Balla Tinggia, Mawang dan Borong Loe, tiga kampung di Pa’jukukang, salah satu kecamatan di Kabupaten Bantaeng, sudah diselimuti debu sejak tahun 2019, berasal dari cerobong-cerobong dan aktivitas smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Penduduknya menderita pusing, mual, hingga muntah. Tak ada pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Pada akhirnya keluhan itu menjadi angin lalu, dan warga dengan pasrah dan secara paksa, mengucapkannya sebagai kebiasaan.
“Kalau orang baru yang datang, pasti mual karena bau. Pusing karena debu,” kata beberapa warga yang saya temui. “Tapi mungkin kami sudah terbiasa.”
Saya berkunjung ke kampung-kampung ini, pada awal Agustus 2024. Di sini rumah-rumah menjadi sangat kotor. Dari atap, jendela, lantai, dinding, perabotan makan, pakaian, kasur, semua berubah menjadi merah. Debu-debu itu seakan menyusup celah apapun.
Tanaman juga ikut meradang. Mangga berhenti berbuah. Sayur kelor yang tak bisa lagi dikonsumsi. Pisang yang buahnya menjadi rusak. Pohon asam juga mati. Padi yang gagal panen. Jagung pun tak bisa berbuah.
Rasanya, semua menjadi serba rumit. Beberapa warga bekerja di perusahaan sebagai buruh rendahan, dapat gaji setiap bulan, antara Rp5 juta hingga Rp7 juta. Tapi upah itu tak sepadan buat kehidupan yang mereka dapatkan. Sebab semua kebutuhan menuntut uang banyak.
Halaman rumah yang luas, yang seharusnya jadi tempat mereka tanami sayuran, seperti cabai, singkong, kelor, daun sop, semua telah mati. Sumur tanah yang menjadi sumber utama air, ikutan mengering. Bahkan aliran sungai kecil di Borong Loe, yang menjadi tempat minum ternak, akhirnya sudah tak bisa lagi diandalkan, karena dalam waktu tertentu airnya menjadi sangat panas.
Dukung Kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Sementara itu, warga yang memiliki modal kecil, akhirnya menghentikan produksi bata. Warga yang punya tabungan, membuat sumur bor yang biayanya mencapai jutaan rupiah.
Kini, jangankan manusia, tumbuhan dan binatang pun akhirnya merasakan dampaknya. Di Bantaeng, ini seperti kiamat, berlangsung pelan-pelan.
Liputan ini bagian dari serial Dampak Hilirisasi Nikel di Sulawesi, didukung Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi bersih, berkeadilan, dan pembangunan berkelanjutan di Asia.