Explainer
“Jadi [PT Lonsum] itu tidak sekaligus mengambil tanah masyarakat,” kata Amiruddin, seorang warga Desa Tamatto, Bulukumba. “Tapi bertahun-tahun. Setiap tahun membuka (lahan).”
Amiruddin seorang petani berusia 56 tahun di Dusun Tamappalalo. Amiruddin berusia 12 tahun, ketika lahannya diklaim oleh perusahaan perkebunan PT London Sumatra Indonesia, 1980 silam.
Menurut Amiruddin, sejak 1980-an, banyak warga yang mulai protes. “Nanti baru ditau, ternyata ini dikasi bodoh ini, diambil saja tanah tapi tidak ada ganti rugi.”
Konflik lahan antara PT Lonsum dengan warga sekitar hingga saat ini tak kunjung selesai.
Dari waktu ke waktu, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, intensitas konflik naik turun. Pada tahun 2003, terjadi insiden berdarah, tetapi setelahnya konflik mereda untuk sementara waktu.
Kemudian, pada 2018 terjadi kembali aksi pendudukan lahan yang ditandai dengan beberapa insiden kekerasan. Terakhir, tindak kekerasan terjadi pada akhir tahun 2023 hingga awal 2024, menurut catatan LBH Makassar. Beberapa peristiwa ini menunjukkan pola kejadian yang terjadi secara berulang.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Di samping itu, Wakil Direktur LBH Makassar, Azis Dumpa mengatakan bahwa ada empat klaster masyarakat yang mengklaim kepemilikan lahan dalam konsesi HGU PT Lonsum.
Klaster pertama melibatkan masyarakat ulayat adat Ammatoa Kajang. Peta wilayah adat yang terlampir dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2015 menunjukkan adanya tumpang tindih antara wilayah adat dan HGU PT Lonsum yang sedang diajukan untuk pembaharuan.
Kemudian, klaster kedua terkait dengan klaim masyarakat berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan luas lahan sekitar 540 hektar berdasarkan batas-batas alam.
Hal ini menjadi perdebatan lantaran hasil verifikasi tim yang dibentuk oleh Bupati Bulukumba, pada tahun 2012 telah membuktikan bahwa lahan yang masuk dalam HGU merupakan milik masyarakat sesuai putusan MA, tetapi PT Lonsum tidak mengakui putusan tersebut.
“Tapi pihak PT Lonsum tidak menyetujui putusan tersebut sehingga terjadilah perdebatan karena yang diakui hanya sekitar 200 hektar,” kata Azis.
Klaster ketiga melibatkan masyarakat yang menguasai lahan secara turun-temurun, yang dibuktikan dengan sejarah penguasaan dan keterangan warga, seperti bukti pajak, sumur, dan kuburan. Klaim ini juga telah diverifikasi oleh tim Bupati Bulukumba pada tahun 2012, berdasarkan Surat Keputusan Nomor 180/IV/2012.
Tim tersebut menemukan bahwa dalam areal HGU yang diklaim oleh PT Lonsum, terdapat klaim hak oleh masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat yang terbukti dengan keberadaan Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Hasilnya menemukan fakta bahwa objek tersebut totalnya sekitar 246,80 hektar dengan rincian 41,48 hektar terletak di Desa Balleanging dan 5 hektar di Desa Balong,” terang Azis pada 15 Maret 2024.
Klaster terakhir, hak masyarakat Bulukumpa Toa dengan luas lahan sekitar 254 hektar yang diperkuat dengan surat Kepala Kelurahan Jawi-Jawi dan diketahui oleh Camat Bulukumpa.
Klaim Masyarakat dan Ketidakterbukaan Informasi HGU
Saat ini, PT Lonsum sedang mengajukan pembaharuan untuk melanjutkan status konsesi HGU yang telah berakhir, pada 31 Desember 2023 lalu.
Pada 11 Januari 2024, Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kantor Wilayah (Kanwil) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), mengeluarkan surat yang berisi tanggapan kepada LBH Makassar tentang keberatan atas pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PT Lonsum.
Surat tersebut menyatakan bahwa PT Lonsum telah mengajukan permohonan pengukuran pada tahun 2021, untuk pemenuhan salah satu syarat permohonan pembaharuan HGU, dan telah memasuki tahapan penelitian dan pemeriksaan oleh Panitia Pemeriksa Tanah B.
Namun dalam surat tersebut, pihak Kementerian ATR/BPN tidak mencantumkan Gambar Situasi HGU perpanjangan PT Lonsum tahun 1997 dan peta bidang HGU yang masih dalam proses pembaharuan. Alasannya, ATR/BPN bilang dokumen tersebut merupakan informasi publik yang dikecualikan.
Menanggapi hal tersebut, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Makassar, Hasbi Assidiq mengatakan ketidakterbukaan informasi akan peta HGU suatu perusahaan menjadi salah satu akar konflik agraria yang berlarut-larut, dan tidak kunjung selesai.
Hasbi bilang jika informasi mengenai konsesi HGU tidak dibuka dan hanya pihak perusahaan yang memiliki otoritas, serta mengetahui lokasi lahan yang mereka miliki, mereka bisa saja mengklaim tanah yang sebenarnya tumpang tindih dengan lahan masyarakat.
“Menurut kami, akar konflik agraria bisa berlarut-larut dan tidak terselesaikan karena salah satunya (yaitu) persoalan peta HGU ini hanya dimiliki oleh perusahaan,” terangnya.
Ketidakterbukaan informasi mengenai HGU pernah didugat kelompok organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Dalam sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Kementerian ATR/BPN, pengadilan telah memutuskan bahwa data HGU adalah informasi publik yang harus tersedia secara terbuka.
Baca
Pada 6 Maret 2017, putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan FWI dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tertanggal 22 Juli 2016, diperkuat putusan Nomor 121 K/TUN/2017. Putusan itu memerintahkan Menteri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara, baik informasi nama pemegang HGU, tempat dan lokasi, luas, jenis komoditi, peta yang dilengkapi titik koordinat.
Namun bertahun-tahun setelah putusan itu, Pemerintah Indonesia belum menjalankan perintah putusan. Buntutnya, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mengadukan Menteri ATR/BPN kepada polisi.
Sementara itu, saat Jurnalis Bollo.id menghubungi pihak Hubungan Masyarakat (Humas) PT Lonsum untuk meminta dokumen terkait Gambar Situasi HGU atau peta bidang HGU, Rusli menanggapi bahwa dokumen tersebut dapat dikonfirmasi pada pihak berwenang: Badan Pertanahan Nasional.
Upaya Panjang Warga
“Saya protes dengan (cara) ini, melakukan suatu pendataan dan memasukkan usulan ke Pemda dan protes (kepada) pemerintah,” terang Amiruddin.
Sejak 2011, Amiruddin telah bergabung dan terorganisir dengan sebuah organisasi masyarakat sipil, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba untuk melayangkan protes terhadap PT Lonsum. Hingga saat ini, upaya untuk mendapatkan kembali haknya sudah ia lalui dengan untaian waktu yang panjang.
“Sejak saya bergabung dan ikut memprotes HGU ini, sudah tiga periode pemerintah kabupaten yang saya lalui,” tuturnya.
Pada masa pemerintahan Bupati Bulukumba Zainuddin Hasan, Amiruddin bersama masyarakat lainnya mendorong verifikasi data, terkait kondisi lahan dengan memasukkan sejumlah data. Dari upaya tersebut, pihak pemerintah membentuk tim untuk melakukan peninjauan lapangan.
Kemudian, proses ini terus dilakukan pada periode pemerintahan Bupati selanjutnta, AM Sukri Sappewali. Selama periode tersebut, pemerintah bersama masyarakat membawa sengketa ini hingga ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hasilnya, Kemendagri mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada perpanjangan HGU sebelum pihak perusahaan memastikan tidak ada wilayah masyarakat yang masuk dalam konsesi HGU.
Saat ini, proses mediasi telah dilakukan. Pada 19 Februari 2024, pihak ATR/BPN Sulsel memfasilitasi mediasi yang dilaksanakan di Masjid Al Markas antara PT Lonsum dengan warga sekitar kebun.
Dalam mediasi tersebut, Kepala Kanwil ATR/BPN Sulsel, Tri Wibisono menegaskan bahwa akan mengarahkan kepada Panitia Pemeriksa Tanah B, untuk memeriksa dengan teliti terhadap dokumen yang dilampirkan dalam proses pembaharuan HGU PT Lonsum.
Menanggapi hal tersebut, Amiruddin minta pemerintah bersikap independen agar penyelesaian sengkarut konflik lahan ini dapat berjalan adil dan tidak meninggalkan konflik di masa mendatang.
“Betul-betul netral dan independen,” kata Amiruddin. “Supaya bila selesai permasalahan ini tidak ada lagi konflik sesudahnya. (Karena) konflik ini banyak memakan korban, banyak masalah.”
Di samping itu, Hasbi mengatakan LBH Makassar masih menanti kabar lanjutan dari Kantor wilayah ATR/BPN, dari pertemuan mediasi lalu.
“Masih menunggu sebenarnya, bagaimana respons dari Kanwil BPN,” ujarnya.
Sementara itu, Rusli, Humas PT Lonsum (Bulukumba) menanggapi isu penolakan pembaharuan HGU Lonsum tidak beralasan dan tidak berdasar.
Menurutnya, PT Lonsum sudah mengajukan permohonan pembaharuan HGU secara sah dari pemerintah di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dan tidak ada kaitannya dengan tanah masyarakat.
“2 tahun sebelum berakhirnya Hak Guna Usaha, PT Lonsum sudah mengajukan permohonan pembaruan dan sudah terdaftar pada Kantor Pertanahan Bulukumba dan sedang dalam proses,” kata Rusli melalui pernyataan tertulisnya.
“Jika ada masyarakat yang merasa berhak atas HGU Lonsum, agar dapat menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kepastian hukum.”