Mimpi Kosong RTH di Kota Dunia

Pemerintah Kota Makassar punya angan-angan ambisius, menjadikan kota dengan paparan panas tertinggi di dunia ini sebagai “Green city”.

Paling tidak Ruang Terbuka Hijau (RTH) meluas satu persen di tahun 2023, setelah di tahun sebelumnya hanya 1932 hektare atau 10,99 persen, dari luas Kota Makassar yang mencapai 17.580 hektare.

Di tahun ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, menargetkan luas RTH bertambah satu persen. Pemerintah Kota Makassar punya angan-angan ambisius, menjadikan kota dengan paparan panas tertinggi di dunia ini sebagai “Green city”.

Tapi capaian ini bahkan belum menyentuh separuh dari luasan RTH yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, yakni minimal tiga puluh persen dari luas wilayah administrasi sebuah kota. Cita-cita ambisius ini seakan mimpi kosong.

Berdasarkan regulasi yang ada, setiap kota atau kawasan perkotaan harus memiliki RTH minimal tiga puluh persen dari luas wilayahnya, dengan RTH Publik mencapai setidaknya dua puluh persen dan RTH Privat sepuluh persen. 

RTH Publik merupakan ruang terbuka yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota, sedangkan RTH Privat dikelola oleh pihak swasta, individu, atau masyarakat dengan pengawasan dari Pemerintah Kabupaten atau Kota.

RTH merupakan area memanjang atau jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika. Begitulah Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang mengartikan RTH.

Luas RTH memang meningkat, tapi rupanya ada sesuatu yang keliru di balik klaim Pemerintah Kota Makassar, menurut Slamet Riadi, Kepala Riset dan Keterlibatan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel). 

Apa yang keliru? Pemerintah Kota Makassar rupanya, memasukkan paving blok sebagai bagian dari RTH. “Itu yang mereka anggap sebagai pertambahan RTH.”

Memasukkan paving blok jadi bagian RTH, kata Slamet tak dapat diterima. Tentu saja, karena tidak mampu menggantikan fungsi ekologis yang diberikan oleh pohon dan vegetasi asli. 

“Tahun lalu sudah kami kritisi bahwa paving block itu tidak bisa menggantikan fungsi lingkungan sebuah pohon, menyerap karbon apalagi menyerap air,” kata Slamet. 


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Berdasarkan Peraturan Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2015-2034, rencana pemenuhan RTH di wilayah kota terdiri atas tiga kategori yaitu kawasan kota yang sudah terbangun; belum terbangun; dan kawasan reklamasi.

Untuk kawasan yang sudah terbangun, pemerintah menetapkan paling sedikit 2.900 hektar RTH. Kawasan ini meliputi sebagian wilayah di Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala, Tallo, Panakkukang, Rappocini, Mariso, Tamalate, dan Kepulauan Sangkarrang, serta di Kecamatan Bontoala, Makassar, Mamajang, Wajo, dan Ujung Tanah.

Di kawasan yang belum terbangun, baik RTH publik dan privat masing-masing juga harus mencakup minimal dua puluh persen. Luas minimal untuk kategori ini adalah 3.164 hektar. Sebaran lokasinya termasuk sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala, Tallo, Panakkukang, Rappocini, Mariso, dan Tamalate.

Sementara untuk kawasan reklamasi, RTH publik harus mencakup setidaknya tiga puluh persen dan RTH privat harus mencakup minimal dua puluh persen dari luas kawasan reklamasi. Kawasan ini meliputi sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Tallo, Ujung Pandang, Mariso, dan Tamalate.

Persoalannya, Menurut Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/Kepala Pertanahan Nasional Indonesia (ATR/BPN) Nomor 14/2022, setiap kawasan perkotaan diwajibkan memiliki RTH minimal tiga puluh persen dari total luas wilayah, atau 5274 hektare, jika itu di Kota Makassar. 

Apa yang dianggap keliru oleh Slamet ini berkaitan dengan penghitungan luas RTH yang dilakukan pihak DLH pada awal tahun 2023 lalu.

Eks Kepala Bidang RTH DLH Makassar, Azhar Anwar bilang kenaikan luas RTH sebelumnya disebabkan oleh penambahan kawasan paving block yang juga dihitung sebagai bagian dari RTH, selain area hijau. Selain itu, peningkatan luas Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) di Makassar juga dianggap berkontribusi terhadap peningkatan RTH.

Lantas apa yang bikin RTH di kota ini sulit untuk mencapai target tiga puluh persen? Penyebabnya klise. Menurut Slamet, instansi terkait dalam pembangunan kurang berkoordinasi. “Tidak ada kesepakatan antara dinas ini ketika melakukan suatu pembangunan,” katanya.

Misalnya, perumahan kata Slamet, seharusnya ada lahan yang telah disisihkan untuk RTH, tetapi seringkali lahan tersebut diubah menjadi area terbangun ketika perumahan laku terjual. 

“Kalau pengurusan izin di awal pembangunan, pasti sudah ada itu lahan yang disisakan karena tidak bakalan keluar izinnya,” kata Slamet.

Nah, yang menjadi soal adalah pengawasannya. Setelah mendapat perizinan, kayak seakan-akan hubungan antara pengembang (pemilik perumahan) dengan pemerintah sebagai yang punya regulasi itu terpisah, sudah tidak berjalan.”

Persoalan lain adalah pembangunan kota yang tidak tertata. “Ternyata memang, ketidakjelasan pembangunan Kota Makassar itu dimulai dari rezim orde baru,” menurut Slamet. “Saat itu diawali modernisasi kota. Nah, pasca ini, itu sudah banyak tumbuh kota-kota satelit di Makassar, seperti Panakukang, Losari, Panaikang. Sudah muncul pusat-pusat kota. Bahkan saat ini jumlah atau total industri itu di Kota Makassar berdasarkan data BPS Makassar, sekitar 14.900 industri.”

Mengapa RTH penting di area perkotaan?

Bagi Lengga Pradipta, seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan di Indonesia (LIPI), RTH memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan kualitas hidup di perkotaan.

Dalam tulisannya di The Conversation, Rengga menyoroti kondisi RTH di Jakarta dan Bekasi yang belum memadai, akibat pesatnya pembangunan infrastruktur seperti gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan.

Seperti Kota Bekasi, areal hijau telah berubah menjadi perumahan dan terbatasnya dana untuk pembebasan lahan menjadi kendala. Secara keseluruhan, kawasan hijau di seluruh Indonesia telah menurun dalam 30 tahun terakhir akibat dari pembangunan infrastruktur yang kurang memperhatikan aspek lingkungan, menurut Lengga.

Sementara itu, Di Makassar, bagi Slamet pengelolaan belum menunjukkan perbaikan serius. Justru salah satu RTH, yakni Taman Macan dialihfungsikan sebagian lahannya menjadi Mall Pelayanan Publik.

Sebanyak 55 pohon telah ditebang demi pembangunan itu. Pemerintah berencana mengganti pohon yang telah ditebang dengan ribuan pohon baru. Namun bagi Slamet ini tidak dapat menggantikan fungsi ekologis yang telah ada sejak lama dari pohon-pohon yang telah ditebang.

“Bukan persoalan hitung-hitungan menebang dan mengganti pohon, tapi ini soal fungsi yang dihilangkan,” kata Slamet.


Baca: Petani Takalar Menagih Janji


Berdasarkan hasil Tinjauan Walhi Sulsel Tahun 2023, Kota Makassar mengalami banjir saat musim hujan dan kekeringan selama musim kemarau. Selain penurunan tutupan hutan di dataran tinggi seperti Kabupaten Gowa, masalah utama disebabkan oleh intensitas pembangunan yang tinggi di wilayah Kota Makassar.

Banyak ruang resapan air telah diubah menjadi area bisnis, perumahan mewah, hotel, dan jalan raya. Berdasarkan kajian spasial, sekitar 65,04 persen dari total luas Kota Makassar, atau 11.432,55 hektar telah dialihfungsikan menjadi lahan terbangun.

Bagi Slamet, target tiga puluh persen luas RTH di Kota Makassar kemungkinan tidak akan tercapai dalam sepuluh tahun ke depan. Pertumbuhan kota yang semakin pesat, terutama di daerah pesisir melalui reklamasi, mengarah pada pembangunan infrastruktur yang mendukung kawasan reklamasi. Hal ini mengurangi kemungkinan penambahan RTH, membuat pencapaian target tersebut sulit dengan tren perkembangan kota yang terus padat.

“Saat ini arah pertumbuhan Kota Makassar itu lagi-lagi ke arah pinggiran pesisir, itu ditandai dengan reklamasi,” jelas Slamet.

“Reklamasi ini sebenarnya mendorong adanya pembangunan atau infrastruktur untuk mendukung kawasan tersebut. Sulit (terealisasi) dengan melihat perkembangan kota ini yang semakin padat.”

“Selain [persoalan kurangnya] lahan, tidak adanya koordinasi antara instansi terkait misalnya PUPR Kota dengan DLH.”

Pemerintah kata Slamet semestinya menyediakan RTH di setiap fasilitas publik, seperti kantor polisi dan rumah sakit, serta memastikan lahan-lahan RTH di sekitar pusat perbelanjaan.

Pemerintah kota, menurut Slamet harus mendata aset lahan kosong yang belum difungsikan dan mempertimbangkan pembangunan RTH serta penanaman pohon untuk memperluas RTH di Makassar, selain memperbaiki koordinasi antara instansi terkait seperti PUPR Kota dan DLH. 


Editor: Agus Mawan W



A. Nur Ismi

A. Nur Ismi pernah menerima Fellowship Story Grant dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan menulis tentang pemenuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi. Saat ini, A. Nur Ismi adalah jurnalis Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Fokus

Skip to content