Bollo.id — Bungaeja, satu dari sekian banyak daerah yang ada di sekitar karst Maros-Pangkep dengan potensi alam yang melimpah. Beberapa yang bisa dikembangkan yaitu pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu atau HHBK.
Hal ini sebagai alternatif pemanfaatan kawasan hutan yang ada di Dusun Bungaeja. Pemanfaatan yang dimaksudkan bukan penebangan pohon untuk dijadikan potongan-potongan balok ataupun papan.
Tetapi ada opsi lain yang pada intinya tidak menebang pohon dengan skala besar-besaran apalagi sampai menimbulkan alih fungsi lahan. Sejak 2021, saya sudah mulai berkunjung di dusun ini. Tepatnya di kampung Cedde, Dusun Bungaeja. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, Cedde berarti sedikit.
Dinamakan kampung Cedde karena memang hanya sedikit pemukiman yang ada di kampung ini. Kampung Cedde juga menjadi perkampungan terakhir bila hendak berkunjung ke kampung Biku. Sejak 2021 lalu, nama kampung Biku ini mulai dikenal masyarakat lokal.
Bahkan sampai masyarakat dunia. Itu karena di kampung Biku ini ditemukan lukisan cukup tua, sekitar 45 ribu tahun yang lalu. Biasanya orang yang hendak berkunjung ke kampung Biku menjadikan kampung Cedde sebagai tempat beristirahat dan memarkir kendaraannya.
Kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki melalui batuan gamping. Hal lain yang menarik di kampung ini, karena keberadaan komunitas pemuda yang mencoba mengembangkan usaha secara mandiri.
Baca juga artikel tentang Bungaeja lainnya:
- Toponimi Bungaeja
- Pentingnya Merawat Sumber Mata Air di Bungaeja
- Karst dan Hubungannya dengan Pertanian di Bungaeja
- Siapa Berperan Mengatasi Polusi Debu di Bungaeja?
Mereka menamai komunitasnya dengan Komunitas Kace atau Kampung Cedde. Nur Anisa dan Sri Ayu Lestari merupakan bagian dari komunitas Kace yang masih mengembangkan usahanya. Aktivitasnya juga didukung masyarakat di kampung Cedde.
Salah satunya Jamaluddin atau lebih akrab disapa Om Aco. Nisa bercerita, bahwa awalnya antara kelompok perempuan dan laki-laki yang ada di kampung Cedde masing-masing memiliki jenis usaha yang dikembangkan.
Contohnya pengembangan usaha pertanian bagi kelompok laki-laki, sedangkan untuk kelompok perempuan budidaya jamur tiram. Namun, di pertengahan jalan, komunitas kemudian mulai kekurangan personel.
Dampaknya, usaha yang dikembangkan dan jumlah personel tidak lagi berimbang. Jadi waktu itu komunitas memilih untuk tidak melanjutkan usaha budidaya tiram. Alasannya karena bahan baku yang kian sulit dan harganya juga melambung tinggi. Mungkin terdampak oleh kondisi pandemi COVID-19 saat itu.
Sampai saat ini, usaha yang masih berlanjut ialah budidaya cacing lumbricuss rubellus. Bukan pada pemanfaatan cacingnya, melainkan pemanfaatan sisa kotoran cacing tersebut untuk dijadikan sebagai alternatif pupuk bagi tanaman.
Awalnya mereka sempat berpikir, bahwa bagaimana mungkin dengan budidaya cacing bisa menambah pendapatan rumah tangga. Saat itu, mereka masih mengenyam pendidikan di bangku SMA sederajat.
Namun, setelah lulus sekolah dan melalui proses pendalaman usaha yang panjang, mereka kemudian meyakinkan diri untuk mengambil alih pengembangan cacing lumbricuss ini.
Menurutnya, tidak ada salahnya untuk mencoba usaha secara mandiri. lagipula ketersediaan pakannya cukup banyak di daerah ini. Yang diperlukan hanya memastikan cacing ini tidak diserang semut ataupun ayam.
Yang sulit ketika sapi milik warga tidak lagi di kandangkan. Biasanya Daeng Aco sampai keliling mengangkut kotoran sapi yang ada di jalan Dusun Bungaeja. Bahkan sampai ada yang bertanya “Mau diapakan itu kotoran sapi sampai harus dikasi gerobak?”.
Dengan santainya Daeng Aco menjawab, “Kotoran ini mau saya jadikan pakan cacing untuk dijadikan pupuk”. Yah, pakan untuk cacing ini hanya mengandalkan kotoran sapi. Sesekali jika ada buah atau sisa makanan yang organik lainnya, juga kadang diberikan ke cacing tersebut.
Menurutnya, paling tidak dengan adanya usaha ternak cacing ini bisa membantu memenuhi pupuk untuk tanaman cabai yang sementara dikembangkan di kebun miliknya. “Paling tidak, tidakmi kubeli pupuk untuk tanamanku jadi berkurang lagi pengeluaranka,” ujar Daeng Aco.
Untuk sementara, kegiatan budidaya cacing ini dilakukan di belakang rumah Daeng Aco. Mereka berinisiatif untuk membuat kandang sederhana beratapkan daun pohon aren dan dindingnya dikelilingi terpal berwarna biru.
Tempat budidayanya pun sengaja dibuat dengan tiang dan diberi oli pada masing-masing sudutnya. Hal ini untuk mencegah semut naik menyerang. Pengecekannya pun harus rutin setiap pagi dan sore hari. Pengecekan untuk memastikan pakannya tersedia dan juga tidak ada semut yang mengganggu.
Untuk kapasitas produksi saat ini masih terbilang rendah, karena hanya bisa menghasilkan sekitar 100 kg kascing dalam sebulan. Namun hal ini akan terus bertambah tergantung cara pengelolaannya.
Saat ini, vermikompos atau kascing ini sudah mulai dijual ke pedagang tanaman hias yang ada di Kota Makassar. Untuk distribusinya sendiri, masih mengandalkan bantuan dari salah satu koperasi pemuda yang ada di Maros. Yaitu Koperasi Sahabat Alam.
Menurut beberapa literatur dan juga hasil pengujian sendiri, penggunaan pupuk kascing ini sangat disarankan pada saat persemaian tanaman. Manfaat lainnya yaitu berguna untuk merangsang pertumbuhan akar tunas dan daun tanaman karena memiliki kandungan hormon sitokinin, auksin dan giberelin.
Selain itu, kascing ini juga memiliki kandungan humus yang banyak dan juga hormon yang berguna untuk menyuburkan tanah.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Editor: Sahrul Ramadan