ini sangat tinggi terkait pemakaian pesawat, sehingga jelas berkontribusi memperparah pemanasan global,” kata Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry dalam keterangan tertulisnya.
Jumlah perjalanan udara yang dianalisa oleh Trend Asia sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat, dengan total jarak tempuh 174.108,37 kilometer. Yang semuanya adalah penerbangan domestik.
Angka emisi 1.276.342 kilogram yang ditinggalkan ketiga paslon selama kampanye tersebut, menurut Trend Asia tidak mencerminkan keseluruhan jejak emisi CO2 para paslon. Sebab, tak semua perjalanan dapat dianalisis dikarenakan keterbatasan data penerbangan dan juga anonimitas data pesawat yang digunakan pada domain publik.
Bahkan, menurut Trend Asia data penerbangan tersebut diduga lebih banyak dari pada data yang ditersaji untuk publik.
“Data emisi yang tersaji ini hanyalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat,” kata Ashov.
Ashov bilang pemakaian private jet menunjukan gaya hidup mahal dan mewah para paslon, di tengah kondisi rakyat sedang kesusahan. Sehingga, menurut Ashov seharusnya para paslon tersebut dapat menggunakan pesawat komersial atau moda alternatif lain.
“Yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye,” katanya.
“Sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depannya.”
Dari pemantauan yang dilakukan Trend Asia, dari ketiga paslon, emisi paling banyak dihasilkan oleh Paslon 02 Prabowo-Gibran, kemudian disusul oleh paslon nomor 01, dan paslon 03.
Paslon 02 meninggalkan jejak karbon sebanyak 448.573 kilogram CO2, dengan total jarak tempuh 42.733,05 kilometer sebanyak 63 penerbangan, menghabiskan 142.404 kilogram bahan bakar.
Baca juga: Apa itu Energi Panas Bumi dan Kenapa menjadi Polemik?
Emisi 1 Persen Orang Terkaya Setara Emisi 12 Individu Umum
Menurut catatan Trend Asia, Emisi ketiga paslon ini juga lebih banyak dibandingkan jumlah emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat—dengan asumsi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kilogram.
“Ini sebuah ironi,” kata Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali.
“Para paslon membicarakan masa depan Indonesia di atas private jet, sehingga mereka berjarak dari penderitaan rakyat. Masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat.”
Dalam pernyataan persnya, Trend Asia mengutip laporan World Inequality Database (WID) yang mengungkapkan pada tahun 2019 terdapat 10 persen populasi orang terkaya di Indonesia, menghasilkan 11,1 ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor.
Di tahun yang sama juga, menurut Trend Asia satu persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara di dalam periode yang sama, per kapita di Indonesia juga menghasilkan 3,3 ton CO2e.
Menurut Zakki, data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10 persen orang terkaya di Indonesia tiga kali lipat dari rata-rata emisi nasional, sementara 1 persen orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum.
Jejak karbon dari dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi, kata Zakki. “Data ini menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia.”
Bagi Zakki, kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.
“Emisi yang dihasilkan oleh kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan,” kata Zakki.
“Atau dengan menaikkan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam Tax Amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya.”