Ilustrasi: Perjuangan petani melawan perampasan tanah/Dok LBH Makassar.
Ilustrasi: Perjuangan petani melawan perampasan tanah/Dok LBH Makassar.

Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Meningkat, Bagaimana Praktik Anti-SLAPP di Indonesia?

Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata.

Fokus adalah rubrik explainer dari Bollo.id.


Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Publik atau disebut Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) merupakan bentuk ancaman dan kerap menjadi alat untuk menjerat pembela lingkungan, alih-alih mendapatkan perlindungan.

Padahal, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata. Ini diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, sebetulnya SLAPP dapat dilawan melalui mekanisme Anti SLAPP. Ini sebagai upaya kebijakan hukum demi melindungi hak masyarakat saat menyampaikan pendapat atau kritik yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Anti SLAPP pertama kali diperkenalkan oleh George W. Pring dan Penelope Canan di Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an. Dalam konsep Anti SLAPP di bidang lingkungan, George dan Canan menyebutnya sebagai Ecological-SLAPP.

Saat ini, Indonesia hanya mengadopsi konsep Anti SLAPP pada sektor lingkungan hidup, atau yang dikenal dengan Anti-Ecological-SLAPP: sebuah mekanisme yang menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan, agar terhindar dari kriminalisasi atau gugatan. Namun, dalam praktiknya, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan terus saja meningkat. 

Sentuh infografis untuk menampilkan data

Environmental Defender mencatat, sepanjang tahun 2014 hingga 2023, setidaknya ada 126 kasus. Dari total kasus, paling banyak terjadi di wilayah Jawa sebanyak 35 kasus, diikuti Sumatera dengan 28 kasus, Sulawesi dan Kalimantan sebanyak 22 kasus, Bali dan Nusa Tenggara masing-masing 14 kasus, Kepulauan Maluku dengan tiga kasus, serta Tanah Papua dengan dua kasus.

Dari 126 kasus, hampir separuh atau 53 kasus terjadi pada sektor tambang dan energi. Perkebunan menjadi sektor kedua paling banyak dengan 34 kasus, menyusul pencemaran lingkungan 15 kasus, dan kehutanan 13 kasus, serta perairan dan kelautan lima kasus.


Baca explainer sebelumnya: Apa itu Petani Gurem dan Kenapa Jumlahnya Meningkat?


Meski Undang-Undang di Indonesia telah mengatur Anti-SLAPP, Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin mengatakan bahwa pada implementasinya tetap saja menghadapi kendala juga hambatan. Bahkan, menurut dia, tindakan kriminalisasi, intimidasi, dan gugatan yang menyasar pejuang lingkungan cenderung meningkat setiap tahun.

“Menurut pandangan saya, pembicaraan mengenai lembaga Anti SLAPP tidak hanya berkaitan dengan analisis norma hukum positif yang terdapat dalam undang-undang,” terangnya saat meresmikan peluncuran Buku Anti-SLAPP di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta pada 7 September 2023 lalu.

“Tetapi juga merupakan inisiatif dan gerakan kolektif yang perlu kita lakukan untuk melindungi bumi dan lingkungan tempat tinggal kita agar tetap dalam keadaan baik dan sehat, bahkan hingga generasi mendatang.”

Sentuh infografis untuk menampilkan data

Indonesia telah mengatur mekanisme Anti-SLAPP ke dalam sejumlah regulasi, di antaranya: Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pasal 58 ayat (2) Huruf E UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; dan Surat Keputusan (SK) Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Pada perkara perdata, mekanisme ini dapat diajukan dalam provisi atau biaya administrasi dan sebagainya, eksepsi dan gugatan rekonvensi atau gugatan balik. Sementara perkara pidana, diajukan melalui eksepsi dan pembelaan. Hanya saja, mekanisme Anti-Eco-SLAPP ini masih minim dan umum, sehingga memerlukan penguatan dan pengaturan lebih lanjut demi menjamin partisipasi publik yang luas.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Peneliti Agrarian Resources Centre (ARC), Dianto Bahcriadi, menyoroti salah satu penyebab meningkatnya jumlah konflik agraria dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya. Dianto bilang, penyebabnya adalah pemberian izin yang mudah bagi sejumlah konsesi, baik perusahaan perkebunan maupun pertambangan dalam skala besar.

“Di banyak tempat di atas tanah yang diterbitkan izin konsesi itu sesungguhnya sudah hidup, digunakan, dikuasai, dimiliki oleh sejumlah komunitas,” kata Dianto. 

“Salah satunya, komunitas masyarakat adat yang sudah menguasai teritori adat dalam waktu sangat lama. Konsekuensinya, masyarakat yang tinggal di situ harus tersingkir. Lalu terjadilah kekerasan-kekerasan, pelanggaran HAM.”

Gulir infografis untuk membaca data

Belum lama ini, Kelompok Kerja (Pokja) Lingkungan Hidup Mahkamah Konstitusi, baru saja merampungkan pembahasan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung mengenai Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Rancangan saat ini, sedang menanti persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 

Rancangan Perma ini merupakan penyempurnaan dari SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013, yang perlu penyesuaian dengan peraturan lingkungan hidup yang baru. Peraturan ini telah ditingkatkan dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung menjadi Peraturan Mahkamah Agung untuk memastikan keberlakuan yang lebih kuat.

“Sebenarnya, sudah ada di Pasal 66 UU Lingkungan Hidup tetapi pasal itu belum beroperasi efektif karena ada celah hukum, kelemahan substansi, maupun kelemahan prosedur,” kata Marsha Handayani dari ICEL, pada 2021.

Dari norma pasal itu kata dia, ada kelemahan dalam penjelasan, dengan membatasi subjek, korban dan atau pelapor. Padahal, menurut Marsha, di batang tubuh pasal itu telah menyebut secara tegas, bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.

“Namun, di penjelasan—lagi-lagi—dibatasi, perjuangan hak atas lingkungan hidup ini, yaitu yang menempuh cara hukum, padahal perjuangan lingkungan hidup tidak hanya ditempuh melalui cara hukum.”


Editor: Sahrul Ramadan


A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Skip to content