Seperti kiamat yang berlangsung pelan, waktu demi waktu/Foto: Iqbal Lubis untuk Bollo.id
Sebuah riset berjudul “Bertaruh pada Smelter” yang dikeluarkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bersama Trend Asia, Melaporkan jika keberadaan pabrik pengolahan nikel dan smelter yang berada di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan berdampak pada kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitar lokasi.

Kiamat Telah Tiba

Seperti kiamat yang berlangsung pelan, waktu demi waktu.

Balla Tinggia, Mawang dan Borong Loe, tiga kampung di Pa’jukukang, salah satu kecamatan di Kabupaten Bantaeng, sudah diselimuti debu sejak tahun 2019, berasal dari cerobong-cerobong dan aktivitas smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Penduduknya menderita pusing, mual, hingga muntah. Tak ada pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Pada akhirnya keluhan itu menjadi angin lalu, dan warga dengan pasrah dan secara paksa, mengucapkannya sebagai kebiasaan. 

“Kalau orang baru yang datang, pasti mual karena bau. Pusing karena debu,” kata beberapa warga yang saya temui. “Tapi mungkin kami sudah terbiasa.”

Liputan ini adalah serial, baca laporan lainnya: Diabaikan Perusahaan, Ditinggalkan Pemerintah

Pemandangan polusi asap dan debu pembakaran industri Smelter milik PT Hengseng New Energy Material Indonesia dari lahan perkebunan masyarakat yang sudah beralih fungsi menjadi lahan kosong.
Polusi debu dilap menggunakan tangan saat sore hari di halaman rumah milik warga. Kondisi seperti ini dirasakan masyarakat Papan loe dan Barang loe hampir setiap harinya akibat adanya aktivitas industri Smelter tidak hanya debu bau tak sedap serta sesak juga menjadi keluhan masyarakat sekitar Smelter milik PT Huadi Group.

Saya berkunjung ke kampung-kampung ini, pada awal Agustus 2024. Di sini rumah-rumah menjadi sangat kotor. Dari atap, jendela, lantai, dinding, perabotan makan, pakaian, kasur, semua berubah menjadi merah. Debu-debu itu seakan menyusup celah apapun.

Tanaman juga ikut meradang. Mangga berhenti berbuah. Sayur kelor yang tak bisa lagi dikonsumsi. Pisang yang buahnya menjadi rusak. Pohon asam juga mati. Padi yang gagal panen. Jagung pun tak bisa berbuah.

Asap tebal, debu hingga bau busuk menjadi makanan sehari-hari warga di sana. Sejak smelter pemurnian biji nikel beroperasi pada 2019, masyarakat sekitar pabrik mengeluhkan bau busuk dari hasil pembakaran perusahaan itu. Selain dari bau busuk, masyarakat juga keluhkan debu berwarna merah dan suara bising dari aktivitas smelter.
Dua perempuan remaja melintas di samping industri smelter yang sedang beroperasi di kampung Mawang desa Papanloe, Bantaeng. Warga mengeluhkan adanya polusi asap, debu dan bau yang menyengat yang bersumber dari dalam smelter.

Rasanya, semua menjadi serba rumit. Beberapa warga bekerja di perusahaan sebagai buruh rendahan, dapat gaji setiap bulan, antara Rp5 juta hingga Rp7 juta. Tapi upah itu tak sepadan buat kehidupan yang mereka dapatkan. Sebab semua kebutuhan menuntut uang banyak. 

Halaman rumah yang luas, yang seharusnya jadi tempat mereka tanami sayuran, seperti cabai, singkong, kelor, daun sop, semua telah mati. Sumur tanah yang menjadi sumber utama air, ikutan mengering. Bahkan aliran sungai kecil di Borong Loe, yang menjadi tempat minum ternak, akhirnya sudah tak bisa lagi diandalkan, karena dalam waktu tertentu airnya menjadi sangat panas.

Dukung Kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo

Kondisi dapur milik daeng Sanda dan Yeni yang diselimuti debu berwarna kemerahan, hampir setiap kondisi berdebu ini dirasakan masyarakat Papan loe dan sekitaran areal Industri smelter milik PT Huadi Group.
Karim, 50 tahun (kanan) menggendong anaknya Cepang (kiri) dari balik jendela kamar yang berdebu berwarna kemerahan dan sangat berbau. Debu ini berasal dari aktivitas industri smelter milik PT Unity.
Ikan kering yang sudah tak layak konsumsi akibat dilumuri debu proyek smleter dirumah daeng Sanda. Setiap hari makanan mereka harus dimakan sesegara mungkin. Tidak ada stock makanan yang bisa disimpan karena setiap makanan yang disimpan atau di dinginkan bisa dilumuri debu industri Smelter.

Sementara itu, warga yang memiliki modal kecil, akhirnya menghentikan produksi bata. Warga yang punya tabungan, membuat sumur bor yang biayanya mencapai jutaan rupiah. 

Kini, jangankan manusia, tumbuhan dan binatang pun akhirnya merasakan dampaknya. Di Bantaeng, ini seperti kiamat, berlangsung pelan-pelan. 

Monyet milik warga yang diikat di depan rumah sering mengalami stres berat dan sakit akibat bunyi-bunyi dari industri smelter saat beroperasi.
Sebagian hewan peliharaan warga juga mengalami sakit-sakitan dan mati mendadak.
Aktivitas bongkar muat ore di pelabuhan bongkar muat milik PT PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia (Huadi group), Huadi mendapatkan sebagian pasokan nikel mentah dari wilayah-wilayah lain mulai Malili di Sulawesi Selatan, Kolaka, Bombana, dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara sampai Konawe Utara.

Liputan ini bagian dari serial Dampak Hilirisasi Nikel di Sulawesi, didukung Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi bersih, berkeadilan, dan pembangunan berkelanjutan di Asia.

Foto: Iqbal Lubis

Teks: Iqbal Lubis

Editor: Agus Mawan

Skip to content