Pemilu Serentak Kembali Menelan Korban Petugas Penyelenggara: saatnya KPU RI Evaluasi Menyeluruh

Petugas Pemilu di Sulawesi Selatan mengeluh soal jam kerja berlebih dan meminta ke KPU RI untuk mengevaluasinya

Fokus adalah rubrik explains dari Bollo.id.


Peristiwa kelam Pemilihan Umum serentak 2019 kembali berulang.

Di tengah keriuhan perolehan suara, kabar duka kembali berhembus dari pelaksanaan Pemilu serentak 2024, yang telah berlangsung pada 14 Februari 2024 kemarin. 

Berdasarkan data terbaru Kementerian Kesehatan per 21 Februari, secara nasional sedikitnya ada 94 orang petugas Pemilu yang meninggal dunia. 

Sementara, catatan dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia per 19 Februari, ada 4.567 lainnya jatuh sakit dengan rincian sebanyak 136 anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 696 anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), 3.371 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan 364 orang petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas).

Sentuh batang untuk melihat data

Di Sulawesi Selatan, ada enam petugas Pemilu meninggal dunia, empat diantaranya merupakan anggota KPPS dan dua lainnya adalah Petugas Keamanan dan Ketertiban (Pam) Tempat Pemungutan Suara (TPS), menurut data KPU Sulsel per 20 Februari.

Selain itu, sebanyak 529 orang jatuh sakit, di antaranya 21 anggota PPK, 61 anggota PPS, 436 anggota KPPS, dan 11 orang Pam TPS.

Sentuh batang untuk melihat data

Menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel, ada 354 orang Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) jatuh sakit dan satu anggota lainnya yang bertugas di Kabupaten Bone, meninggal dunia.

KPU Sulsel telah memberikan bantuan terhadap petugas Pemilu yang meninggal dunia, dari tanggungan BPJS Ketenagakerjaan, senilai Rp42 juta. Sedang petugas yang jatuh sakit akan mendapatkan fasilitas dari BPJS Kesehatan hingga kondisi mereka pulih sepenuhnya.

Lantas, apa penyebabnya?

“Memang sudah capek sebelum hari H,” kata Komisioner Divisi Sumber Daya Manusia dan Penelitian Pengembangan KPU Sulsel, Tasrif, melalui sambungan telepon WhatsApp, 20 Februari 2024.

“Di hari H juga sudah harus menyelesaikan proses pemungutan suara, sehingga kami melihat gejala-gejala yang mengakibatkan sakit dan meninggal memang faktor kecapean.”

Alasan serupa juga dikatakan oleh Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat dan Data Informasi Bawaslu Sulsel, Alamsyah.

Pangkal penyebab anggota PTPS yang sakit dan meninggal diduga karena beban kerja yang membutuhkan waktu dan tenaga yang begitu banyak, sehingga menyebabkan petugas kelelahan.

“Inilah yang menjadi kendala PTPS ini, karena satu orang per TPS,” ujar Alamsyah pada Senin, 19 Februari 2024.

Berdasarkan keterangan Kemenkes, penyebab tingginya jumlah petugas Pemilu yang mengalami sakit dan meninggal dunia tidak hanya disebabkan oleh riwayat penyakit yang mereka miliki, tetapi juga dipicu oleh jam kerja yang berlebihan.

Lembaga pemantau Pemilu, Network for Indonesian Democratic Society (Netfid) wilayah Sulsel, mencatat sejumlah temuan di lapangan yang berkaitan dengan peristiwa ini.

“Beban kerja, jeda istirahatnya itu bahkan tidak ada. Misalnya di TPS Parangloe, mereka terus bekerja itu,” kata Ketua Netfid Sulsel, Sukrianto Kianto.

“Kemarin waktu [Netfid] memantau di TPS Parangloe. Sejak jam 6 pagi sudah persiapan, mulai (pemungutan) sekitar jam 8 pagi. Selesai pemungutan dan penghitungan itu sampai jam 7 pagi (15 Februari). Bayangkan itu sudah (hampir) 24 jam.”

Menurut Sukrianto, KPU perlu mengevaluasi manajemen pemungutan suara. Terutama jam kerja sehingga tidak membebani dan menguras tenaga petugas Pemilu.

Menurutnya, temuan di lapangan ini menjadi faktor banyaknya petugas Pemilu yang jatuh sakit atau meninggal.

Mutiara (20), seorang KPPS di Desa Karama, Kabupaten Bulukumba merasakan hal serupa. 

Mutiara bilang jam kerja berlebihan sungguh menguras tenaga. Ia bersama rekan KPPS lainnya perlu mengimbangi dan mengatur jam kerja sebisa mungkin agar tidak jatuh sakit.

“Jam kerja harus sih dievaluasi, wajib,” kata Mutiara kepada jurnalis Bollo.id.

“Karena sudah tidak ingat waktu, harusnya ada penempatan waktunya. Seperti kemarin, jika bukan (kami) KPPS mengimbangi (atur) waktunya, mungkin bisa drop.”

Menurutnya, selain KPU perlu mengevaluasi jam kerja, aplikasi yang digunakan untuk menginput hasil penghitungan suara, yakni SiRekap juga perlu dievaluasi.

“Yang paling diperhatikan itu adalah aplikasi SiRekap nya. Karena, yang bikin lama kemarin itu di (penginputan) SiRekap,” Mutiara melanjutkan. “Banyak sekali beban dan keluhannya, (seperti) data harus terbaca, jaringan yang harus baguslah.”


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


*** 

Milda (21), seorang anggota PTPS di Kabupaten Pangkep. Ia mengeluhkan lamanya durasi pelaksanaan Pemilu di TPS, yang membuat dia dan kawannya kelelahan. 

Menurutnya, KPU perlu evaluasi kapasitas anggota KPPS sebagai penyelenggara di TPS.

“Memang melelahkan, apalagi jika KPPS nya tidak terlalu paham dengan cara-cara pemungutan dan penghitungan suara,” katanya. 

“Itu (bisa) berlangsung lama.”

Sukrianto dari Netfid Sulsel mengatakan bahwa pada saat melakukan pemantauan di salah satu TPS, terdapat perbedaan jumlah suara karena kesalahan pencatatan pada formulir hasil. Ini menunjukkan bahwa proses bimbingan teknis (bimtek) tidak berjalan dengan optimal.

“Soal desain bimbingan teknis itu, apakah mampu menjawab target tidak untuk peningkatan kapasitas KPPS dalam konteks penyelenggaraan Pemilu,” katanya. 

“Itu patut dievaluasi.”

Lantas, apakah sistem Pemilu serentak sudah tepat bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia?

Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini sejumlah permasalahan tumpang tindih dapat terjadi jika pelaksanaan Pemilu serentak diadakan. 

Titi menyoroti beban berat bagi penyelenggara, partai politik dan pemilih serta ketidaksesuaian antara jadwal Pemilu dan struktur kelembagaan penyelenggara Pemilu. 

Ia juga menilai bahwa akibat dominasi pemilihan presiden, membuat pemilihan bagi anggota legislatif tidak mendapatkan jangkauan dari publik, terutama Pemilu bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

“Isu lokal tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus ke-Pemiluan,” kata Titi.

Sementara itu, Netfid Sulsel, Sukrianto mengatakan beberapa hal harus menjadi evaluasi jika pelaksanaan Pemilu serentak dijadikan pilihan utama dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.

“Saya oke saja untuk Pemilu serentak,” kata Sukrianto. 

“Tetapi, dalam artian untuk manajemen pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi harus dimanajemen baik agar tidak terkesan mengeksploitasi.”

Bagi Sukrianto, hal yang membuat ia khawatir adalah rasa trauma yang muncul di masyarakat kembali saat melaksanakan pesta demokrasi akibat melihat banyaknya kasus ini.

Ia memprediksi kemungkinan partisipasi masyarakat yang tidak lagi ingin turut serta, terutama pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang.

“Saya khawatirnya karena kita mau Pilkada di akhir tahun, jangan sampai masyarakat di Sulsel itu punya trauma untuk kemudian tidak ingin terlibat lagi dalam proses demokrasi,” ujarnya.

“KPU menuntut masyarakat untuk ikut serta dalam demokrasi ini, tapi di sisi lain tidak menjamin hak-hak itu.”


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Skip to content