Unjuk rasa petani Polongbangkeng, Takalar, lawan perampasan tanah/GRAMT
Unjuk rasa petani Polongbangkeng, Takalar, lawan perampasan tanah/GRAMT

Pemberantasan Mafia Tanah Begitu-gitu Saja, Rakyat Biasa Terus yang Jadi Korban

Upaya pemberantasan mafia tanah oleh negara, semacam membaca dongeng kisah heroik pendekar absurd sebelum tidur. Omong kosong!

Bollo.id — Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan agenda pemberantasan mafia tanah yang sedang digagas Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid agar tidak mengulang cara-cara lama. 

Menurut KPA, selama ini pendekatan yang Kementerian ATR/BPN hanya menyasar kasus-kasus sengketa individu, alih-alih menyasar konflik-konflik agraria struktural yang terus menumpuk dari waktu ke waktu.

Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, banyak masyarakat yang didominasi petani, hingga saat ini masih berjuang menghadapi upaya perampasan tanah. Konflik melibatkan pihak PTPN XIV (sekarang PTPN 1 Regional 8) dengan petani Polongbangkeng bertahun lamanya.

Merujuk dalam hasil pertemuan warga bersama sejumlah pendamping dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pemkab Takalar, 11 September 2024, disebutkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan telah berakhir sejak 9 Juli 2024 tanpa perpanjangan hingga kini.

Meskipun telah berakhir sejak beberapa bulan lalu, PTPN I diketahui masih aktif melakukan aktivitas pengelolaan tebu di lahan-lahan milik Petani Polongbangkeng Takalar. Bahkan di beberapa tempat, aktivitas pengolahan dikawal Polisi-Brimob dan Tentara.

Dalam pertemuan itu, beberapa petani menjelaskan sejarah kampung dan sejarah perampasan lahan. Dg Tona dan Dg Genda, masih mengingat sangat jelas bagaimana neneknya bercerita tentang pembukaan lahan sebelum jadi kebun. 

Sebelum seperti sekarang, lahan tersebut masih hutan belantara kemudian dibuka oleh nenek Dg Tona sehingga menjadi lahan kebun. “Tanahku diambil paksa, ditodong senjata saat dipaksa menandatangani surat. Saya juga dikatai PKI,” tutur Dg Genda saat RDP dalam siaran pers LBH Makassar, yang dilansir Jumat, 1 November 2024.

Dalam RDP itu, Dg Toro yang pada tahun 1982-an merupakan Kepala Dusun Ko’mara dan juga ketika itu ditunjuk oleh kepala desa untuk mendampingi proses pembebasan lahan. Ia mengatakan kalau proses pembebasan lahan yang oleh pihak perusahaan tidak sah dan manipulatif.

“Mandat Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 yang mengatakan dalam proses pembebasan lahan harus ada proses musyawarah dengan pemilik hak atas tanah. Karena proses pembebasan lahan tidak dilakukan dengan musyawarah dan mendengarkan para pihak,” ujar Dg Toro.

Ia bahkan mengungkap bila salah satu dari sekian panitia pembebasan lahan saat itu menolak untuk tanda tangan. “Maka itu cacat hukum. Bahkan salah satu anggota panitia pembebasan tanah yakni Juma’ Saro menolak untuk menandatangani berita acara,” ungkap Dg Toro.

Banyak warga yang menjadi saksi bagaimana upaya intimidatif dari perusahaan yang hendak merampas tanah rakyat. Mulai dari kriminalisasi hingga teror. Selama kurang lebih 40 tahun penguasaan PTPN, banyak dampak yang dirasakan oleh petani Polongbangkeng.

Sebagian besar harus merantau untuk mencari nafkah karena tak ada lagi tanah yang bisa diolah sejak penguasaan pihak perusahaan. Bahkan ada warga yang sakit-sakitan di perantauan. 

RDP itu juga dihadiri Kepala Kantor Pertanahan ATR/BPN Kabupaten Takalar. Dalam penyampaiannya, ia menegaskan bahwa seluruh HGU PTPN di Kabupaten Takalar telah berakhir. 

“Ketika Hak Guna Usaha berakhir maka lahan diatas tanah tersebut menjadi Tanah Negara. Tanah Negara artinya tidak ada hak atas tanah yang melekat diatas tanah tersebut,” ujar Kakanta ATR/BPN Takalar.

Kasus perampasan tanah yang semakin kompleks bukti tingginya praktik mafia tanah

Menurut KPA, tingginya kasus perampasan tanah, penggusuran dan konflik agraria struktural adalah indikasi tingginya praktek mafia tanah. Sebab, faktor besar penyebab konflik agraria, sengketa dan perselisihan pertanahan di Indonesia adalah praktik-praktik mafia tanah yang terus tumbuh subur, baik yang dilakukan oleh individu yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan.

Salah satu contohnya penerbitan HGU dan HGB secara sepihak di atas tanah dan pemukiman masyarakat. Proses penerbitan konsesi yang tidak transparan dan tidak partisipatif ini menjadi pemicu lahirnya konflik agraria antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik HGU.

KPA mencatat sepanjang pemerintahan Jokowi, sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar dan berdampak ada 1,7 juta rumah tangga petani. “Angka ini naik dua kali lipat dibanding periode pemerintahan sebelumnya,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Jumat.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Data ini membuktikan bahwa pengentasan praktek mafia tanah selama ini belum berjalan secara efektif jika tidak mau dikatakan gagal. Sebab yang dikerjakan justru hanya memberantas kejahatan maladministrasi pertanahan dan kasus-kasus sengketa individu dengan dilabeli sebagai mafia tanah. 

Selama ini yang sering menjadi sasaran justru pejabat-pejabat level bawah di pemerintahan seperti kepala desa dan lainnya yang sesungguhnya bukan lah aktor utama. “Sebab kita tahu mafia tanah merupakan operasi kejahatan sindikat tingkat tinggi yang melibatkan pejabat-pejabat menengah ke atas sebagai bekingan,” ujar Dewi.

Karena itu, ke depan Menteri ATR/BPN harus berani mengarahkan lampu sorot pemberantasan mafia tanah kepada pemain-pemain besar yang selama berada di balik persekutuan dan persengkokolan jahat tersebut. Termasuk pejabat-pejabat tinggi di internal Kementerian ATR/BPN sendiri.

Isu lain yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai keterbukaan informasi agraria dan pertanahan. Persekutuan mafia tanah tumbuh subur akibat ketertutupan informasi yang mengakibatkan rendahnya pengawasan publik.

Selama ini banyak terjadi konflik agraria yang dialami masyarakat dan berhadapan langsung dengan pengusaha besar. Mirisnya, mereka tidak memiliki akses mengenai status tanahnya karena tertutupnya informasi. 

“Ketiadaan informasi tersebut sangat rentan dimanfaatkan oleh sejumlah oknum termasuk mafia tanah yang ujungnya akan merugikan pihak masyarakat dalam konflik tersebut,” ungkap Dewi.

Rencana pembangunan sistem keterbukaan data yang selama ini banyak didesakkan publik justru ditentang keras oleh Kementerian ATR/BPN sendiri. Bahkan putusan MA mengenai data HGU sebagai informasi publik, hasil gugatan KPA bersama masyarakat sipil 2019 lalu ditolak oleh Kementerian ATR/BPN. 

Agar agenda pemberantas mafia tanah tidak mengulang kesalahan yang sama, KPA mendorong agenda pemberantasan mafia tanah harus sejalan dengan upaya mendorong keterbukaan informasi, prinsip partisipatif dan transparansi dalam kebijakan pertanahan. 

Kemudian, upaya pemberantasan mafia tanah harus melibatkan seluruh kementerian atau lembaga terkait dan organisasi masyarakat sipil, terakhir upaya pemberantasan mafia tanah harus sejalan dengan agenda penyelesaian konflik dalam kerangka reforma agraria.


Editor: Sahrul Ramadan


Sahrul Ramadan

Sahrul Ramadan adalah editor Bollo.id. Mengurus rubrik fokus, berita terbaru, dan ceritaan.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content