Polrestabes Makassar/Rakyat.news

Polisi “Gantung” Kasus Penganiayaan Anak Disabilitas di Makassar dan “Minta Imbalan”

Kasus kekerasan terhadap seorang anak disabilitas mental di Kota Makassar yang melibatkan seorang terapis, jalan di tempat. Polisi hingga saat ini belum juga menetapkan tersangka.

Makassar – Bollo.id — Kasus kekerasan terhadap seorang anak disabilitas mental di sebuah yayasan di Kota Makassar jalan di tempat. Polisi hingga saat ini belum juga menetapkan tersangka.

Demikian menurut Pengacara Korban, Mahar Tri Ramadani.

“Pengalaman kami itu (kasus seperti ini) paling lama tiga bulan sudah naik ke penyidikan,” kata Mahar Tri Ramadani baru-baru ini. “Bahkan [sudah sampai] ke pengadilan.”

Kasus itu, kata Mahar, telah berjalan setidaknya delapan bulan, sejak keluarga korban melapor ke polisi pada April 2023 lalu.

Mahar bilang, penyidik Kepolisian Resort Kota Besar Makassar tidak menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan, kendati tiga alat bukti telah terpenuhi buat menjerat terduga pelaku penganiayaan terhadap kliennya.

Bahkan kata Mahar, penyidik telah memasukkan beberapa bukti ke dalam Berita Acara Pemeriksaan. Seperti foto dan video yang dikirimkan oleh pelapor ke polisi.

“Jelas dalam KUHP itu, alat bukti sudah cukup bagi tim penyidik untuk menaikkan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan,” kata Mahar.

“Jadi pertanyaan kami,” lanjutnya.

“Apakah tim penyidik memperlihatkan bukti petunjuk ini ke terlapor untuk mengklarifikasi atau tidak. Kalau tidak artinya ada rekayasa.”


Baca juga: ‘Jalan di Tempat’: Potret Perkembangan Kasus Pelecehan Seksual di Rutan Polda Sulsel


***

Kasus ini bermula pada April 2023 lalu. Saat itu seorang anak disabilitas mental jadi korban dugaan kekerasan yang dilakukan oknum terapis di sebuah yayasan, salah satu pusat layanan pendidikan bagi anak disabilitas di Kota Makassar.

Korban adalah anak berusia empat tahun, dengan disabilitas mental ADHD atau Attention deficit hyperactivity disorder, gangguan mental berupa perilaku impulsif dan hiperaktif.

Kekerasan ini akhirnya terkuak setelah ibu korban, mendapati memar-memar di bagian tubuh anaknya.

Ibu korban menduga, luka memar yang mendera anak laki-lakinya itu adalah bekas cubit dan gigitan. Ibu korban bilang, kekerasan yang diterima anaknya itu adalah ganjaran hukuman dari pihak yayasan, karena tidak fokus saat mengikuti pelajaran.

Dari keterangan ibu korban, penganiayaan tersebut diduga dilakukan oleh penanggung jawab sekolah itu.

Ibu korban pun akhirnya melapor ke polisi. Delapan bulan kemudian, laporan yang dia buat justru tidak berjalan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


***

Apa tanggapan polisi?

Kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar, Iptu Syahuddin Rahman, mengklaim keterlambatan itu karena polisi harus memeriksa banyak saksi.

“Penyidik (sudah) melakukan serangkaian proses penyelidikan, kita periksa pelapor, kemudian terlapor, kemudian korban, kemudian saksi-saksi yang mengetahui,” ujarnya.

Syahuddin mengklaim kasus ini telah melalui gelar perkara. Nantinya, kata Syahuddin, Unit PPA akan mengadakan gelar perkara khusus, yang bakal dihadiri pelapor, terlapor, pengawasan penyidikan (Wassidik), Pengamanan internal, bidang profesi dan pengamanan hingga kepala biro hukum.

“Setelah kita lakukan itu semua pemeriksaan. Kita [baru] bisa memfaktakan,” kata Syahuddin.

“Jadi yang bisa kita fakta-kan adalah yang sinkron dengan keterangan saksi-saksi dengan visum. Maka kasus ini kita bisa tingkatkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.”

Polisi, kata Syahuddin telah meminta bantuan psikolog dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak untuk mendampingi korban selama mengumpulkan keterangan.

“Pelapor menghadirkan (korban) baru di bulan Juni 2023, jadi laporan di bulan April baru bisa kami dapat memeriksa keterangan korban itu di tanggal 21 Juni 2023,” kata Syahuddin. “Itu yang saya bisa jelaskan mengenai keterlambatan penanganan kasus ini.”

***

Bagi pihak korban, kasus ini seakan “digantung” oleh kepolisian. Bahkan menurut Ibu korban, polisi “memanfaatkan” proses hukum ini untuk meminta imbalan dari orangtua.

“Penyidik minta saya bayarkan cukurnya,” Ibu korban cerita. “Juga pernah meminta bertemu berdua bahas soal saksi yang mau dijadikan tersangka.”

Suatu waktu, penyidik meminta Ibu korban membeli pizza. “Pizza itu dia janjinya untuk kasih lihat hasil psikiater,” kata Ibu korban.

“Awalnya saya minta disuruh belikan pizza, saya kira yang 1 pan. [Tapi] dia bilang yang limo (Pizza ukuran 1 meter). Tapi itupun setelah dibelikan, dia (penyidik) beralasan besok saja.”

Ibu korban tak terima dan akhirnya melaporkan penyidik Polrestabes Makassar tersebut, ke Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. 

(Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar membantah tuduhan bahwa penyidik meminta imbalan kepada orangtua korban. “Selama laporan ini kami terima, kami profesional, kami transparan, dan menyampaikan seluruh rangkaian penyelidikan atau SP2HP selalu kami sampaikan kepada pelapor,” klaim Kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar, Iptu Syahuddin Rahman).


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content