Seorang mahasiswi Unhas membentangkan poster dalam aksi penolakan UKT/Sumber: Istimewa
Seorang mahasiswi Unhas membentangkan poster dalam aksi penolakan UKT/Sumber: Istimewa

Polemik UKT Tak Usai, Sekalipun Pemerintah Menunda Kenaikannya

Kenaikan UKT menyulut protes. Maka orang-orang mulai mempertanyakan: apakah UKT menjadi kedok bisnis buat kampus belaka?

Explains


Saat melihat pengumuman Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), nama PA muncul. Dia dinyatakan lulus pada perguruan tinggi negeri di Kota Makassar. 

Tapi sesuatu telah menantinya: Uang Kuliah Tunggal (UKT).

(PA meminta identitas dan nama kampusnya tidak disebutkan. Dia khawatir terkena masalah).

Dia lalu diminta mengunggah sejumlah dokumen berupa foto rumah, tagihan listrik dan air, serta kuitansi penghasilan orang tua. Tak tahu kenapa, PA masuk bagian kelompok UKT Rp2,5 juta. Nominal itulah kelak yang dia wajib bayar tiap semester.

PA terkejut. Sebab Rp2,5 juta terlalu mahal untuk keluarganya yang hanya bergantung pada upah ayahnya sebagai buruh swasta. Itu nyaris separuh gaji per bulan ayahnya–belum kebutuhan yang lain.

“Tidak ada proses wawancara,” kata PA kepada saya, baru-baru ini. Dia bahkan tak sempat bertanya, kenapa kampus memasukkannya ke dalam kelompok itu.

PA kini duduk di bangku semester enam. Beberapa tahun lalu, ekonomi keluarganya terpuruk. Ayahnya–tulang punggung keluarganya–dipecat. Untuk bertahan, ayahnya membuka warung kopi, sebelum usaha itu macet lantas tutup. Ayahnya lalu mencari pekerjaan baru. 

Di antara kondisi itu, PA memohon penurunan biaya UKT. Dia membawa surat Pengakhiran Hubungan Kerja (PHK) ayahnya, surat keterangan kematian ibunya, dan informasi tentang situasi keuangan perusahaan tempat ayahnya bekerja, yang mendekati pailit.

Namun, pihak fakultas menolak. Kepada PA, orang kampus beralasan bahwa kampus telah mempertimbangkan semua faktor sebelum menetapkan UKT. 

PA mati-matian menjelaskan kondisi keluarganya tetapi keputusan fakultas sudah bulat. PA menyerah dan tak lagi mau memohon penurunan UKT.

“Saya teringat terus dengan beberapa hal seperti respons Wakil Dekan yang kurang baik soal kondisi saya, dan bahkan dibentak oleh satpam,” kata PA. “Jadi saya berpikir untuk menyerah saja soal itu dan cari alternatif lain.”

Selama berkuliah, PA menyewa sebuah kamar indekos. Sambil berkuliah, dia bekerja sebagai penulis konten dan membuka jasa pengerjaan tugas. Tiga bulan terakhir, PA bekerja di sebuah kedai minuman sebagai Tea Sommelier, “barista teh.” 

Upah yang PA terima digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, di Kota Makassar. Sementara UKT ditanggung oleh ayahnya–kadang-kadang keluarga ibunya.


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Di tahun ini, kampusnya kembali menerima mahasiswa baru. PA mendapat sebuah dokumen dengan nama “UKT 2024.” PA kemudian membuka file itu.

“Saya terkejut melihat lonjakan golongan terakhir yang menyentuh angka belasan juta,” kata PA. “Cukup sedih dan rasanya dongkol, haha.” 

“Saya kembali berpikir bahwa pundi-pundi tersebut akan dialokasikan ke mana–atau ke siapa? Sedang fasilitas yang seharusnya menjadi lebih baik,” pikir PA. “Rasanya begitu-begitu saja tanpa ada perubahan yang signifikan.”

Sejak Undang-Undang 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi bergulir, kampus negeri menjadi otonom, dari kepegawaian, hingga keuangan. Negara hanya beri subsidi 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ini membuat biaya kuliah melonjak sembari kampus membuka unit bisnis.

Kampus tempat PA berkuliah, telah membangun unit bisnis seperti hotel, bengkel, perusahaan air mineral, jasa pengiriman, dan bahkan sedang membangun indekos yang menyerupai apartemen. “Entah dampaknya berupa apa untuk mahasiswanya,” seloroh PA. 

“Soalnya jika kita membicarakan fasilitas, aduh sedih sekali, terutama di fakultas saya. Kelas kurang, bangku yang tidak nyaman, ruangan kelas yang sempit, proyektor yang tidak memadai, dan masih banyak lagi.”

***

Saban tahun, UKT menjadi polemik. Di tahun ini, UKT naik dan gaduh se-Indonesia. Dengan UKT setinggi itu, mahasiswa di sejumlah kampus negeri bakal kesulitan untuk membayar. Setidaknya dalam satu dekade terakhir, UKT telah dinilai tinggi dan memberatkan. 

Maka orang-orang mulai mempertanyakan: apakah UKT menjadi kedok bisnis buat kampus belaka? Soalnya, mereka anggap kampus negeri yang seharusnya menyediakan akses pendidikan tinggi seluas-luasnya justru menyulitkan orang untuk mengaksesnya.

Di tengah kegaduhan itu, pada 15 Mei 2024, Tjitjik Tjahjandarie Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi malah mengatakan pendidikan tinggi bersifat tersier. Bahwa pendidikan tinggi hanya pilihan. Bukan kewajiban.

Kenaikan UKT di tahun ini pun menyulut protes. Gelombang penolakan meletus di sejumlah kampus negeri. Di Universitas Hasanuddin, protes kenaikan UKT di sosial media berakhir penangkapan paksa terhadap 11 mahasiswa, setelah belasan mahasiswa itu dituduh oleh rektor mereka telah menyebarkan kabar bohong dan mencemarkan nama baik. Mereka sempat ditahan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, sebelum dibebaskan.

Merespons gelombang protes yang bermunculan, pada 27 Mei 2024 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, memutuskan untuk membatalkan kenaikan UKT tahun ini. 

Lantas, jika kenaikan UKT batal, apakah persoalan ini ikut usai? Tentu saja tidak.


Baca:


Apa itu UKT?

UKT pertama kali diperkenalkan di perguruan tinggi, pada Tahun 2013, melalui Peraturan Mendikbud Nomor 55/2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dalam regulasi itu, setiap kampus mengusulkan tarif golongan UKT sebelum ditetapkan oleh kementerian.

Untuk menetapkan tarif UKT, terdapat Biaya Kuliah Tunggal (BKT), yaitu total biaya operasional per mahasiswa setiap semester pada suatu program studi. BKT ini kemudian dikurangi dengan biaya yang ditanggung oleh negara untuk mendapatkan besaran UKT, yang mesti dibayar oleh setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.

Dua tahun berselang, regulasi itu diganti dengan Permenristekdikti Nomor 22/2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal di PTN, yang berlaku sejak 13 Agustus 2015. Peraturan ini juga menegaskan bahwa UKT diberikan kepada mahasiswa penerima bantuan biaya pendidikan mahasiswa miskin berprestasi (Bidikmisi), sebesar Rp2,4 juta, yang disalurkan oleh kementerian kepada PTN terkait.

Regulasi tarif biaya kuliah terus mengalami perubahan. Permendikbudristekdikti Nomor 39/2016 mengatur ulang tarif UKT/BKT, kemudian diganti dengan  Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2017.

Kebijakan kemudian berganti lagi dengan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) di PTN. SSBOPT ini kemudian menjadi dasar menetapkan BKT dengan mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan, jenis Program Studi dan indeks kemahalan wilayah, yang menggambarkan tingkat kemahalan barang dan jasa di suatu wilayah.

Empat tahun berselang, regulasi kembali berganti. Pada 19 Januari 2024, Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbudristek Nomor 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri.

Peraturan yang ditetapkan ini kemudian menjadi dasar naiknya tarif UKT bagi sejumlah perguruan tinggi negeri. Lantaran kemunculan keputusan ini mendadak dan tidak mempertimbangkan kondisi mahasiswa, gelombang protes pun bermunculan.

Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) Makassar menilai peraturan terbaru tidak menyebutkan bahwa biaya UKT seharusnya mencakup biaya yang ditanggung oleh mahasiswa ditambah subsidi dari pemerintah. Dirga dari APATIS Makassar, bilang dalam peraturan menteri yang baru, tidak dijelaskan secara rinci mengenai hal tersebut.

“Ketentuan biaya operasional yang diatur tahun 2013 dan 2014. Di situ definisi UKT masih jelas. UKT adalah biaya yang dibayarkan oleh mahasiswa berdasarkan BKT dan bantuan dari pemerintah. (Sementara) peraturan yang 2015 sampai sekarang itu sudah tidak ada,” tutur Dirga.

Sementara itu, Dirga menyoroti tarif kelompok UKT yang berubah. Dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, ada batas minimum dan maksimum tarif UKT. Pasal 7 yang menyatakan bahwa UKT Kelompok I paling tinggi Rp500 ribu dan Kelompok II paling rendah Rp501 ribu dan paling tinggi Rp1 juta.

“Di peraturan terbaru, UKT Golongan I itu tarifnya Rp500 ribu, sementara peraturan sebelumnya itu disebutkan paling tinggi Rp500 ribu,” ujar Dirga pada saya, baru-baru ini.

Sebaliknya, kebijakan terbaru dalam Pasal 6 ayat (2) menetapkan tarif UKT Kelompok I dan II masing-masing sebesar Rp500 ribu dan Rp1 juta. Menurut Dirga, perubahan dalam ketentuan tarif golongan UKT menghapus peluang untuk mendapatkan pendidikan gratis. “Artinya masih ada ketentuan untuk gratis, tapi sekarang tidak ada.”

Dari sekian persoalan di balik UKT, ada satu paling mencolok. Keleluasaan kampus dalam menetapkan tarif UKT menyebabkan transparansi dan akuntabilitas berkurang, terutama dalam menentukan golongan UKT. 

“(Kampus) tidak pernah transparan dan tidak pernah memberitahukan kepada calon mahasiswa atau mahasiswa mengenai alasan masuk ke dalam (tarif) golongan UKT karena ini dan sebagainya,” tutur Dirga.

Inilah yang dirasakan PA.

Nestapa Mahasiswa Kuliah sambil Kerja, Solusi Pemerintah: ‘Pinjol’

Cerita PA hanya satu dari ratusan–jika bukan ribuan. 

Syarifuddin, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, berusia 23 tahun. Setelah lulus dari bangku sekolah, dia harus menganggur setahun karena tidak punya biaya untuk melanjutkan kuliah.

Setahun itu, Syarifuddin bekerja serabutan. Jadi buruh bangunan, menimbang besi, mengecat, dan membantu membuat sumur bor. Upah ini setidaknya dapat jadi modal awalnya untuk berkuliah.

Saat hendak mendaftar kuliah melalui jalur mandiri, dia dibebankan biaya tes sebesar Rp300 ribu. Syarifuddin pun dinyatakan lolos di Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 

Saat penentuan tarif UKT, dia diminta mengumpulkan berkas. Tanpa melalui proses wawancara, Syarifuddin mendapatkan tarif UKT sebesar Rp1.750.000. 

Dia lalu membicarakan pembayaran UKT dengan orang tuanya. Syarifuddin meminta bantuan membayar biaya kuliah di semester pertama. “Jadi pembayaran UKT selanjutnya saya yang bayar, (caranya) saya kerja,” kata Syarifuddin ke orang tuanya.

Syarifuddin belum pernah memohon penurunan UKT. Karena prosesnya lama dan rumit. “Saya cari uang saja untuk bayar UKT dibanding saya urus yang tidak pasti (hasilnya),” kata Syarifuddin pada Minggu, 23 Juni 2024. 

Saat bekerja sebagai buruh bangunan, ia mendapatkan penghasilan sekitar Rp90 ribu per hari atau sekitar Rp540 ribu per minggunya.

Syarifuddin merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh harian di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), dengan jam kerja mulai dari pukul 02.00 dini hari, hingga subuh dan pendapatan hariannya bergantung pada jumlah sapi yang dipotong. 

Namun, pendapatan ayahnya menurun karena kini banyak orang memotong sapi di rumah masing-masing, meskipun pendapatan bisa meningkat pada momen tertentu. 

“Kemarin (Iduladha) ada penghasilan bapak sekitar Rp4 juta karna sekitar dua puluhan ekor sapi dipotong dan per sapi biaya kerjanya itu sekitar Rp200 ribuan. Tapi jangan salah, karena setelah itu sudah tidak ada pesanan untuk dipotong,” jelas mahasiswa semester 6 tersebut.

Syarifuddin membayar UKT hingga semester empat. Saat ini ia merupakan mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Lanjutan. Meskipun tidak bekerja lagi secara rutin, jika tidak ada kesibukan dia akan mengambil pekerjaan, untuk menambah pendapatan.

Sementara itu, di Politeknik Negeri Ujung Pandang, proses penentuan tarif golongan UKT bagi calon mahasiswa baru PNUP tahun ajaran 2024/2025 tidak melibatkan wawancara, sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Teknik Mesin, Dimas Dewa Fajar berpendapat, keputusan PNUP untuk tidak menerapkan sistem golongan pada tahun ajaran 2024/2025, menimbulkan ketidakpastian buat mahasiswa. Tak ada transparansi dan keadilan.

“Saat ini sudah dihapus sistem penentuan golongan UKT. Ini sebenarnya yang mesti ditengarai,” kata Dimas.

Di tengah kegaduhan UKT, baik kampus maupun pemerintah malah memberikan solusi bagi mahasiswa berupa pinjaman online (pinjol) demi membayar UKT.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengusulkan penggunaan pinjol untuk mengatasi kekurangan dana, meski dengan catatan pinjol yang digunakan harus resmi dan terawasi dengan baik, agar terhindar dari penipuan atau penyalahgunaan.

Usulan ini tentu saja mengundang penentangan. Edi Subkhan, seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, berpendapat usulan ini mengindikasikan bahwa pemerintah menganggap masalah UKT sebagai tanggung jawab individu atau orang tua, bukan sebagai tanggung jawab negara.

Menggunakan pinjol untuk membayar UKT, kata Edi akan memunculkan beban ganda yang mesti dihadapi mahasiswa. Mereka tidak hanya harus fokus pada studi mereka, tetapi juga harus bekerja untuk membayar pinjol tersebut.

Anggaran Pendidikan

Separuh dekade terakhir, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan, meningkat setiap tahun. Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp473,7 triliun. Kemudian, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp479,1 triliun pada tahun 2021. 

Anggaran ini meningkat menjadi Rp480,3 triliun pada tahun 2022. Selanjutnya, pada tahun 2023, alokasi anggaran pendidikan naik sebesar 14 persen menjadi Rp552,2 triliun. Tahun ini, anggaran pendidikan sebesar 20 persen atau setara dengan Rp665,02 triliun. Dari total dana yang dialokasikan, Kemendikbudristek hanya mengelola sekitar 15 persen atau sebesar Rp98,9 triliun. 

Sementara itu, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) hanya menutup 30 persen dari total biaya operasional kampus. Selama lima tahun terakhir, alokasi BOPTN meningkat secara bertahap. Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp3.272 miliar untuk mendukung operasional perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Anggaran ini meningkat menjadi Rp4.433,2 miliar, pada tahun 2021. Tren kenaikan terus berlanjut dengan anggaran mencapai Rp5.859,5 miliar, pada tahun 2022 dan 2023. Di tahun 2024, anggaran BOPTN naik menjadi Rp6.616,3 miliar. 

Namun, subsidi dari pemerintah ini mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut data KPK, dari total anggaran APBN sebesar Rp7 triliun untuk subsidi perguruan tinggi negeri, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan anggaran yang diterima oleh kampus milik kementerian atau lembaga, yang mencapai Rp32 triliun.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan bahwa kenaikan UKT di perguruan tinggi disebabkan oleh subsidi pemerintah yang sebagian besar dialokasikan untuk sekolah milik lembaga atau kedinasan, bukan secara penuh untuk perguruan tinggi negeri.

KPK juga mencatat adanya masalah tumpang tindih dalam pendidikan di kampus kedinasan yang seharusnya bersifat spesifik. Pahala bilang harus ada perbaikan tata kelola dalam pendidikan kampus kedinasan demi memastikan fokusnya yang spesifik dan tidak tumpang tindih dengan pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi negeri.

Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR RI mengatakan adanya permasalahan dalam penganggaran fungsi pendidikan. 

Dede mengkritik sekolah kedinasan yang menerima pembiayaan APBN dan juga membebankan UKT kepada peserta didik umum. “Mestinya, kalau sekolah dinas tidak membuka untuk umum, benar-benar dinas. Dari dinas dibutuhkan, diserap di kementerian lainnya. Tetapi kalau dia membuka untuk umum, apa bedanya dengan fakultas lain yang memiliki prodi-prodi tersendiri,” jelas Dede.

Dede juga menyoroti bahwa pengeluaran per siswa di sekolah kedinasan bisa mencapai Rp100 juta per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PTN yang rata-rata Rp10 juta per siswa per tahun. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan fasilitas dan pembiayaan antara sekolah kedinasan dan perguruan tinggi umum, sehingga menciptakan ketimpangan dalam sistem pendidikan.

Batal Naik, Meredam Situasi

Setelah UKT batal dinaikkan, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) menindaklanjuti keputusan tersebut dengan mengeluarkan surat Nomor 0511/E/PR.07.04/2024, berisi enam poin yang harus dilakukan 75 PTN dan PTN Badan Hukum terkait pembatalan kenaikan UKT.

Dirjen Dikti meminta kampus untuk membatalkan dan mencabut rekomendasi serta persetujuan tarif UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) tahun akademik 2024/2025, dan mengajukan kembali tarif UKT dan IPI paling lambat 5 Juni 2024, tanpa kenaikan dibandingkan tarif tahun sebelumnya. Masing-masing kampus juga mesti merevisi Keputusan Rektor mengenai tarif UKT dan IPI.

Tak hanya itu, bagi mahasiswa baru yang telah diterima namun belum mendaftar ulang atau mengundurkan karena tarif UKT yang tinggi, diberikan kesempatan untuk daftar ulang. Selain itu, kampus juga memastikan tidak ada mahasiswa baru tahun akademik 2024/2025 yang membayar UKT lebih tinggi akibat revisi Keputusan Rektor.

Terakhir, kampus melakukan pengembalian pembayaran atau penyesuaian perhitungan pembayaran untuk semester berikutnya bagi mahasiswa yang kelebihan pembayaran UKT akibat revisi Keputusan Rektor.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) yang semula direncanakan untuk tahun ini dalam keterangan pers di Istora Senayan, Jakarta, pada Senin, 27 Mei 2024. Foto: BPMI Setpres/Vico

Namun, kenaikan UKT tahun ini ditunda lantaran menurut Presiden Indonesia Joko Widodo kebijakan itu perlu evaluasi dan perhitungan, sebelum peraturan ini diterapkan pada tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Mei 2024, setelah bertemu Menteri Nadiem Makarim.

Bagi APATIS Makassar, pembatalan naiknya UKT hanya upaya untuk meredam protes. Dirga bilang pemerintah belum serius dalam mengupayakan pendidikan gratis atau murah, dan kebijakan yang ada hanya menunda kenaikan UKT tanpa ada jaminan konkret bahwa pendidikan akan terjangkau untuk semua.

“Itu hanya menunda, yang artinya kapan saja bisa naik kembali. Hanya usaha meredam,” jelas Dirga.


Editor: Agus Mawan W


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Skip to content