Makassar, Bollo.id — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Sulawesi Selatan, diprediksi akan menjadi salah satu kontestasi politik yang krusial, terutama dalam hal komitmen para kandidat calon kepala daerah terhadap isu-isu lingkungan hidup.
Menjelang masa kampanye, lantas sejauh mana isu-isu lingkungan hidup menjadi prioritas bagi para calon kepala daerah di tengah banyaknya permasalahan lingkungan yang ada?
Dukung kami
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Dalam wawancara terbaru, Network for Indonesian Democratic Society (Netfid) wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), yang berperan sebagai lembaga pemantau pemilu, bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada isu lingkungan, mengemukakan pandangan mereka mengenai penyelenggaraan Pilkada 2024 di Sulsel yang kurang memperhatikan perspektif ekologi dan menyoroti kemungkinan terabaikannya isu lingkungan selama kampanye, akibat dominasi kepentingan bisnis ekstraktif dan politik dinasti.
Sukrianto dari Netfid Sulsel pesimis dengan komitmen pasangan calon (paslon) di Pilkada Sulsel 2024 dalam memperbaiki kebijakan dan tata kelola lingkungan hidup. Sukrianto bilang, konstelasi Pilkada ini cenderung mirip dengan Pemilu 2024 sebelumnya, yakni pragmatisme partai politik terlihat jelas dalam pemilihan kandidat.
“Kita bisa lihat dari pragmatisme parpol yang mengusung kandidat-kandidat di Sulsel, baik calon Gubernur dan wakil Gubernur, atau calon kepala daerah di 24 kabupaten/kota yang ada di Sulsel. Ada banyak para pengusaha atau pemodal besar yang akan berkompetisi dengan mengucurkan modal dalam berebut kuasa pengelolaan bisnis sumber daya alam.”
Sukrianto menilai Pilkada 2024 tidak lagi berfungsi sebagai konstelasi elektoral yang seharusnya, tetapi telah menjadi ajang politik bisnis.
“Sudah bertendensi politik bisnis di mana para pengusaha tambang merebut kursi pimpinan daerah agar memperkuat jejaring bisnis mereka, entah sebagai kandidat kepala daerah sendiri atau dengan cara membiayai cost politik paslon tertentu,” jelas Ketua Netfid Sulsel tersebut saat dihubungi melalui Whatsapp pada Kamis, 19 September 2024.
Bagi Sukrianto, sulit bagi calon kontestan yang memiliki pandangan pro lingkungan untuk menjadi kandidat yang sukses. Hanya politikus dengan modal besar dan jaringan bisnis yang kuat yang dapat bersaing untuk memperoleh rekomendasi partai (B-KWK).
Sukrianto mengatakan bahwa dengan kondisi tersebut, komitmen politik untuk mewujudkan kebijakan yang mendukung lingkungan kemungkinan akan hilang dalam Pilkada kali ini. “Bahkan kalau ada, itu hanya sekadar ‘politik kosmetik’ sebatas janji politik saja nihil realisasi.”
Sukrianto juga bilang “Sejauh ini, para kandidat yang telah mendaftar di KPU pada umumnya adalah bagian dari lingkaran besar politik dinasti, baik skala Pilgub, Pilbup maupun Pilwalkot. Dan sampai saat ini political will mereka sejauh ini masih absen membicarakan tentang agenda perlindungan lingkungan hidup dalam visi misi mereka.”
Di sisi lain, Arfiandi, Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau WALHI Sulsel, menyoroti masalah mendesak seperti degradasi hutan sebagian besar akibat konsesi tambang dan perkebunan. Krisis lahan dan krisis air di perkotaan, terutama di Makassar, juga menjadi perhatian, di mana masyarakat terpinggirkan kesulitan mengakses air bersih.
Selain itu, Arfiandi juga menekankan pentingnya penyelenggaraan Pilkada yang akuntabel dan transparan tanpa merusak lingkungan. Dia mencatat bahwa pengalaman dari Pemilu 2024 sebelumnya menunjukkan praktik tidak ramah lingkungan, seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang merusak pemandangan dan lingkungan.
“Mesti diperhatikan oleh KPU,” katanya. “Serius mengeluarkan PKPU soal itu untuk menegur atau memberikan larangan kepada setiap kandidat untuk tidak melakukan pemasangan alat peraga kampanye di pohon-pohon.”
Sukrianto juga memberikan kritik serupa. Dia mengatakan bahwa pemasangan APK di lokasi yang tidak tepat atau sembarangan adalah akibat dari kebijakan KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang masih belum mempertimbangkan perspektif ekologi.
Baca: Pohon Jadi Sasaran Paku-Kawat Caleg dan Parpol
Melihat masa kampanye yang hampir tiba, Arfiandi mengatakan pentingnya mendorong KPU atau para kandidat untuk melakukan dialog terbuka atau diskusi dengan masyarakat dan melihat bagaimana komitmen para kandidat dalam memandang persoalan dan solusi seperti apa bagi permasalahan lingkungan hidup yang ada di Sulsel.
“Kita kan mau lihat apakah keberpihakan terhadap lingkungan hidup atau isu-isu lingkungan hidup itu menjadi perhatian seluruh kandidat. Itu yang kami upayakan dorong, baik kepada KPU maupun kepada kontestan Pilkada tahun ini,” pungkasnya.
Editor: Agus Mawan W