Bollo.id — Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu yang tergabung dalam Aliansi HAM untuk Advokasi HIV dan AIDS Sulawesi Selatan dan Barat mendesak pemerintah dan legislatif mengambil langkah tegas dan konkret untuk melindungi Inklusi Orang Dengan HIV (ODHIV) anak perempuan, LGBT, lelaki.
“Dimanapun mereka hidup dan bertempat tinggal, termasuk di tahanan dari berbagai bentuk ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, ormas dan tanpa terkecuali,” keterangan dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Sabtu, 18 Mei 2024.
Menurut mereka, Pemerintah Daerah Sulsel, melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2010, menjadi landasan untuk mengkodifikasi orang-orang minoritas, khususnya mereka yang terpapar HIV. Tidak saja stigma dan diskriminasi, tetapi juga mengkriminalisasi ODHIV.
“Yang tidak saja membatasi akses pada kesetaraan partisipasi, manfaat dan kontrol pembangunan, tetapi juga akses pada jaminan perlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi, baik yang terkait langsung dan tidak langsung dengan HIV dan AIDS.”
Kebijakan HIV diskriminatif tersebut dianggap sangat diperburuk dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHAP yang mempermudah Orang Dengan HIV dan AIDS dan atau kelompok marginal lainnya untuk didiskriminasi dan dikriminalisasi.
Dalam catatan aliansi, pada 5 Mei 2023, WHO telah menyatakan mengakhiri status bahaya wabah COVID-19. Tetapi menurut mereka, COVID-19 tidak pernah benar-benar berakhir 100 persen, karena masih tetap bisa menginfeksi dan menyebar.
“Refleksi yang merujuk pada data kasus dampak COVID-19 yang dialami anggota GIPA tercatat, bahwa tidak satupun perempuan dengan HIV mendapat respon prioritas, termasuk mereka yang terinfeksi COVID-19.”
Baca juga: Negara Berhentilah Berulah! Jangan Gusur Warga di Lokasi IKN
Padahal latar belakang bencana atau wabah menurut aliansi, menuntut prioritas respon yang berbeda. Misalnya pemulihan, sehingga ODHIV masih merasakan ketakutan terhadap wabah tersebut.
Begitu juga respon kebijakan pengaman sosial atas wabah COVID-19 bukan hanya tidak menanggapi kebutuhan khusus ODHIV, tetapi juga secara sosiologis pemerintah daerah (dan pusat) tidak sensitif pada kebutuhan spesifik ODHIV pada situasi krisis.
Hasil bacaan refleksi lainnya, di Bulan Juli 2023, anggota GIPA, perempuan dengan HIV yang akan melakukan operasi kakinya ditolak oleh salah satu rumah sakit ketika mengetahui status HIV-nya. “Niat baiknya untuk menyampaikan status justru direspon dengan penolakan oleh petugas medis rumah sakit tersebut.”
Pada 20 Mei 2023, Aliansi HIV berduka cita atas meninggalnya transpuan dengan HIV, April 2023, karena dia tidak dapat mengakses ARV di salah satu rumah sakit pemerintah di Makassar. Rumah sakit menolak dengan alasan bahwa pasien tidak memiliki uang lebih untuk membayar biaya administrasi.
“Lebih kurang dua ratus ribu rupiah untuk pengambilan ARV-nya dikarenakan ibunya juga sakit. Pilihan atas pentingnya kesehatan ibunya, membuat dia harus menahan sakit akibat infeksi oportunistik yang menyerang tubuhnya dan akhirnya meninggal tanpa pelayanan kesehatan.”
Kemudian pada 17 Mei 2024, Aliansi HIV berduka cita lagi atas meninggalnya perempuan dengan HIV beberapa bulan lalu. Aliansi HIV menduga kuat, bahwa dia belum siap menerima status baru itu di tengah perjuangannya menjalani pengobatan lainnya. Sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sehari setelah dia dinyatakan HIV.
“Mandatory Testing HIV atas nama pengobatan dan pengabaian substantif VCT, diikuti dengan tidak pahamnya petugas kesehatan rumah sakit atas sensitifitas tubuh dan kondisi spesifik perempuan, kita justifikasi sebagai penyebab dia mengakhiri hidupnya.”
Aliansi memandang bahwa, refleksi terhadap wabah COVID-19 dan kasus kematian tersebut menambah keyakinan jika status HIV (positif): bukan penyebab Orang Dengan HIV dan AIDS sakit, meninggal, hingga bunuh diri.
“Tetapi situasi ketidakadilan dan diskriminasi sistemik yang mereka hadapi termasuk kebijakan dan program, serta cara mereka diperlakukan dalam pelayanan yang tidak sensitif pada kondisi ODHIV, khususnya perempuan menjadi penyebabnya.”
Janji DPRD dan Pemda Sulsel untuk merevisi Perda Nomor 4 Tahun 2010 sejak 2016 masih bersifat token masih sebatas janji formalitas agar terlihat baik dan peduli di mata Orang Dengan HIV dan AIDS, serta secara politik terlihat benar di mata rakyat.
Pandangan yang lahir dari kontemplasi perjalan pergerakan Aliansi HAM untuk Advokasi HIV Legal Reform yang seterusnya membentuk sikap dan juga tuntutan aliansi terhadap beberapa justifikasi yang harus segera dituntaskan DPRD dan Pemda Sulsel.
Latar belakang perjalanan kasus berujung kematian bagia ODHIV membuat aliansi menuntut sejumlah hal substantif yang mesti segera menjadi perhatian serius legislatif dan negara dalam hal ini pemerintah daerah melalui aturan yang dibuat.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Aliansi menuntut DPRD Sulsel segera mengambil tindakan inisiatif untuk merevisi Perda Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Sulsel dan membuat produk baru dalam perspektif HAM dan Kesetaraan Gender yang efektif.
Itu untuk merespon kebutuhan spesifik perempuan, korban HIV-GBV dan atau kondisi bencana dan wabah dengan pelibatan substantif lebih besar Orang Dengan dan AIDS, khususnya perempuan di semua tahapan proses.
Gubernur Sulsel juga didesak untuk segera mengambil langkah-langkah dalam mempercepat revisi Perda Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Sulsel dan bersama legislatif membuat produk baru dalam perspektif HAM dan Kesetaraan Gender yang efektif.
Gubernur juga didesak untuk segera melakukan harmonisasi Peraturan Daerah, khususnya Nomor 3 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 untuk jaminan perlindungan khusus Anak Dengan HIV dan AIDS, serta Peraturan Daerah TPPO.
Mereka juga menuntut Gubernur Sulsel untuk meminta seluruh rumah sakit di wilayah ini agar tidak membuat peraturan tentang biaya administrasi sebagai syarat untuk mendapatkan ARV yang dibebankan kepada Orang Dengan HIV dan AIDS.
Terakhir, mereka mengajak seluruh komponen masyarakat, termasuk media untuk bersama-sama mendukung upaya Aliansi HAM untuk Advokasi HIV dan AIDS Sulsel-Barat, termasuk ikut mencegah stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS beserta keluarganya.