Fokus adalah rubrik explainer dari Bollo.id.
Ada 23 titik potensi panas bumi yang menyebar di Sulawesi Selatan, menurut Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No.2 Tahun 2022 tentang Rencana Umum Energi Daerah (Rued) Tahun 2021-2050.
Titik-titik itu diperkirakan bisa hasilkan listrik sebesar 503 Megawatt (MW) dan tersebar di 11 kabupaten. Tertinggi berada di titik panas bumi Lompobattang, Kabupaten Sinjai, sebesar 70 MW.
Di Indonesia, energi panas bumi diklaim sebagai Energi Baru dan Terbarukan (EBT), menjadi bagian dari bauran energi. Pada Oktober 2023, bauran energi di Indonesia baru mencapai 12,8 persen, dengan target 23 persen pada 2025 mendatang.
Terbaru, Indonesia menutup tahun 2023, dengan bauran energi mencapai 13,1 persen. “Ini kita melihat bahwa peningkatan ada, cuma belum signifikan,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, 15 Januari 2024.
“Sehingga ini perlu upaya-upaya keras untuk bisa mendekati target capaian di tahun 2025. Tahun 2025 itu kita targetkan 23 persen bauran, tetapi saat ini kita masih pada level 13,1 persen.”
Baca fokus sebelumnya: Apa itu Energi Panas Bumi dan Kenapa menjadi Polemik?
Indonesia sedang berupaya menuju transisi energi, dengan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, demi mencapai target net-zero emission (NZE) pada tahun 2050 mendatang.
Tetapi upaya itu baru dimulai kelak ketika tahun 2035, menurut dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), Sekretariat JETP Indonesia pada 1 November 2023.
JETP atau Just Energy Transition Partnership adalah program kerja sama pembiayaan internasional demi mendorong negara-negara berkembang–termasuk Indonesia–untuk meninggalkan energi fosil ke energi terbarukan.
Pada 2022, Indonesia mendapat komitmen pembiayaan JETP dengan nilai total US$20 miliar. Pemerintah Indonesia membentuk Sekretariat JETP. Bertugas untuk merencanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan komitmen ini.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Menuju transisi energi, EBT dianggap bersifat strategis oleh negara karena bahan bakunya selalu tersedia, seperti air, angin, dan panas bumi. Berbeda dengan batubara dan energi fosil yang lain.
Namun, potensi ini tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan listrik semata seraya memanfaatkan sumber terbarukan. Banyak hal menjadi pertimbangan, tidak sekadar ketersediaan bahan baku tetapi juga dalam tahapan pembangunannya. Apakah bersih dari emisi atau justru sebaliknya?
Riski Saputra, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan, bilang bahwa meskipun terdapat kata ‘terbarukan’, tetapi istilah itu lebih berfokus pada teknologi yang digunakan.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), misalnya kata Riski, merupakan teknologi baru, tetapi dalam proses penghasilan listrik tetap saja melibatkan penambangan. Butuh batubara untuk untuk bahan bakar bersama sampah, dan itu prosesnya belum tentu ramah lingkungan.
“Jika hanya melihat dari ketersediaan sumber bahan bakunya, (itu) terbarukan. Ada permainan kata ‘terbarukan‘ di situ,” katanya pada Bollo.id, 29 Januari 2024.
“Itu lebih ke teknologinya. Contohnya itu PLTSa, lebih ke teknologinya yang baru, tapi tetap ada penambangan (di situ). Baru, tapi itu belum tentu ‘bersih’,” jelasnya.
Riski menemukan hal serupa pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Selain penuh resiko kebocoran gas yang dapat membahayakan nyawa warga setempat, beberapa dampak juga timbul dari pengembangan PLTP, dari praoperasi hingga operasi, salah satunya dapat memicu gempa minor, dan kejadian serupa jamak terjadi.
Di Sulawesi Selatan, menurut Riski, ada dua titik panas bumi yang masuk dalam tahapan eksplorasi dan survei rinci: Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai dan Bituang, Kabupaten Tana Toraja. Sebagai contoh, Riski merujuk pada Desa Batu Belerang, tempat salah satu titik potensi panas bumi di Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai.
“Ketika melakukan tracking, ada potensi bahaya yang timbul ketika titik tersebut dijadikan lokasi PLTP, karena sungai di area tersebut termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Balantieng,” kata Riski.
“Dinding sungainya rentan terhadap longsor. Jika gempa minor terjadi, dapat memicu longsor, bahkan berpotensi menyebabkan banjir bandang, karena longsoran itu membentuk bendung alami di sungai.”
Ambisi Pemerintah Indonesia untuk transisi energi, menurut Riski sepatutnya tak hanya persoalan karbon semata. “Terkesan bahwa isu energi terbarukan disederhanakan menjadi hanya masalah emisi karbon,” katanya.
“Padahal ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, tidak hanya terkait dengan tingkat emisi karbon, tetapi juga harus dilihat dari segi proses pembangunan secara menyeluruh.”