Ilustrasi, hutan Papua/walhipapua.org
Ilustrasi, hutan Papua/walhipapua.org

Ekosida di Papua: Dampak Ekspansi Ekstraktif Bagi Masyarakat Adat

“Persoalan cukup rumit, karena semua pembangunan yang ada di Papua itu dipakai dengan kacamata orang-orang yang tinggal di luar Papua”

Bollo.id – Tanah Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Namun, eksploitasi sumber daya alam dengan aktivitas ekstraktif besar seperti pertambangan, penebangan kayu, dan perkebunan kelapa sawit telah merusak mata pencaharian masyarakat lokal Papua dan memicu konflik agraria.

Untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua dan memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia, Amnesty Amawa Wikreti awal Agustus 2024, menggelar Diskusi Publik bertajuk “Melindungi Identitas dan Hak Masyarakat Adat Papua di Era Globalisasi”. Forum diskusi yang diadakan pada Sabtu, 3 Agustus ini melibatkan narasumber dari Pusaka Bentala Rakyat serta Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Dorthea Elisabeth Wabiser, Staf Peneliti dan Pengetahuan di Pusaka Bentala Rakyat, menjelaskan bahwa organisasi nirlaba ini fokus pada advokasi di wilayah selatan dan barat Papua yang dekat dengan perusahaan kelapa sawit. Mereka mencatat bahwa ekstraktivisme besar-besaran dimulai pada tahun 1998 dengan masuknya industri kelapa sawit ke Papua. Pada masa pemerintahan Soeharto, izin usaha kelapa sawit diterbitkan di Jayapura dan Manokwari dengan total luas mencapai 102.049 hektar.

Hal tersebut kemudian berlanjut pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Aktivitas deforestasi meningkat secara signifikan. Pada rentang tahun 2006 hingga 2014, pemerintah SBY memberikan izin pelepasan tanah seluas 1.042.130 hektar, termasuk program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi.


Baca juga: Nawa Dosa Rezim Jokowi yang Diadili di Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa: Emosional


Dorthea kemudian mengatakan bahwa pada periode pertama Jokowi, pemerintah memberikan izin sebesar 195.943 hektar bagi perusahaan kelapa sawit. Selama rezim Jokowi hingga, deforestasi mencapai 20.780 hektar pada 2022, kemudian bertambah lagi seluas 25.457 hektar pada tahun 2023. 

Pada awal tahun 2024, yakni Januari hingga Februari, Pusaka Bentala Rakyat mencatat aktivitas deforestasi mencapai 765,71 hektar. Selain itu, ada rencana untuk menggunakan 2.000.000 hektar lahan di Merauke untuk penanaman tebu.

Pada 19 April 2024, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk mempercepat program swasembada gula dan bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pembentukan ini diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024, yang ditandatangani Jokowi.

Bagi Dorthea, serangkaian aktivitas ini mengakibatkan berbagai bentuk ekosida, dengan dampak signifikan terhadap hutan dan masyarakat adat. Suku Yeinan di Merauke, misalnya, telah menghadapi ancaman terhadap tanah dan hutan mereka karena proyek strategis nasional yang mengincar area masyarakat setempat. 

Tak hanya itu, penyingkiran hak dan akses masyarakat adat terjadi di kampung Buepe dan Zanegi, di mana konsesi tanah diberikan kepada perusahaan tanpa memperhatikan keberadaan kampung-kampung tersebut. Perampasan tanah juga terlihat di Grime Nawa, di mana izin diberikan tanpa melibatkan masyarakat, dan perusahaan tetap melakukan pembukaan lahan meskipun izin telah dicabut.


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Selain itu, penggundulan hutan skala luas terjadi pada 2007 ketika Bupati Boven Digoel memberikan izin yang melanggar peraturan, dan beberapa perusahaan menghadapi konflik hukum dengan masyarakat.

“Pada tahun 2007, Bupati Boven Digoel menerbitkan izin lokasi ke tujuh perusahaan (yang bergabung) dalam Menara Group milik Chairul Anhar ini. Mereka mendapatkan izin lokasi dengan luas 280.000 hektar tanah.”

“Ternyata luas yang diberikan ini melanggar peraturan Menteri Kehutanan tentang tata cara pelepasan hutan karena satu grup hanya bisa 200.000 hektar,” jelas Dorthea.

Di sisi lain, Joni Aswira Putra, Ketua Umum SIEJ melihat bahwa banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengorbankan masyarakat lokal dan adat di Papua, namun media nasional jarang mengangkatnya. 

“Sangat sulit mendapatkan informasi yang cukup kredibel dan independen. Bukan karena wartawannya tidak punya kompetensi tapi lebih kepada ada ketakutan untuk menyiarkan informasi yang sebenar-benarnya,” kata Joni.

Joni menekankan bahwa diskusi tentang Papua harus difokuskan pada aspek kemanusiaan, termasuk hak-hak dan ruang hidup masyarakat adat. Dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat mempertahankan ruang hidup mereka dari gempuran investasi bisnis sangat penting.

Sementara itu, Dorthea menyinggung pembicaraan tentang Papua seringkali berkisar pada gastro kolonialisme atau penjajahan pangan.

Bagi Dorthea, masyarakat Papua tidak makan beras, melainkan sagu. Namun, dengan program pemerintah untuk menjadikan Papua sebagai pusat pangan melalui program MIFEE, hutan-hutan masyarakat Papua menjadi korban.

“Persoalan cukup rumit, karena semua pembangunan yang ada di Papua itu dipakai dengan kacamata orang-orang yang tinggal di luar Papua,” tutur Dorthea.


Editor: Sahrul Ramadan


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content