Fokus adalah rubrik baru Bollo.id, memuat penjelasan dari isu dan topik yang sedang kami pantau.
Paling tidak, ada satu hal yang sangat diinginkan Naya (nama samaran): Dia berharap segera mendapatkan penempatan ke negara suaka.
Sisanya, dia menjalani kehidupan sebagai pengungsi bersama keluarganya selama hampir 10 tahun di Indonesia, sebuah negara ribuan kilometer dari tanah kelahirannya di Somalia.
“Awal masuk ke Indonesia itu di Medan. Abis itu pindah lagi ke Jakarta, lalu pindah ke Semarang,” kata Naya.
“Dan sekarang di Makassar.”
Naya memperoleh identitas pengungsi pada medio Tahun 2019. Empat tahun sebelumnya, dia masih berstatus sebagai pencari suaka. Dalam rentang waktu itu, Naya bersama keluarganya menetap di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).
Pada saya Naya menceritakan, bagaimana proses panjang yang dia jalani demi memperoleh status pengungsi. Dari registrasi, wawancara dengan UNHCR, menerima kartu identitas pengungsi, hingga pengajuan resettlement atau penempatan ke negara suaka.
“Mulai proses itu tahun 2015. Pertengahan 2019 baru selesai,” Naya bercerita.
“Butuh empat tahun baru dapat kartu identitas pengungsi.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Perlindungan bagi pencari suaka–hingga statusnya ditetapkan sebagai pengungsi–diatur oleh Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), melalui prosedur penentuan Refugee Status Determination (RSD). Melalui prosedur tersebut, pencari suaka diwawancarai untuk menilai validitas permintaan perlindungan mereka.
Namun selama di negara transit, kehidupan mereka penuh nestapa. Mereka tidak memiliki hak untuk bekerja, buat sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di Makassar, Naya hidup dari biaya tanggungan yang dia terima saban bulan, dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Masing-masing anggota keluarga (usia ‘dewasa’) mendapat Rp1,25 juta dan Rp500 ribu untuk anak-anak.
Dengan bantuan itu kata Naya, dia–mau tidak mau–harus menekan pengeluaran bulanannya.
“Misalkan kalau di pasar harganya naik atau turun, jadi disesuaikan,” Naya menjelaskan.
“Kalau lagi murah, ya bagus. Tapi kalau naik, tidak cukup.”
Beberapa kali, Naya mendengar pertanyaan dari orang-orang bahwa para pengungsi hanya tahu menerima “fasilitas serba gratis“ yang diberikan Pemerintah Indonesia.
“Padahal tidak seperti itu,” keluhnya.
Fasilitas hingga biaya hidup yang dia terima adalah tanggungan dari IOM dan UNHCR, lembaga internasional yang mengurus permasalahan pengungsi di negara-negara transit.
Ini ditegaskan oleh UNHCR Indonesia pada kanal media sosial resmi mereka, soal kewajiban perlindungan pengungsi dan mandat UNHCR. Penanganan pengungsi dan program yang dijalankan, sepenuhnya didanai oleh UNHCR dan mitra. Tidak bergantung pada anggaran negara atau daerah.
Baca ulasan fokus sebelumnya: Pengungsi di antara Dilema Kemanusiaan dan Isu Kebencian
Selain Naya, ada Farid (nama samaran), seorang pengungsi asal Afganistan. Bagi Farid, tanggungan bulanan itu tidak cukup.
Ungkapan Farid beralasan. Tiap tahun, biaya hidup kian meningkat.
“Kalau kita melihat lima atau enam tahun yang lalu, ya masih aman,” kata Farid pada saya.
“Tapi sekarang? Kalau beli beras harganya itu sudah Rp11 ribu perliter.”
“Nah! Bertambah kan?”
Daftar Hitam
Dalam menangani pengungsi, Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan UNHCR. Ada tiga pilihan yang telah diatur oleh UNHCR dan menjadi solusi jangka panjang dalam penanganan pengungsi di Indonesia.
Pertama, penempatan ke negara suaka atau resettlement. Kedua, repatriasi yaitu pemulangan secara sukarela ke negara asal. Pilihan terakhir adalah integrasi lokal yaitu memberikan izin untuk tinggal permanen.
Kebanyakan para pengungsi memilih pilihan pertama. Resettlement.
Resettlement adalah perpindahan pengungsi dari negara tempat mereka mencari perlindungan ke negara lain yang telah menyetujui penerimaan mereka sebagai pengungsi dengan status penduduk tetap.
Farid salah seorang yang ikut mengajukan ‘pemukiman kembali’. Namun UNHCR tidak merespons pengajuan Farid. “Bisa jadi saya masuk dalam daftar hitam,” ucap Farid.
Daftar hitam adalah istilah yang disematkan pada pengungsi yang terlibat dalam aksi demonstrasi, yang sebetulnya menyuarakan keresahan dan menuntut perhatian atas hak mereka.
Kekhawatiran Farid tidak mengada-ada. Farid beberapa kali terlibat dalam aksi demonstrasi itu. “Di sini kalau pengungsi lagi demo dan mau suarakan secara damai, orang yang dideteksi bisa saja masuk ke dalam blacklist atau daftar hitam,” kata Farid.
“Artinya, kamu (pengungsi) tidak dapat resettlement di negara lain. Ini bukan hanya sekedar peringatan, tapi itu memang ada ketentuannya.”
Ketentuan yang diungkapkan Farid memang ada. Pengungsi dianggap tidak memenuhi syarat jika meminta resettlement dengan cara kasar, agresif atau kekerasan, termasuk dengan berkemah di depan kantor UNHCR atau kantor mitra, dengan melakukan protes yang disertai kekerasan. (Bollo.id tidak dapat memverifikasi secara independen, apakah kekerasan dalam aksi demonstrasi tersebut dipicu oleh pengungsi atau pihak lain).
Ketentuan akan proses penempatan negara suaka dijelaskan UNHCR pada laman resminya. Pemukiman kembali bergantung pada ketersediaan yang disediakan oleh negara suaka, termasuk kriteria penerimaan dan kebutuhan pengungsi. Dalam ketentuan ini, UNHCR tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan relokasi ke negara suaka, melainkan oleh negara penerima.
Pasrah
Naya telah mengajukan resettlement dan dia hanya bisa pasrah menanti diberi kesempatan ke negara suaka. Sebab, Naya tahu, pemindahan itu butuh waktu panjang.
“Saya hanya bisa menunggu,” Naya berbicara pelan.
“Sudah pasrah, karena ini sudah hampir 10 tahun.”
Ketika Naya menanyakan proses resettlement yang dia ajukan. UNHCR hanya berkata padanya. “Lagi diproses, mohon bersabar. Nanti kalau ada perkembangan akan dikabari.“
Dan hingga hari ini, Naya masih menanti kabar itu.
[…] Menanti Suaka: Nestapa hingga Daftar Hitam […]