Bollo.id – Selasa, 13 Desember 2016. Caca tidak bisa melupakan hari itu. Ia baru saja pulang sekolah. Saat melihat banyak pria dengan pakaian loreng berada di sekitar rumahnya.
Dengan sepatu laras, mereka hilir mudik. Mengangkat barang yang Caca tidak tahu dari mana dan mau dibawa ke mana.
Karena penasaran, ia tidak langsung masuk rumah. Tapi mencari tahu apa yang terjadi.
“Pergima di belakang,” kata Caca, menceritakan peristiwa itu kepada saya akhir Januari 2025 lalu.
Anak kelas 3 Sekolah Dasar itu kaget bukan main. Ia melihat sejumlah rumah yang ada di kawasan asrama telah dirobohkan dengan ekskavator.
“Ternyata digusur,” kenang Caca. Ia telah berumur 17 tahun saat diwawancarai.
Pria berpakaian loreng dengan sepatu laras yang dilihat Caca sejak awal adalah prajurit Kodam VII Wirabuana – sekarang XIV Hasanuddin.
Jumlahnya sekitar 3.000 orang, ditugaskan mengeksekusi 102 rumah di Asrama Purnawirawan TNI di Kelurahan Bara-Baraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar. Diperkirakan ada 600 warga terdampak penggusuran hari itu.
Di tengah eksekusi, warga bertanya apakah penggusuran juga berlaku untuk rumah di luar asrama?
“Tidakji ibu, karena di sini (asrama) memang tanahnya tentara. Sewa toh,” ujar Caca, menirukan jawaban tentara kala itu.
Warga hari itu merasa lega. Namun semua berubah pada 1 Februari 2017. Danramil 1408-08/Makassar mengeluarkan Surat Edaran Perintah pengosongan 28 rumah di luar asrama. Termasuk rumah Caca yang dihuni dua Kepala Keluarga (KK).
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Surat edaran perintah kembali dikeluarkan pada 13 Februari 2017. Namun warga, yang terdiri dari 67 KK bergeming. Hingga Kodam mengeluarkan Surat Peringatan (SP) pertama pada 17 Februari 2017.
Alih-alih menuruti, warga murka. Tentara yang ditugaskan membawa SP itu kena amuk.
“Dibilangi, kenapa mau ganggu kita di sini (perkampungan warga). Nakita bukanji asrama TNI. Kita beli pakai uang,” tutur Caca.
Warga tak rela meninggalkan rumahnya begitu saja. Mereka telah beranak cucu di sana. Caca, misalnya, lahir di sana. Empat saudaranya juga. Mama dan saudara-saudaranya pun begitu.
Rumah itu dibeli mendiang kakeknya pada 1968. Kini, mereka tinggal bersepuluh di rumah itu. Keempat saudaranya; mama Caca, Eta; bapak; nenek; dan dua omnya.
“Bayangkan dia (kakek Caca), untuk beli itu tanah sampai jual sepeda di tahun 68,” kata Eta. Lalu setelah puluhan tahun mereka tinggal di rumah itu, tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu. “Bagaimana saya tidak perjuangkan,” sambung Eta.
“Mauka ke mana kodong. Apalagi sekolah anak-anak.” Buru-buru Eta melanjutkan. “Tapi bukan hanya materi, ini soal memori.”
Sejak mendapat SP pengosongan, warga menggalang solidaritas. Dukungan datang dari berbagai elemen masyarakat sipil.
Bergerak kolektif, mengadvokasi di pengadilan (litigasi) dan nonlitigasi, mulai dari kampanye media hingga demonstrasi. Gabungan solidaritas dari berbagai latar belakang itu bernama: Aliansi Bara-Baraya Bersatu.
Posko dibangun. Di tempat itu para warga dan solidaritas berkumpul. Di masa-masa genting, seperti saat kabar penggusuran makin kencang, mereka ronda bergantian. Sif malam kan begadang.
“Gara-gara itu suamiku dipecat kerja di 2018. Karena selalu terlambat bangun,” ucap Eta.
Agar dapur tetap mengepul dan membiayai Caca dan dua saudaranya yang sekolah, suami Eta kini bekerja sebagai Ojek Online (Ojol). Empat tahun terakhir, Eta juga bekerja di salah satu toko brand sandal di Makassar.
Di tengah kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga dan bekerja, Eta terus mengawal advokasi Bara-Baraya. Begitu pula anak-anak dan seluruh keluarganya.
“Kalau saya nda kerja, bagaimana cara bayar uang sekolah anak-anak. Okelah (sekolah) negeri. Tapi kan uang jajannya, makannya, seragamnya, dan lain-lain (pakai biaya) semua toh.”
Kalau ada kegiatan penting aliansi seperti sidang, aksi, atau rapat, Eta izin tidak masuk kerja. Eta, dan warga Bara-Baraya mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan tanahnya. Mempertahankan kehidupannya.
“Saya pertaruhkanmi nyawaku untuk Bara-Baraya,” ada nada ketir saat Eta mengucapkan kalimat itu.
Api Itu Bernama Bara-Baraya!
“Bara-Baraya Tergusur Makassar Lautan Api.”
“Busur para penggusur.”
“Bara-Baraya Siap Perang Melawan Penggusuran.”
Narasi demikian tersebar di berbagai titik di Makassar. Bentuknya berbagai rupa: stiker, spanduk, hingga coretan di dinding kampus hingga fasilitas publik.
Sejak demonstrasi tolak penggusuran Bara-Baraya pertama digelar pada 20 Februari 2017. Ditambah berbagai kegiatan, narasi serupa tidak pernah alpa. Biasanya pekikan kata itu dipegang Caca dan Dede, atau anak-anak lain di Bara-Baraya yang enggal lengah.
Ada 39 anak di Bara-Baraya, tidak sulit menemukan mereka di setiap kegiatan yang digelar Aliansi Bara-Baraya Bersatu.
Ketimbang alpa demo, mereka malah rela absen di sekolah. Momentum itu dimaklumi guru mereka.
“Kadang nda pergika sekolah untuk ikut. Apalagi kalau sidang. Kecuali mau ujian atau yang penting, baru pergi sekolah,” terang Caca, yang kini duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas.
Saat demonstrasi atau mengikuti kegiatan aliansi, para anak tidak sekadar figuran. Mereka menenteng petaka, bahkan mengisi acara.
Kalau acaranya have fun, seperti lomba semarak kemerdekaan 17 Agustus, mereka jadi peserta. Kalau acaranya festival, panggung ekspresi, atau pertunjukan musik, mereka tak mau kalah mengisi acara.
“Saya biasa menyanyi Buruh Tani,” kata Caca.
Penampilan Caca bisa dilihat di sini
Anak lain, ada yang baca puisi, ada juga akustikan. Adik Caca, Dede, yang kini masih SD suka menyanyikan Buruh Tani, Darah Juang, dan lagu-lagu perjuangan lainnya.
Pernah di 2022, saat aliansi menggelar festival untuk donasi korban kebakaran 13 rumah di Bara-Baraya, Dede, bersama dua temannya naik ke panggung. Di atas reruntuhan dan abu rumahnya yang terbakar (warga menyebutnya dibakar), tiga anak kelas 3 SD itu mengepalkan tangan kiri, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Bara-Barayya,” pekik Dede dan temannya.
“Menolak tergusur!” timpal para hadirin.
Setelah mengulangnya tiga kali. Dede memimpin menyanyikan lagu Buruh Tani dengan tangan kiri terus terkepal. Suaranya lantang.

Sebenarnya, Eta melarang Caca, Dede, dan anak-anaknya terlibat terlalu jauh dalam gerakan di Bara-Baraya. Apalagi sampai izin sekolah untuk demo.
“Tapi itu masalahnya tadi, ini Caca dari kecil. 9 tahun, sampai sekarang. Mendarah daging mi kawal itu penggusuran,” ujar Eta dengan senyum tipis.
Eta tidak kuasa melarang anaknya memperjuangkan haknya. Belajar dan bermain di masa anak-anak dengan cara mereka sendiri.
Sejak Caca beranjak dewasa, dan neneknya sudah makin tua, sementara Eta dan suaminya makin sibuk kerja. Caca lah di keluarga mereka yang lebih aktif dalam gerakan.
“Sayami yang selalu hadiri rapat, konsolidasi apa. Karena nabilang maceku, turun temurunki ini. Kan dari omaku (nenek) ini, ke mamaku, baru sayami.”
Caca aktif di dalam rapat atau forum konsolidasi. Ia kerap jadi notulen. Di grup pesan singkat, ia juga aktif mengkoordinir hal teknis dari hasil rapat yang telah disepakati.
“Harus memang. Masa mahasiswa yang aktif, padahal rumahnya warga. Rumahku yang mau digusur,” ujar Caca.
Karena kesibukan itu, ia jarang bergaul dan bermain dengan sebayanya. Meski begitu, ia senang berinteraksi dengan solidaritas yang didominasi mahasiswa. “Kayak kakakmi semua,” kata Caca. Dari para mahasiswa, pengacara, jurnalis, dan pekerja yang kerap datang ke posko, Caca berkenalan dengan buku-buku dan pemikiran.
Tanpa membenarkan bolos sekolah. Bagi Caca dan anak-anak di Bara-Baraya, belajar tidak hanya di sekolah.
Caca, misalnya, kini tahu apa itu ketidakadilan. Ia juga tahu jawabannya: melawan.
“Kalau tidak kualami (ancaman) penggusuran, tidak kutauki itu melawan, melawan ketidakadilan. Temanku tidak tahu (melawan), karena tidak narasa. Tidak terjadi pada dia,” kata Caca.
Meski masih kelas 2 SMA, Caca telah ditawari gurunya untuk dibimbing masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Eta berspekulasi karena aktivitasnya di aliansi.
Pengadilan yang Tidak Adil?
Kabar eksekusi penggusuran makin dekat. Warga was-was, anak-anak cemas. Sambil terus melawan dengan berbagai cara.
“Baru-baruka menangis. Kupikir, deh, rumahku. Masa mau diambil cuma-cuma sama orang, padahal tidak ada haknya,” kata Caca.
Para penggusur bisa datang kapan saja.
“Bagaimanami ini kalau Subuh-subuh masih tidurki. Tiba-tiba adami di depan pintu mendobrak.”
Kekhawatiran Caca bukan tanpa dasar. Salah seorang warga, yang juga Ketua Rukun Warga, mendapat informasi penggusuran awal tahun ini.
Desas-desus itu, makin menguat setelah polisi kerap kepergok memantau aktivitas warga. Lalu pada awal Januari 2025, ekskavator terparkir di area pemukiman warga.
Meski pihak berwenang setempat menyebut ekskavator itu tidak ada hubungannya dengan rencana penggusuran, warga tetap awas.
Rabu, 15 Januari 2025, Aliansi Bara-Baraya Bersatu menggeruduk Pengadilan Negeri (PN) Makassar dan Polrestabes Makassar. Berdemonstrasi meminta kejelasan isu penggusuran yang makin kencang. PN membantah telah menerbitkan surat perintah eksekusi.
“Humasnya PN bilang, mungkin itu upaya pemantauan (dari polisi),” kata kuasa hukum warga, Lisa, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Meski isu ancaman penggusuran telah direspons, warga tidak menelannya mentah-mentah. Sebabnya, di jalur pengadilan, warga telah kalah sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Terbukti, saat warga kembali mendatangi PN Makassar dan Polrestabes Makassar, Kamis 6 Februari 2025. Kepala Bagian Operasional Polrestabes Makassar, Darminto mengonfirmasi pihaknya telah menerima surat perintah eksekusi dari PN Makassar.
“Pihak pengadilan menyurat ke Polrestabes untuk mengamankan jalannya eksekusi,” kata Darminto.
Kapan?
“Masih menunggu jadwalnya,” sambung Darminto.
Lisa mengatakan, pengadilan sebenarnya tidak boleh mengeluarkan perintah eksekusi. Karena LBH masih melakukan upaya hukum. Prosesnya masih berjalan.
“Perkara ini tidak bisa dieksekusi karena ada kecacatan hukum di dalamnya,” terang Lisa.
Kronik perjuangan warga Bara-Baraya sejak 2017 di sini ini
Sejak kasus ini bergulir, Lisa bilang kuat keterlibatan mafia tanah dari pihak penggugat yang ingin menggusur warga. Salah satu indikasinya, penggugat atas nama Nurdin Daeng Nombong tidak pernah hadir dalam persidangan.
Dugaan itu telah dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar. Di Jakarta, kuasa hukum warga juga melaporkan hal sama ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pada dasarnya kata Lisa, warga punya alasan kuat untuk tidak tergusur dari tanahnya. Warga memiliki akta jual beli tanah, selain itu sudah menduduki tanah lebih dari 20 tahun.
Dalam hukum pertanahan, kepemilikan tanah dengan lama penguasaan merupakan kepemilikan tanah tertinggi. Di konteks Bara-Baraya, meskipun penggugat punya sertifikat, kepemilikan warga tidak bisa serta-merta digugurkan.
“Jadi warga Bara-Baraya berhak di lahannya karena mereka mendudukinya dengan cara yang tidak melawan hukum. Maksudnya adalah, dengan cara jual beli.”
Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Budaya mendaftar tanah, dengan mensertifikatkan, kata Lisa adalah budaya Belanda. Bukan produk Indonesia.
“Jadi yang perlu dilihat pengadilan adalah siapa yang menguasai lahan itu,” terang Lisa.
Lisa juga meminta pengadilan memperhatikan dampak penggusuran itu terhadap warga. Total 196 warga terancam tak punya tempat tinggal, 103 diantaranya perempuan, dan 93 laki-laki.
Jika Bara-Baraya tergusur, 196 warga akan terdampak. 12 diantaranya balita yang berumur hingga 5 tahun, 27 orang anak yang berusia 5-12 tahun, dan remaja dengan jumlah yang sama berumur 13-17 tahun.
Jika Bara-Baraya tergusur, 66 anak itu terancam kehilangan tempat tinggal.
Jika Bara-Baraya tergusur, seperti narasi spanduk dan teriakan warga setiap berdemonstrasi, “Makassar lautan api!”
Editor: Sahrul Ramadan