Polisi anti huru hara/Wikimedia Commons
Polisi anti huru hara/Wikimedia Commons

Kekerasan demi Kekerasan: Potret Klise Kepolisian Tangani Demonstrasi

Kekerasan demi kekerasan. Kritik demi kritik. Bagaimana potret represif polisi di tengah upaya mengubah citra mereka menjadi humanis.

Explains


Pada 1 Mei lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Kota Makassar, aparat kepolisian bersenjata lengkap menyerbu kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) Gunung Sari, melepaskan gas air mata, menyisir ruangan sekretariat Lembaga Kemahasiswaan dan menangkap acak puluhan mahasiswa.

Polisi berkilah, tindakan itu sebagai “pembinaan” terhadap puluhan mahasiswa yang menggelar demonstrasi hingga malam hari. Kepada Bollo.id, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sosial dan Hukum membantah jika massa yang dimaksud oleh polisi bukan bagian dari massa aksi mereka.

“Dibubarkan dan dikumpulkan di halaman kampus UNM kemudian dilakukan pembinaan dan diberi arahan serta nasehat dari Kepala Polrestabes,” kata Kepala Seksi (Kasi) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Wahiduddin melalui Whatsapp, pada 2 Mei 2024. 

“Setelah itu mereka bubar.”

Kepada Bollo.id, polisi juga membantah telah melakukan kekerasan terhadap mahasiswa–meski sejumlah video dan foto amatir yang beredar menunjukkan sebaliknya.

Keesokan harinya, 2 Mei 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), aparat kepolisian kembali membubarkan massa aksi di depan Universitas Muhammadiyah (Unismuh), dengan menyisir ke dalam kampus dan menangkap sejumlah mahasiswa dan warga. Di malam itu, Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH Makassar) mencatat, setidaknya ada 51 orang yang ditangkap oleh polisi.

Dalam siaran pers LBH Makassar, polisi menghalangi akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap.

Dua peristiwa ini membuktikan satu hal: kekerasan oleh aparat polisi masih terjadi, meski institusi Bhayangkara itu tengah berupaya mengubah citranya menjadi humanis. Tindakan kepolisian dalam membubarkan demonstrasi dan protes telah menjadi sasaran kritik dalam beberapa tahun belakangan.

“Komnas HAM [Hak Asasi Manusia] harus segera melakukan penyelidikan terkait Pelanggaran HAM yang dilakukan dan memastikan ada proses hukum terhadap aparat yang melanggar,” kata Azis Dumpa, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, kepada Bollo.id, baru-baru ini.

“Agar peristiwa kekerasan oleh kepolisian dalam penanganan aksi tidak berulang dan terus menimbulkan korban.”


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Tindakan represif oleh aparat kepolisian bukanlah pertama kali. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selama periode Januari 2021 hingga Juni 2023, setidaknya ada 316 insiden pelanggaran kebebasan berekspresi yang terjadi di Indonesia, di mana pelaku utama dari 128 kasus di antaranya adalah aparat kepolisian. 

Dari berbagai kasus, tindakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi meliputi penganiayaan, kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang hingga pembubaran paksa.

Represifitas Aparat Kepolisian

Separuh dekade terakhir, KontraS mencatat berbagai bentuk pelanggaran HAM–terutama hak sipil dan politik–seperti kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum.

Pada rentang Desember 2018-November 2019, KontraS mencatat, 187 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi melibatkan 1.615 korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh polisi. 

Tingkat pelanggaran yang kian meningkat itu ditandai dengan respons seperti pembubaran paksa, penganiayaan, dan pembunuhan. Dalam banyak kasus, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani aksi massa.

Bukannya berkurang, tindakan represif aparat kepolisian malah meningkat. Pada rentang Desember 2019-November 2020, pelanggaran, pembatasan hingga serangan terhadap kebebasan berekspresi mencapai 300 peristiwa. 

Dari jumlah pelanggaran itu, KontraS menemukan dua isu utama yang banyak menimbulkan korban kriminalisasi: Legislasi Undang-undang Cipta Kerja dan penanganan pandemi Covid-19.

Dari kedua isu itu, perisitiwa yang muncul masing-masing berjumlah 87 dan 67 kasus dengan korban penangkapan sebanyak 455 dan 938 orang. Dalam catatan terpisah, di tahun 2019, polisi memukul tiga jurnalis pada saat unjuk rasa Reformasi Dikorupsi berujung ricuh, di Kota Makassar. Hingga sekarang, kasus pemukulan ini belum menemukan titik terang.

Dalam isu legislasi UU Cipta Kerja, serangan ini dilegitimasi oleh kebijakan negara sementara penanganan Covid-19, pihak kepolisian melakukan patroli siber dan penegakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan terhadap Presiden, pejabat hingga lembaga negara lainnya.

Di tahun berikutnya, KontraS kembali merilis pola-pola pelanggaran yang terus berulang. Dalam catatannya, terjadi 150 pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia, termasuk 67 kasus pembubaran paksa dan 44 kasus penangkapan sewenang-wenang. 

Dari sejumlah kasus, sebanyak 533 orang ditangkap, 49 luka-luka, 2 tewas dan 87 tindak pelanggaran lainnya. Menurut KontraS, institusi utama pelaku tindak kekerasan merupakan aparat kepolisian, disusul pemerintah dan organisasi masyarakat (Ormas).

Selain di ruang publik, menurut KontraS, tindakan represif juga merambah ke ranah digital. Salah satunya, melalui surat edaran yang dikeluarkan oleh Polri, yang mengadakan polisi virtual untuk menegur akun-akun yang dianggap melanggar UU ITE–terutama bagi yang mengkritik pemerintah. Tindakan ini menurut KontraS, menambah rasa takut masyarakat untuk menyampaikan pendapat.

Pada 2022, setidaknya ada 152 pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Pelanggaran ini meliputi 57 kasus pembubaran paksa, 42 kasus penangkapan sewenang-wenang, dan 33 kasus penganiayaan, sementara sisanya merupakan kasus kriminalisasi hingga intimidasi.

Sejumlah kasus mengakibatkan 846 orang ditangkap, 291 luka-luka, 3 tewas, dan 71 korban lainnya. Korban pelanggaran umumnya merupakan warga sipil, mahasiswa, aktivis, dan jurnalis, sementara polisi menjadi pelaku utama dengan keterlibatan di 108 peristiwa pelanggaran.

Setahun terakhir, KontraS merilis laporan pada periode Desember 2022-November 2023. Dalam Catahu HAM 2023, tercatat adanya 127 kasus serangan dan ancaman kebebasan sipil yang mengakibatkan 622 orang ditangkap, 72 luka-luka dan satu korban jiwa.

Dari sejumlah kasus, bentuk pelanggaran meliputi pembubaran paksa sebanyak 41 kasus, intimidasi dan penangkapan sewenang-wenang yang masing-masing berjumlah 37 dan 35 kasus. Menurut KontraS, kepolisian menjadi aktor utama terhadap 88 peristiwa, diikuti oleh pemerintah, swasta, TNI, hingga Ormas.

Dari Catahu KontraS selama lima tahun berturut-turut itu, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang merupakan pola dan tindakan represif yang seringkali dilakukan aparat kepolisian dengan berbagai alasan, salah satunya karena tidak mengantongi perizinan dan dianggap sebagai gangguan terhadap ketertiban umum.

Penanganan yang Keliru

Penembakan gas air mata, pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang secara acak terhadap puluhan mahasiswa kerap kali terjadi–dan kadang kala peristiwa itu merembes hingga dalam kampus.

Di Kota Makassar, pada 2014 silam, terjadi Insiden 13 November. Sejumlah aparat yang terdiri dari Brigade Mobile Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat bersama anggota Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, melakukan tindakan kekerasan dan melanggar kebebasan pers dalam mengamankan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh BEM UNM, di depan gedung Dewan Kota Makassar. 


Baca:


Saat pengamanan aksi, situasi menjadi ricuh saat Wakapolrestabes Makassar terkena anak panah (busur) yang diduga berasal dari kerumunan massa aksi. Memicu pihak kepolisian mencari pelaku hingga menyisir kampus UNM Gunung Sari, di mana aktivitas perkuliahan sedang berlangsung. Penyisiran ini disertai kekerasan dan pengrusakan.

Insiden tersebut mengakibatkan sejumlah mahasiswa mengalami luka-luka, sementara kendaraan milik dosen dan mahasiswa serta sarana kampus mengalami kerusakan. Selain itu, beberapa wartawan yang melakukan peliputan turut menjadi korban kekerasan. Polisi merampas kamera dan alat rekam, menggeledah, mengancam hingga menganiaya sejumlah wartawan yang sedang meliput peristiwa itu.

“Pendekatan yang dilakukan aparat kepolisian [itu] represif dan brutal, padahal mereka memiliki Peraturan Kapolri yang mewajibkan polisi dalam melaksanakan tugas menerapkan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia,” kata Azis Dumpa, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, kepada Bollo.id.

“Dalam negara demokrasi yang menjamin perlindungan HAM, penggunaan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang tidak dapat dibenarkan.”

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengecam kekerasan dan penangkapan pihak kepolisian terhadap mahasiswa, di Kota Makassar, yang terjadi pada 1 dan 2 Mei 2024 lalu. 

Dia menyoroti bagaimana penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat, termasuk penggunaan gas air mata dan penangkapan sewenang-wenang. “Kami tegaskan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan ini tidak dapat diterima karena berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Usman, kepada Bollo.id.

Bagi Usman, tindakan ini menunjukkan kurangnya komitmen polisi untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berkumpul. “Kami mendesak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk mengusut dan menindak aparat yang menggunakan kekuatan secara berlebihan kepada mahasiswa dalam insiden tersebut. Hal ini sangat penting agar peristiwa serupa tidak berulang di masa depan.”

Tindakan represif polisi ini juga dikritik oleh Institute for Criminal Justice Form (ICJR), sebuah lembaga penelitian dan advokasi independen, yang berfokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum secara umum di Indonesia. Menurut ICJR, tindakan represif yang dilakukan pihak kepolisian merupakan langkah yang keliru. 

Lantas, mengapa aparat kepolisian masih menggunakan tindakan represif dalam menangani penanganan demonstrasi atau penertiban umum?

Menurut Eko Riyadi, Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Aparat Penegak Hukum (APH) salah satunya instansi kepolisian seringkali menggunakan interpretasi undang-undang tentang ketertiban umum sebagai dasar untuk menggunakan kekerasan dalam menjaga keamanan publik.

Undang-undang yang mengatur ketertiban umum merupakan aturan yang ditetapkan oleh tiap daerah melalui Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebelumnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), salah satunya kewajiban pemerintah daerah yaitu mengatur ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Dalam tulisannya di The Conversation, Eko mengatakan bahwa APH cenderung menggunakan kekerasan, mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat dan mengutamakan isu keamanan. Di lapangan, menurutnya aparat seringkali menerjemahkan perintah ‘amankan’ dari atasan, dengan melakukan represi demi mencapai stabilitas keamanan.

Meski kepolisian telah memiliki Peraturan Kepala Polri yang mengamanatkan HAM dalam semua tugas dan fungsinya, tetapi kata Eko, implementasi tersebut belum sepenuhnya diterapkan dalam operasional dan hukum acara di kepolisian.

“Pemerintah juga perlu melakukan pendidikan yang meluas tentang larangan penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan,” tulis Eko.

“Tugas polisi adalah melindungi, bukan melukai”.

Azis Dumpa, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menyatakan kinerja kepolisian harus dievaluasi secara menyeluruh, termasuk penggunaan kekuatan atau senjata. “[Ini] harus dipertanggungjawabkan bukan hanya pada pimpinan secara institusional, tapi juga kepada publik, karena tentu publik semakin kehilangan trust pada polisi.”


Editor: Agus Mawan W


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Skip to content