Aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah/Bollo.id
Aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah/Bollo.id

Rentetan Masalah Hilirisasi Nikel di Indonesia

Hilirisasi nikel di Indonesia sudah berjalan sejak awal 2020 tapi skema penerapannya baru rampung belakangan. Akibatnya, ada banyak celah dan masalah dalam perjalanannya.

Bollo.id — Yayasan Indonesia CERAH, belum lama ini menerbitkan laporan tentang “Hilirisasi Nikel: Sudahkah Sejalan dengan Transisi Energi?”. Hasil riset itu mengungkap sejumlah kejanggalan. Alih-alih bermanfaat, proyek hilirisasi itu justru dianggap menjadi biang masalah. Baik yang bertalian dengan lingkungan hingga rentetan persoalan lain yang menyertainya. 

Dalam laporan itu disebutkan, pemerintah Indonesia resmi menghentikan ekspor bijih nikel mentah sejak 1 Januari 2024, dan fokus peningkatan nilai tambah melalui proyek hilirisasi. Lewat hilirisasi nikel, pemerintah berambisi menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) atau Electric Vehicle (EV) dunia. 

Investasi ini dinilai menjanjikan seiring dengan proyeksi meningkatnya kebutuhan dunia terhadap bahan baku baterai sebagai penyimpan energi di sektor pembangkit listrik maupun transportasi. Selain ekonomi, hilirisasi juga dikaitkan dengan upaya transisi energi melalui peran Indonesia dalam menyediakan bahan baku baterai global untuk kendaraan listrik. 

Hilirisasi nikel sudah berjalan sejak awal 2020 tapi skema penerapannya baru rampung belakangan. Akibatnya, ada banyak celah dan masalah yang mewarnai perjalanan hilirisasi nikel di Indonesia. “Mulai dari masalah lingkungan, sosial dan ketenagakerjaan,” isi keterangan dalam laporan yang diterima jurnalis Bollo.id dari Kandi, Communication Specialist Yayasan Indonesia CERAH. 

Nanti pada 30 Januari 2023, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, menyerahkan draf peta jalan hilirisasi kepada Presiden Joko Widodo. Saat itu, presiden menjelaskan perbandingan ekspor bijih nikel mentah dan produk hilirisasi setara dengan Rp17 triliun berbanding Rp360 triliun, atau 21 kali lipat lebih besar.

Sekilas, memang terdapat peningkatan signifikan dari segi pendapatan ekonomi negara melalui kebijakan hilirisasi nikel. “Namun sejumlah faktor menunjukkan perlunya kehati-hatian yang jika tidak diantisipasi oleh pemerintah, akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang,” menurut Kandi dalam laporan itu.


Baca juga: Gibran dan Dua Menteri Ditantang Aktivis Lingkungan Berdebat Terbuka Soal Hilirisasi Nikel


Saat ini menurut Yayasan Indonesia CERAH, negara penyuplai nikel dunia terbesar berasal dari Indonesia (50,5%), Filipina (11,20%), Rusia (10,6%), Kaledonia Baru (6,4%) dan Australia (4,5%). Meski Indonesia berada di urutan teratas produsen nikel, namun penyumbang terbesar nikel kelas 1 untuk baterai justru berasal dari Rusia (21%), Kanada (17%), Australia (14%), dan Tiongkok (10%).

Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis nikel yang dihasilkan di dunia dapat diolah menjadi baterai berkualitas tinggi. Sekitar 70 persen bijih nikel global digunakan untuk memproduksi baja tahan karat (stainless steel) dari jenis ferro nickel (FeNi), nickel pig iron (NPI), dan nickel oxide. 

Sementara hanya 5 persen yang dapat diproduksi menjadi baterai, terutama dari jenis nikel matte untuk menghasilkan nikel kelas 1 dengan kadar tinggi hingga 99 persen. Disinilah letak perbedaan kualitas nikel yang diproduksi dari Indonesia dibandingkan dengan negara produsen kelas wahid.

Klaim sepihak soal transisi energi

Sejumlah pakar menilai, Indonesia belum siap menerapkan hilirisasi baik secara teknis, pembiayaan, maupun teknologi. Mereka menyebut, pemerintah selama ini hanya mengglorifikasi bahwa proyek hilirisasi nikel adalah salah satu cara mendukung transisi energi dengan menyediakan sumber bahan baku baterai untuk mobil listrik. 

Pada kenyataannya, klaim tersebut tidak signifikan jika dilihat dari kuota produksi nikel baterai yang jauh lebih sedikit dibanding nikel untuk baja tahan karat. Di sisi lain, menurut mereka, penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU captive masih mendominasi industri smelter nikel.

“Hal ini menegaskan bahwa proyek hilirisasi belum sejalan dengan transisi energi, sebagaimana narasi yang selama ini mendominasi ruang publik.” Pemerintah dianggap butuh mentransformasi berbagai aturan, perencanaan hingga investasi terkait hilirisasi agar sejalan dengan tujuan transisi energi. 

Beberapa hal yang bisa diterapkan dengan menghentikan pembangunan PLTU captive melalui perubahan regulasi seperti Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, mendorong transisi pembangkit listrik ke energi terbarukan, dan membatasi produk penambangan nikel yang berfokus pada produksi bahan baku stainless steel.


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Pada 2022, harga nikel tertinggi pernah menyentuh USD100.000/ton. Tingginya harga nikel saat itu membuat pemerintah dan produsen bijih nikel menggenjot produksi tanpa menghitung rasio permintaan di pasar global. Akibatnya kelebihan pasokan lebih besar ketimbang permintaan. 

Kondisi oversupply tersebut menyebabkan nikel menjadi barang murah sejak 2022, khususnya setelah produk Indonesia membanjiri pasar internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor nikel Indonesia meningkat sepanjang 2022 hingga 777,4 ribu ton dengan nilai USD5,97 miliar atau naik 367 persen dari tahun sebelumnya. 

Ini disebut menjadi ekspor tertinggi sepanjang sejarah. Kejadian ini bahkan menyebabkan proyek hilirisasi berpotensi merugi jika terjadi dalam jangka panjang, yang dapat berdampak pada ekonomi, lingkungan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan industri nikel. 

Selain itu, dampak industri pengolahan nikel terhadap sektor pertanian dan perikanan sebagai corak produksi utama masyarakat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, cenderung negatif. Kerugian ekonomi yang dialami diperkirakan lebih dari USD387,10 juta (Rp6 triliun) dalam 15 tahun bagi sektor pertanian dan perikanan. 

Petani dan nelayan terancam kehilangan pendapatan sebesar USD234,84 juta (Rp3,64 triliun) dalam 15 tahun berdasarkan skenario industri nikel. Kondisi ini tentu menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan berdampak ke berbagai sektor apabila tidak segera mungkin dikendalikan dan diatasi.

Rekomendasi ke pemerintah

Hilirisasi nikel merupakan proyek andalan pemerintah saat ini. Sekaligus menjadi sektor yang paling digenjot untuk memaksimalkan pendapatan negara. Kendati demikian, beberapa hal perlu menjadi catatan bagi pemerintah dalam menjalankan program hilirisasi melalui berbagai pendekatan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Pertama, program hilirisasi nikel yang digadang-gadang menjadi bagian dari transisi energi melalui pengadaan rantai pasok baterai, perlu dievaluasi dari sisi volume produksi nikel baterai maupun sumber pembangkit yang masih menggunakan energi fosil. 

Kemudian, hilirisasi nikel tidak cukup dilihat hanya dari tingginya penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi juga wajib menghitung penerimaan negara dalam jangka panjang, serta risiko lingkungan dan sosial sebagai biaya eksternalitas yang tidak murah. Perlu regulasi untuk membatasi produksi bahan tambang nikel agar tidak berdampak pada ekonomi akibat over supply, hingga krisis lingkungan. 

Terakhir adalah, kehadiran Lithium Ferro Phosphate (LFP) menegaskan bahwa nikel bukan satu-satunya bahan baku untuk memproduksi baterai, sehingga perlu pendekatan komprehensif dalam melihat prospek pasar nikel di masa depan sebagai standar untuk menentukan arah investasi hilirisasi nikel.


Editor: Sahrul Ramadan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content