Ilustrasi, pengekangan/abbevilleinstitute.org

Reformasi Putar Balik: Praktik Orba yang Mengakar

Hal yang diperjuangkan reformasi seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, pengusutan kasus pelanggaran berat jauh dari jangkauan.

Bollo.id — Tepat 21 Mei 2024 lalu, sudah 26 tahun era reformasi di Indonesia, sebagai tonggak penting dalam sejarah akhir dari kekuasaan 32 tahun Soeharto. Tapi kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat selama itu semakin terancam.

Bagaimana tidak. Hal yang diperjuangkan reformasi seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM serta pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat kini jauh dari jangkauan. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyebut ini dengan istilah ‘Reformasi putar balik’. 

Pernyataan Usman beralasan, sebab yang terjadi hingga kini bukannya menjamin hak untuk mengkritik dan mengontrol kebijakan, negara justru; “Menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita reformasi,” kata Usman dalam keterangan tertulis yang diterima Bollo.id, Selasa, 21 Mei 2024.

Cara-cara represif yang sudah biasa terjadi di masa orde baru, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul masih terjadi sampai sekarang. Misalnya saja, pada 20 Mei 2024, sekelompok massa Patriot Garuda Nusantara (PNG) menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) di Denpasar, Bali.


Baca juga: Anggota TNI AL Tembak Warga di Makassar Hingga Tewas, LBH: Pelanggaran HAM


Dalam video yang diperoleh Amnesty, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai “Forum tandingan” World Water Forum (WWF) yang digelar di Nusa Dua. Dalam kejadian ini katanya, massa yang menuding panitia diskusi “Melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali,” lalu merobek dan merampas atribut acara dan melakukan kekerasan kepada peserta forum.

Menurut sumber Amnesty, massa PNG sebelumnya telah datang beberapa kali. Meminta pembatalan PWF 2024. Padahal PWF 2024 itu adalah forum masyarakat yang ditujukan sebagai ruang untuk mengawasi privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat.

Aparat negara juga sebelumnya meminta pembatalan agenda PWF kepada panitia dan pengelola beberapa tempat, namun dengan cara-cara intimidasi.

“Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan. Kesan menjamin tangan-tangan massa non negara yang membenturkan demi mengamankan acara internasional yang kuat,” kata Usman.

Ia pun mendesak pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Katanya “Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan”. Tak sampai di situ. Baru-baru ini juga terjadi upaya membungkam pers melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran. 

Upaya ini juga dipraktikan di Orde Baru sebagai upaya untuk membungkam kebebasan pers. Namun kali ini, upaya mengebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pada kasus ini, beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Misalnya, dalam Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Dan juga konten terkait LGBT, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik. “Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik,” jelas Usman.

Bukan cuma itu. Negara juga rupanya tak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden Joko Widodo pada bulan-bulan akhir masa jabatannya saat ini, telah gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang telah diakuinya pada tahun 2023 lalu.

Contohnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998 khususnya perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil sampai sekarang belum diusut tuntas.

Pada Tragedi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota selama 13-15 Mei 1998 yang menimbulkan dampak serius bagi korban dan masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. Sampai sekarang siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu, masih belum diusut tuntas.

Belum lagi, juga terjadi kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998. Menurut catatan Amnesty Internasional, pada Juni 1998, Tim Relawan untuk Kemanusiaan merilis laporan yang mengklaim bahwa terdapat 168 perempuan yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa – diperkosa dan atau mengalami pelecehan seksual selama kerusuhan pada Mei 1998.

“Pengungkapan kasus perkosaan massal ini masih samar. Apa yang terjadi? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Selain merugikan korban secara fisik, kasus ini juga merusak kehormatan secara emosional dan psikologis,” kata Usman.

“Pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan, terutama dalang-dalangnya harus diadili. Kegagalan negara dalam mengusut kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia bisa terjadi tanpa konsekuensi.”

Kata Usman, Hal ini tidak hanya merampas hak setiap individu untuk hidup aman,” tetapi juga menciptakan rasa takut dan trauma yang berkelanjutan, khususnya bagi warga Tionghoa. Begitu juga dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. 


Dukung kami

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Sampai sekarang langkah pemerintah atau Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus-kasus tersebut belum terdengar. Ditambah lagi dengan masih banyaknya pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang belum terpenuhi.  

Dari rentetan kasus-kasus ini, menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tak menunjukan komitmen penuh dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sehingga ini juga sekaligus memperkuat kesan jika negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain.   

“Ketidakpastian dalam kelanjutan proses hukum dan non hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat berpotensi memperpanjang penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh para korban dan keluarga mereka,” ucap Usman.

Usman bilang negara tak boleh mengesampingkan terlebih lagi menghentikan proses yudisial dan non yudisial terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama pelakunya masih melenggang bebas.

Kejaksaan Agung harus mengambil langkah konkret untuk segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Usaha penyelesaian non yudisial juga tetap harus terus dilakukan, dan hak-hak korban serta keluarga mereka harus segera dipulihkan.

“Ini merupakan langkah awal yang penting dalam menjunjung tinggi keadilan bagi korban dan keluarga mereka,” Usman Hamid menyudahi.


Editor: Sahrul Ramadan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

Skip to content