Fokus adalah rubrik explains dari Bollo.id.
“Dulu waktu sakit, belum bisa (ke TPS), jadi dibawakan ke rumah,” kata Ain, seorang penyandang disabilitas fisik, di Kabupaten Bulukumba, kepada Bollo.id, 23 Februari 2024.
“Tapi, kalo dibawakan itu bisa saja dilihat siapa (yang) dipilih.”
Ain, seorang pemilih dengan status penyandang disabilitas fisik berusia 21 tahun. Kepada Bollo.id, Ain bercerita saat ia pertama kali ikut dalam partisipasi politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 lalu.
Kala itu, ia sedang menjalani pengobatan dan belum bisa ke lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan kondisi itu, petugas pemilu datang ke rumah Ain membawa surat suara, agar ia bisa memilih. Namun bagi Ain, itu jauh dari asas Pemilu.
“Padahal kan bersifat rahasia,” kata Ain.
Ain menuturkan perlakuan yang ia terima karena adanya rasa kasihan yang timbul dari orang lain terhadap dirinya. Sementara, bagi Ain, ia tidak perlu itu. Penyelenggara hanya perlu memberikan ruang yang setara juga aksesibel.
“Kadang (orang) mengasihani sekali,” Ain cerita. “Padahal kita biasa-biasa saja.”
Tahun ini, Ain kembali berpartisipasi pada Pemilu serentak 2024, 14 Februari lalu. Saat ikut Pemilu, ia mengatakan bahwa ia kesulitan untuk mengakses lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak aksesibel baginya.
“Waktu saya ikut pemilihan (kemarin), tangganya (di lokasi TPS) itu tinggi sekali, jadi susah,” tutur perempuan asal Bulukumba itu.
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Apa yang dialami Ain adalah satu dari sejumlah kesulitan lainnya yang dialami oleh pemilih dengan status penyandang disabilitas ketika mengikuti pesta demokrasi.
Hal demikian menunjukkan bahwa upaya untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dalam Pemilu yang inklusi dan rahasia masih belum sepenuhnya memadai.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 204.807.222 Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mengikuti Pemilu serentak 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 0,54 persen atau 1.101.178 pemilih merupakan penyandang disabilitas.
Diantaranya, sebanyak 482.414 orang disabilitas fisik, 298.749 orang disabilitas sensorik, serta 264.594 dan 55.421 orang masing-masing merupakan disabilitas mental dan intelektual.
Sementara itu, berdasarkan data Lembaga pemantau Pemilu, Network for Indonesian Democratic Society (Netfid) wilayah Sulsel, dari total 6.670.582 DPT di Sulsel, ada 53.751 merupakan pemilih disabilitas.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.911 orang merupakan penyandang disabilitas fisik, 2.636 orang disabilitas intelektual, 10.968 orang disabilitas mental, 5.889 orang dengan disabilitas sensorik wicara, serta sebanyak 3.391 orang dan 6.956 orang, masing-masing merupakan disabilitas sensorik rungu dan netra.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel, mengklaim hingga saat ini belum ada laporan akan keluhan layanan afirmatif sesudah Pemilu.
“Sampai sekarang tidak ada laporan dan keluhan terkait pelayanan afirmatif,” klaim Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat dan Data Informasi Bawaslu Sulsel, Alamsyah, 26 Februari 2024.
Layanan afirmatif merupakan kebijakan atau tindakan yang diambil oleh organisasi atau lembaga untuk mengatasi ketidaksetaraan atau diskriminasi yang mungkin dialami oleh kelompok-kelompok tertentu.
Prinsipnya, memberikan perlakuan atau dukungan tambahan kepada kelompok-kelompok yang telah mengalami diskriminasi atau ketidaksetaraan dengan tujuan untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok tersebut memiliki akses terhadap peluang dan perlakuan yang setara.
Sementara itu, Ketua Netfid Sulsel, Sukrianto bilang bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 masih jauh dari penerapan prinsip inklusi bagi pemilih disabilitas. Ia menyoroti bagaimana ketiadaan alat bantu pencoblosan berupa templat braille untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Braile adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh penyandang disabilitas netra.
“Ketiadaan akses ini merupakan wujud dari pengabaian penyelenggara Pemilu atas jaminan bagi pemilih disabilitas untuk dapat memilih secara mandiri,” kata Sukrianto.
Baca:
- Hati-hati dengan ableisme: stigma diskriminatif yang berbahaya bagi penyandang disabilitas
- Pemilu Serentak Kembali Menelan Korban Petugas Penyelenggara: saatnya KPU RI Evaluasi Menyeluruh
- Semrawut Pemilu 2024 dan Sederet Kejanggalan di Dalamnya
Bagaimana seharusnya Pemilu yang aksesibel bagi penyandang disabilitas?
Ketua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin, Ishak Salim mengatakan, bahwa absennya penyelenggara Pemilu untuk melibatkan kelompok disabilitas ikut mengambil kebijakan, membuat penyelenggara lebih cenderung mengambil pilihan pintas, yaitu menyediakan pendamping di TPS.
“Jika kita menganggap orang buta ini punya pengetahuan tentang kebutaan dan segala perangkat, budayanya, teknologinya dan sebagainya,” kata Ishak.
“Maka, ajak mereka juga untuk merencanakan templat kertas suara. Ajak mereka bagaimana merencanakan desain TPS. Bukan belakangan, dan akhirnya mereka dipersulit.”
Kebijakan yang tidak inklusif ini tidak lahir begitu saja. Pangkal penyebabnya, menurut Ishak berasal dari prasangka bahwa penyandang disabilitas itu “tidak mampu”. Prasangka inilah yang akhirnya bikin penyelenggara Pemilu tidak mengakomodasi aksesibilitas di TPS dan penyelenggaraan Pemilu.
Ishak mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh pandangan dominan dan hegemonik able people (“orang mampu”) sehingga menciptakan ketidaksetaraan dan kesenjangan dalam setiap aspek kehidupan.
“Able people ini begitu dominan, hegemonik, akhirnya merencanakan semua hal untuk digunakan manusia mampu,” kata Ishak
“Itulah yang ketika disable people mau pake itu (yang) akhirnya mereka menjadi tidak bisa. Bukan mereka unable, tapi sistem dan desain itu yang membuat mereka tidak bisa, atau disable. Akhirnya menjadilah cara pandang atau perspektif ableism.”
Ableisme merupakan wujud diskriminasi atau prasangka terhadap individu penyandang disabilitas. Ketidaksetaraan ini mencakup berbagai aspek yang dapat merugikan, mendiskriminasi bahkan mengecualikan kelompok disabilitas.
Selain itu, Ishak menganggap bahwa penyelenggara Pemilu tidak melakukan kolaborasi dengan sejumlah organisasi disabilitas yang ada. Dengan demikian dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan prinsip inklusivitas masih jauh dari yang diharapkan.
“Dari awal tidak meminta pandangan lembaga, misalnya Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) untuk bagaimana membuat braille agar bisa diakses oleh disabilitas netra,” kata Ishak
“Nah, KPU malah merancang duluan kertas suaranya baru memikirkan bagaimana orang buta menyesuaikan sistem yang mereka buat. Padahal, kan harusnya sebaliknya.”
Di samping itu, menurut Direktur Sassana Inklusi dan Gerakan Advokasi disabilitas (SIGAB) Indonesia, M. Joni Yulianto bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 mengalami kemunduran.
Menurutnya, meskipun aturan yang ada memandatkan persiapan dan pemberian akomodasi bagi pemilih disabilitas, tetapi kesiapan menjalankan aturan tersebut dianggap tidak serius.
“KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara Pemilu tentu berkewajiban untuk menindaklanjuti temuan ini sebagai perbaikan,” kata M. Joni Yulianto.
“Baik untuk penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung di tahun ini, maupun Pemilu mendatang.”
Editor: Agus Mawan W