Bollo.id — Koalisi Bantuan Hukum Rakyat untuk Advokasi warga Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, melaporkan bahwa dua warga desa pembela lingkungan telah menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan.
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, pada Selasa, 8 Juli 2024. Dua pejuang lingkungan itu yakni, Hasilin (30) dan Andi Firmansyah (40). Menurut laporan koalisi pendamping hukum, keduanya didakwa menghalang-halangi aktivitas pertambangan.
“Kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 162 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana,” keterangan dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Selasa.
Persidangan ini dikawal oleh Aliansi Peduli Lingkungan Hidup dan HAM bersama warga Torobulu. Mereka menggelar juga menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Andoolo. Massa menuntut agar kedua terdakwa dibebaskan. Mereka menilai bahwa ini bagian dari upaya kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya.
Tim hukum kedua terdakwa yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat untuk Advokasi Warga Torobulu, keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka akan mengajukan eksepsi atau nota pembelaan dalam sidang berikutnya.
“Kami akan mengajukan eksepsi/keberatan atas dakwaan JPU pada sidang selanjutnya, karena menurut kami, dakwaan JPU cenderung prematur karena terlalu memaksakan kasus ini untuk diajukan ke tahap persidangan,” kata penasihat hukum, Hutomo Mandala Putra.
Mereka berpendapat bahwa JPU tidak memperhatikan ketentuan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan BAB VI angka 1 Pedoman Kejaksaan Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Yang menyatakan: bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” tegas Hutomo. Sidang pembelaan rencana akan digelar pada 15 Juli mendatang.
Baca juga: Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Meningkat, Bagaimana Praktik Anti-SLAPP di Indonesia?
Sekilas tentang aktivitas pertambangan picu penolakan warga
Dilansir Bollo.id dari Mongabay Indonesia, perkara ini berawal pada September 2023, ketika warga Torobulu beberapa kali datang ke lokasi penambangan nikel PT WIN yang semakin mendekat ke pemukiman.
Warga mempertanyakan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan penambang yang dinilai tak ramah lingkungan.
Namun upaya itu tidak dijawab PT WIN, membuat warga terpaksa menghentikan aktivitas alat berat yang sedang berlangsung dengan dalih menginginkan lingkungan yang sehat sesuai dengan amanah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Aksi penolakan dan ketegangan pun terus berlangsung di lapangan.
Di medio September-Oktober 2023, mulai dari tingkat Pemerintah Desa, Camat, hingga Bupati telah mencoba melakukan mediasi antara pihak masyarakat dan PT WIN. Hasilnya, warga tetap bersikukuh menolak adanya penambangan di sekitar pemukiman yang tidak memiliki dokumen Amdal dan RKAB.
Seiring dengan perjalanan penolakan, pihak perusahaan kala itu melaporkan 32 orang warga ke polisi. Sampai, aparat penegak hukum menetapkan keduanya sebagai tersangka. Kasusnya pun berlanjut ke Pengadilan Negeri Andoolo dan kedua warga kini telah berstatus sebagai terdakwa.
Perjuangan berlanjut
Menurut tim penasihat hukum, sebenarnya tindakan Hasilin dan Andi Firmansah merupakan reaksi upaya perusakan lingkungan mereka oleh perusahaan yang menambang di area pemukiman mereka. “Saat itu kedua terdakwa meminta pihak operator alat berat agar menghentikan aktivitas penambangan yang mereka lakukan,” terang Hutomo.
Hutomo bilang, ini merupakan bagian dari perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui pernyataan pendapat dimuka umum. “Negara sudah seharusnya menjalankan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to Protect) warga negaranya.”
Penasihat hukum menilai, sikap JPU sama dengan penyidik di tingkat Polda Sultra yang menetapkan kedua Warga Desa Torobulu itu sebagai tersangka tanpa melihat itikad baik dari tindakan Hasilin dan Andi Firmansah yang bereaksi menolak lingkungan mereka rusak karena aktivitas pertambangan.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Aktivitas pertambangan di area pemukiman warga dan mengakibatkan kerusakan lingkungan diantaranya tercemarnya sumber air bersih serta mengganggu kenyamanan warga setempat,” dampak pencemaran lingkungan yang diungkap Hutomo.
Hutomo menganggap bahwa kasus ini bukan hanya sekedar pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, tetapi juga upaya menakut-nakuti warga agar tidak lagi menolak aktivitas pertambangan. “Bahkan menurut kami, delik ini sengaja digunakan untuk melindungi kepentingan mafia tambang.”
Kasus ini juga dianggap menunjukan adanya indikasi pelanggaran terhadap hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H Ayat (1) menyatakan: bahwa setiap orang mempunyai hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Lebih lanjut katanya, ini merupakan pelanggaran atas kesepakatan internasional yang telah disepakati dalam forum PBB tentang Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan yang berkelanjutan, yang merupakan komitmen bersama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan menomorsatukan kelestarian lingkungan.
Dari 17 kesepakatan dirumuskan, antara lain terdapat dalam poin enam yang menyatakan: Air Bersih dan Sanitasi Layak (clean water and sanitation). Artinya negara menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.