Festival Komunitas Seni Media 2024 merupakan proyek kesenian yang terlaksana di Makassar dengan tujuan menyampaikan praktik artistik berbasis media baru dan teknologi kepada masyarakat, di ruang publik, dengan pertimbangan bahwa jika tujuan dan kebolehjadian seni bukan mengubah dunia, seni memiliki naluri untuk memperbaharui pandangan kita, memodulasi perasaan tentang sekitar kita agar dapat menjadi tempat yang lebih layak. Dengan lain kata, festival ini merupakan upaya membangun dialog bertumbuh.
Terdapat 24 karya dari 13 kolaborator, 4 kolektif, dan 7 seniman yang terhubung melalui wacana Jelajah Jala. Wacana tersebut disadur sebagai ruang eksperimen dan pembacaan atas perkembangan seni media yang berambu kepada mitologi, sejarah, dan siasat manusia dalam dunia yang saling silang tak karuan. Sepekan penuh festival yang dilaksanakan pada tanggal 3 hingga 9 November 2024 tersebut dijelajahi sekitar 36.000 ribu jiwa atau sekitar 2.45 persen dari total penduduk Makassar yang berjumlah 1.470.261 jiwa. Pemilihan Makassar sebagai arena budaya FKSM tahun ini, menurut laman resminya, merupakan upaya berdialog dengan sejarah kolonial melalui situs Benteng Ujung Pandang yang turut merekam tumbuhnya Makassar sebagai kota niaga dan kosmopolit.
Dalam riwayatnya, bandar Makassar semula berada di muara Sungai Tallo. Ketika terjadi pendangkalan hulu sungai akibat meningkatnya aktivitas pertanian, bandar tersebut dipindahkan ke muara Sungai Jeneberang. Peristiwa itu turut menumbuhkan karakteristik masyarakat dari agraris menuju maritim. Di tempat itu dibangun Benteng Somba Opu yang seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar. Seabad berlalu, Makassar merupakan salah satu kota niaga dan kosmopolit yang dihuni lebih seratus ribu orang. Namun, kekalahan Kerajaan Gowa-Tallo di Perang Makassar di tahun 1667, seakan mengintervensi perkembangan kota. Somba Opu dihancurkan dan pusat kota dipindahkan ke Benteng Ujung Pandang–yang namanya diubah Cornelis Speelman menjadi Fort Rotterdam. Perpindahan tersebut mengubah ruas jalan dan arus manusia. Perubahan struktur kota yang terus terjadi–baik secara fisik dan psikis, turut memengaruhi kebisuan yang menggema antara masa lalu dan masa kini.
Dalam tulisan ini, saya mempertimbangkan bagaimana FKSM 2024 dapat mengimbuh minat kita–terutama generasi muda, untuk memaknai ruang bersama, pertemuan yang hilang, dan kartografi ingatan. Berjalan selama beberapa hari di Benteng Ujung Pandang yang separuhnya telah menjadi wahana seni, dapat mengundang harapan melalui eksperimen berbagi gambar, suara, gerak, persepsi, perasaan, dan ide.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Kartografi Ingatan
Berjarak 355 tahun sejak berubahnya nama Benteng Ujung Pandang ke Fort Rotterdam, di tempat yang sama, FKSM 2024 berupaya melakukan dialog historis, interpretatif, dan pelacakan terhadap kenangan budaya. Ketika berkunjung pada hari kedua, berbekal pengetahuan seadanya tentang Jelajah Jala melalui kerangka kuratorial dan kata pengantar yang ditulis Yudi Ahmad Tajuddin sebagai direktur festival, saya berjalan di wahana Hujan Khatulistiwa karya Iwan Yusuf dan Nara Lab. Impresi yang menjalar adalah tingkah tubuh yang diguyur hujan khatulistiwa. Apakah tubuh kita merupakan instalasi yang kita kurasi secara publik? Tubuh yang kemudian menjadi pesan pertama bagi orang-orang di sekitar kita.
Kita tahu bahwa impresi semacam itu lekas memudar tertimpa lalu lalang yang lain. Dan untuk alasan itu, saya mengembangkannya menjadi pengamatan sepihak untuk melihat situs Benteng Ujung Pandang dalam panorama struktur yang berlapis dan menggunakan jalan kaki sebagai praktik seni; berjalan dari satu wahana menuju wahana yang lain, berjumpa dengan ragam bunyi, gerak tubuh, bahasa, tempias warna, dan emosi manusia.
Hasil pengamatan dan runutan berjalan kaki itu kemudian saya kemas menjadi lapisan kartografi ingatan. Lapisan pertama, Benteng Ujung Pandang terdiri dari struktur psikis yang dipenuhi aroma kemarahan yang ambigu, dramaturgi kekalahan, dan kolonialisme tiada ampun. Lapisan kedua, merupakan struktur fisik yang menampilkan perubahan sedimen sosial; noda di jendela, retakan bekas peluru, gurat pada batu, pagar yang berkarat, dan permukaan dinding yang berubah warna. Sementara lapisan ketiga, struktur psikis dan fisik yang tertimpa karya instalasi, pertunjukan, dan arus manusia dengan motif perjalanannya masing-masing.
Terdapat kesenjangan wacana yang cenderung kontras dari tiga lapisan struktur tersebut. Menjadi penting meluaskan pandangan tentang perkembangan Makassar dari kontras-kontras semacam itu. Sebagai ruang hidup, Makassar tampaknya masih cukup keras kepala untuk tetap tumbuh dari denah yang terpisah-pisah, kaburnya rasa kebersamaan kolektif, belum lekatnya rasa kita yang menyeluruh. Sejak lama, ini menjadi kota yang dihuni banyak pendatang. Banyak orang pindah ke Makassar dengan rencana untuk tidak menetap, tetapi kemudian rencana itu berubah. Karena di suatu tempat sepanjang jalan atau ruang di kota ini, terbenam realitas di dalam hati kita yang keras. Perlahan kita mulai mencintai tempat yang kita benci ini. Makassar tumbuh menjadi kota yang mudah disalahpahami. Tempat yang mustahil mendapat pujian sampai kita sanggup menghargai semua ketidakkonsistenannya yang menawan. Kota ini penuh rasa curiga. Kota ini buruk dan juga indah. Kota ini bergerak cepat dan lamban dalam hal lain. Kota ini cantik dan juga terluka. Dan sekali lagi, kita menambahkan satu pengalaman bersama tentang kota ini melalui festival seni.
Baca: Rupa dan Suara Konflik Lingkungan di Sentani dalam Helaehili No
Pada kesempatan yang berbeda, saya berpapasan dengan Rambat Bunyi dan Siklus Benturan Yang – Broken Chord karya kolaborasi seniman Makassar Dion Kalimuddin, Haruna Rasyid, Hirah Sanada, M. Rais, Raka Nurditama dan Sultan Alauddin. Salah satu instrumen penting dari karya interaktif ini adalah tangan. Karya ini menarik bagi pengunjung dari banyak tingkatan minat–mereka yang hanya ingin memahami gambaran besar hingga yang ingin menggali lebih dalam. Sebagai karya interaktif, Rambat Bunyi dan Siklus Benturan bersifat mekanis dan kinetik. Tangan kita memegang alat tabuh yang dibenturkan pada gong, bunyi yang dihasilkan akan merambat dan diterjemahkan sebagai teks.
Ketika ingin mengunjungi wahana lain, jalan kaki sebagai praktik yang saya gunakan menjelajahi keseluruhan wahana mengalami kemacetan ketika berdesak riang dengan pengunjung. Sejumlah pertanyaan kemudian bercengkrama dengan kerumunan ini. Bagaimana tepatnya peristiwa seni dapat membentuk ingatan kolektif tentang suatu kota? Peran apa yang dimainkan oleh elemen-elemen seperti lokasi, partisipasi publik, dan media dalam proses ini? Semakin banyak kerumunan yang saya lewati, pertanyaan tersebut memberi kemungkinan, kita sedang menciptakan ingatan baru tentang Makassar melalui festival ini.
Festival Seni yang Menghadap ke Publik Muda Makassar
FKSM 2024 telah menarik ribuan pengunjung selama pelaksanaannya di Makassar. Sekarang, mereka butuh tujuan baru. Kita mungkin setuju, keberlangsungan festival ini perlu dilanjutkan karena dapat menghubungkan publik muda dengan kotanya. Seni, tentu saja, adalah medianya. Namun, bisakah festival ini menantang dirinya sendiri untuk membuat kota lebih terhubung lagi? Bisakah festival ini membantu mengubah penikmat seni yang kuat menjadi warga negara yang baik? Bagi saya, itu tampak sebagai arah yang menjanjikan–panduan yang spesifik, unik, dan dapat diperdebatkan.
Mari kita bertukar pita pikiran. Saya mengusulkan jalinan ide: selain menggunakan ruang publik untuk instalasi karya dan pertunjukan, bisakah festival ini menghadirkan aktivitas yang memungkinkan pengunjung terhubung satu sama lain secara bermakna, meskipun singkat? Mungkin dipandu seniman dengan tiga pertanyaan terkait kota atau seni, lalu meminta setiap pengunjung beralih ke orang asing untuk membahas salah satunya. Apa yang membawa Anda ke kota ini–entah karena kelahiran atau keadaan? Peristiwa apa yang memengaruhi Anda saat masih kecil? Menurut Anda, apa yang akan membuat kita menjadi kota yang lebih baik?
Dengan membuat sesi–sekaligus dapat memecah kerumunan dan antrean, melalui pertanyaan-pertanyaan ini, akan membantu pengunjung untuk saling mengenal dan terhubung. Ini juga akan mematahkan norma untuk tidak berbicara dengan orang asing, dan mungkin mendorong perilaku semacam ini untuk terus berlanjut saat festival ini telah selesai. Begitu ide ini saya sampaikan kepada salah satu volunter, itu menyuarakan kekhawatiran, “waktu dan ruang yang kemungkinan besar dan adanya intervensi pembahasan yang menyangkut keidealan seni media dari si seniman,” kata volunter tersebut. Namun, itulah tujuannya yang sebenarnya, meskipun tidak terucapkan, menegaskan keutamaan festival yang berkelanjutan.
Secara gagasan, kita mungkin menyukai ide festival seni yang menghubungkan manusia. Namun, saat kita perlu berkompromi untuk memulai sesuatu yang baru, tanda bahaya berbunyi. Apakah publik muda di kota ini–terutama digital natives, sudah siap menjadikan festival seni sebagai upaya menghubungkan mereka dengan kotanya dan itu juga berarti mengubah struktur menikmati festival. Pada akhirnya, FKSM 2024 telah melakukan apa yang banyak dari kita lakukan: membentuk pertemuan dan dialog berdasarkan berbagai motivasi yang tidak diungkapkan, dan melakukan gerakan setengah hati menuju tujuan yang lebih tinggi.
Pertemuan yang Hilang
Sebagai bagian dari eksperimen berjalan kaki, untuk pertama kalinya saya memasuki Benteng Ujung Pandang dengan cara yang belum pernah saya alami sebelumnya. Pengalaman ini–yang dilapisi tiga struktur seperti yang saya uraikan sebelumnya, menghasilkan memori-memori baru dan gambar-gambar baru yang menentang waktu. Seperti memasuki portal tersembunyi untuk melakukan perjalanan ke masa lalu dan pada waktu yang sama masa depan juga sedang terjadi. Saya menjalani perasaan waktu yang sangat aneh, dari masa lalu tetapi masa lalu yang berpura-pura berada di masa kini. Saya bertanya-tanya bagaimana kita yang berjalan dalam kerumunan lamban ini saling terhubung ketika motif perjalanan kita berbeda-beda?
Berjalan bersama dalam kelambanan di FKSM 2024 dengan motif penjelajahan dan eksplorasi yang berbeda, menciptakan hubungan di luar realitas dan membangkitkan imajinasi untuk melintasi batas-batas teritorialnya. Setidaknya untuk diri saya sendiri, FKSM menjadi pertemuan yang hilang. Karya instalasi dan pertunjukan yang telah saya alami membenamkan penyimpangan ke dalam ingatan saya: memori tentang kemungkinan masa depan. Sebuah penyimpangan yang mengisi sekat yang biasanya tidak terlihat dan terdengar ketika memasuki Benteng Ujung Pandang. Sebuah penyimpangan untuk kota yang bergerak cepat dan masih sering berkelahi dengan masa lalunya.
Kerumunan yang berjalan lamban ini, melihat, mendengar, mencium, bermimpi dan menjadi bagian dari pengalaman bersama para pengunjung tentang Benteng Ujung Pandang dan lebih luas lagi Makassar. Dalam hal ini, FKSM 2024 turut membarui ingatan kita tentang pertemuan dan kerumunan. Ingatan, yang dipandang sebagai fenomena mental, kita fungsikan sekali lagi di FKSM sebagai alat perekam, penyimpan, dan pengingat yang penting untuk tumbuh bersama di festival-festival lain di mana pun peristiwa itu terjadi.
Editor: Agus Mawan W