Bollo.id — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar telah mengungkap sejumlah kejanggalan dalam proses lanjutan penanganan perkara kekerasan seksual yang dialami perempuan difabel di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur. Kasus itu ditangani Polres Luwu Timur sejak November 2023.
Kejanggalan berdasarkan hasil temuan tim Penasehat Hukum (PH) korban yang menilai bila dalam proses penyidikan perkara, telah terjadi pengaburan dan rekayasa fakta. Dugaan rekayasa fakta ada pada uang senilai Rp200.000 yang diklaim oleh penyidik PPA Polres Lutim sebagai barang bukti.
Tim PH, Mirayanti Amin mengatakan, uang itu diambil dari kantong jaket korban. Tepatnya saat korban dirawat di Rumah Sakit Inco. Sisanya ditambah oleh saksi, yakni paman korban atas permintaan anggota Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Lutim.
“Belakangan diketahui uang tersebut dirilis oleh Polres Lutim dan diklaim sebagai barang bukti hasil tindak pidana persetubuhan, kesepakatan korban dan pelaku,” jelas Mirayati Amin dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Jumat, 7 Juni 2024.
Informasi yang diterima tim PH dari LBH, Polres Lutim bahkan langsung menggelar merilis kasus itu ke publik. Konferensi pers dan rilis digelar di hari yang sama dengan masuknya Laporan Polisi Korban Nomor: LP/B/87/XI/RES.1.24/2023/Reskrim, tanggal 16 November 2024.
Baca juga: Briptu S jadi Tersangka Kasus Pelecehan Seksual di Rutan Polda Sulsel
Penyidik saat itu, dianggap tergesa-gesa karena dengan serta merta menyimpulkan kasus tanpa menggali fakta lebih dalam. Narasi ini kemudian berdampak pada kaburnya fakta kekerasan dan pemaksaan berhubungan seksual yang dialami korban.
“Dengan, adanya klaim barang bukti berupa uang, maka seolah-olah peristiwa yang dialami korban bukanlah tindak pidana kekerasan seksual, melainkan tindak pidana perzinahan yang bersifat transaksional,” ungkap Mirayanti Amin.
Sehingga, secara langsung atau tidak, penyidik Polres Lutim menciptakan peluang atau cela bagi pelaku untuk lepas dari jeratan pasal yang disangkakan. Khususnya yang termaktub dalam Pasal 6 huruf c Juncto Pasal 15 Ayat (1) huruf h, UU TPKS dengan ancaman 16 tahun kurungan penjara.
Menurutnya, dugaan pengaburan fakta oleh penyidik Unit PPA Polres Lutim, tidak hanya melanggar Pasal 5 Ayat (2) huruf c dan Pasal 10 Ayat (1) Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Etik Polri, tetapi akan berdampak pada proporsionalitas pertanggungjawaban hukum oleh terduga pelaku.
“Dan ini akan mencederai rasa keadilan, khususnya rasa keadilan korban,” tegas Mirayanti. Tim PH korban sempat menempuh upaya keberatan disusul demonstrasi dari pihak keluarga korban sebagai respons atas kejanggalan dalam proses penanganan perkara kepolisian setempat.
Mirayanti bilang, pada Februari 2024 terjadi perubahan nominal uang dalam surat berita acara penyerahan barang bukti, sebesar Rp100.000. “Perubahan ini tentu menjadi indikasi kuat adanya kesalahan penyusunan barang bukti sebelumnya.”
Sederet kejanggalan inilah yang membuat tim PH korban dari LBH Makassar melaporkan penyidik PPA Polres Lutim ke Itwasda Polda Sulsel terkait dugaan pelanggaran kode etik, saat proses penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana kekerasan seksual difabel perempuan.
Tim PH korban, Siti Nur Alisa berharap, Satker Itwasda Polda Sulsel dapat bertindak tegas, profesional dan akuntabel menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik yang diadukan. “Selain itu, kami meminta Polda Sulsel memberi atensi terhadap kasus ini. Penindakan tegas terhadap laporan ini juga akan berkaitan dengan citra kepolisian,” harapnya.
Jurnalis Bollo.id, berupaya menghubungi Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto. Namun upaya konfirmasi kejelasan laporan tersebut, belum sama sekali direspons. Sedangkan Polres Lutim, telah menyerahkan penanganannya ke Polda. “Terkait laporan LBH itu ditangani Itwasda Polda Sulsel,” kata Kasi Humas, Bripka Muhammad Taufik, dikutip dari jejakfakta.com.
“Semua alat bukti telah dituangkan penyidik dalam berkas perkara yang kini telah dipenuhi P-19 dari JPU dan sudah dikirim kembali. Saat ini kami menunggu P-21 dari JPU. Update perkara ini akan kami infokan lagi nanti,” katanya Taufik lagi.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Perjuangan menuntut keadilan telah diambil keluarga korban bersama tim PH. Pada 21 Februari 2024, mereka sempat menggelar unjuk rasa di depan Polres Lutim. Kapolres kala itu, AKBP Zulkarnain sempat bertemu dan meminta kepada massa aksi untuk bertemu langsung dalam satu forum.
Dikutip dari ANTARA, Kapolres Lutim mengaku tidak mengetahui secara detail terkait proses hukum yang dilakukan, termasuk fakta sumber uang Rp200 ribu yang diklaim penyidik sebagai barang bukti transaksi antara pelaku dan korban.
Maka dari itu, pihaknya akan melakukan penyelidikan dan pengawasan lebih lanjut terhadap penyidik yang menangani perkara tersebut. Menurut LBH Makassar, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang berada di hulu.
Institusi ini menjadi pintu utama penegakan hukum dan akan berpengaruh pada proses-proses selanjutnya. Sebagai pintu utama untuk memperoleh keadilan, maka aparatnya berkewajiban untuk bekerja secara profesional, berintegritas dan akuntabel serta transparan.
“Serta menghormati prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), sesuai amanat Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI,” Siti Nur Alisa menyudahi.