Bollo.id — Satu ekskavator mengeruk ore nikel di lahan konsesi. Dua ekskavator lainnya mengisi truk sepuluh roda dan dua belas roda untuk diangkut ke stockpile (penampungan) dan pabrik nikel dalam kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Untuk memudahkan pengangkutan, PT IMIP pun membuat pelabuhan bongkar muat yang berada di Desa Labota dan Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Dua jetty ini mampu menampung hingga seratus kapal besar.
Selain pelabuhan ini digunakan sebagai alat untuk menerima ore nikel, IMIP juga menggunakannya untuk aktivitas mengangkut batu bara dan pengiriman hasil produksi (ekspor).
Aktivitas itu tentu berdampak pada masyarakat sekitar, mulai debu, banjir karena terjadi pendangkalan hingga pencemaran air sungai. Masyarakat sulit mendapat air bersih dari pegunungan, sebab, semua aliran sungai dibendung oleh perusahaan.
Kemudian airnya diarahkan ke kawasan IMIP untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. “Sekarang masyarakat hanya dapat limbahnya saja. Sudah tidak ada sungai di sini,” ujar Saharuddin, warga Desa Labota Juni 2024 lalu.
Menurutnya, dampak yang terus dirasakan masyarakat karena adanya aktivitas dari perusahaan. Musim hujan terjadi banjir lantaran tak ada irigasi, dan musim kemarau polusi udara.
Warga lain, Awaluddin mengatakan aktivitas perusahaan ini sangat mengganggu masyarakat setempat. Karena menimbulkan polusi udara, kebisingan hingga pencemaran air. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Sebab, mereka tak didukung oleh pemerintah.
Warga Desa Fatufia, ini mengeluhkan dampak aktivitas perusahaan. Di mana pembuangan air limbah dari PLTU langsung ke laut, sehingga membuat masyarakat sulit mendapatkan ikan. Lelaki kelahiran 1987 ini mengatakan, air limbah dari kawasan IMIP ini panasnya sampai 1 mil.
Akibatnya, tidak ada ikan dan terumbu karang yang hidup di dekat-dekat perumahan. Awaluddin merupakan masyarakat pesisir yang sebagian rumahnya berdiri di atas laut. Bagian belakang rumahnya terdapat kapal nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan.
Air laut di pemukiman itu seperti sudah dimasak sebab terasa panas. “Dulunya, air jernih dan banyak karang. Sekarang airnya panas, tidak ada lagi ikan,” kata bapak empat anak ini.
Menurut dia, awalnya kehidupan masyarakat pesisir tenang karena banyak hutan dan pohon bakau. Bahkan, rata-rata masyarakat memiliki keramba yang berisikan lobster dan dan ikan. Sejak tahun 2017, tidak ada lagi masyarakat yang punya karamba karena ikan dan lobsternya mati akibat limbah air dari IMIP yang panas dan laut yang penuh dengan lumpur.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat juga kesulitan air bersih. Padahal awal datang IMIP, mereka menjanjikan masyarakat air bersih. Namun, hingga kini tidak terealisasi. “Air bersih kita dapat dari desa, dibayar Rp50 ribu per bulan,” ucap Awaluddin.
Senada dikatakan oleh Hariyanti, warga Desa Fatufia ini. Ibu kelahiran 1984 mengungkapkan dia tinggal di wilayah pesisir sejak Tahun 1992. Ketika itu, masyarakat memenuhi kehidupan sehari-harinya dengan mencari ikan di belakang rumah. Dia juga memiliki keramba yang berisikan ikan dan lobster di belakang rumahnya.
Namun, limbah air yang panas dan laut mengalami pendangkalan dari lumpur, sehingga semuanya mati. “Dulu kita ada karamba, pelihara ikan dan lobster. Anak-anak mandi di belakang rumah,” ucap dia. “Sekarang tidak bisa lagi, apalagi laut sudah ditimbun.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Penulis: Jurnalis warga
Editor: Sahrul Ramadan