Bollo.id — Selasa, 26 November 2024, langit Universitas Hasanuddin (Unhas) menjadi kelam atas Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 13527/UN4.1/KEP/2024. Putusan itu berisi pemberhentian tidak dengan hormat Alief Gufran sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas.
SK Rektor ini terbit di atas suara-suara mahasiswa yang berusaha menegakkan keadilan untuk korban pelecehan seksual. Diketahui, Firman Saleh, dosen FIB Unhas terbukti berbuat pelecehan seksual terhadap mahasiswi pada 25 September 2024, tetapi hanya dihukum skorsing dua semester. Sementara Gufran, Drop Out (DO).
Berdasarkan SK Rektor yang diterima Bollo.id, Alief Gufran terbukti melanggar Ketentuan Tata Tertib Kehidupan Kampus dan Kode Etik Mahasiswa yang mengakibatkan pencemaran nama baik institusi. Namun, menurut Gufran SK ini terasa ganjil dan cacat secara prosedural.
Alih-alih menjunjung tinggi martabat dan demokrasi di wilayah akademis, Unhas justru menerbitkan SK ini tanpa adanya pemberitahuan kepada terlapor.
“Saya terima SK itu dari temanku waktu 26 November dan ternyata ini surat dari 22 November ji, tapi tidak ada dari pihak kampus atau komdis [Komisi Disiplin] yang hubungi saya. Sampai saya dapat suratnya dari orang lain,” kata Gufran saat dihubungi 27 November 2024.
Setelah mengetahui SK tersebut, Gufran lantas menghubungi ketua Komisi Disiplin FIB Unhas, Dalyan Tahir untuk meminta kejelasan atas keputusan yang tiba-tiba saja ditetapkan itu. Dalyan kemudian hanya mengarahkan Gufran untuk membuat surat keberatan kepada rektor dengan alasan yang rasional.
Sebelumnya, terlapor menerima surat pemanggilan pertama pada 30 Oktober 2024 dari MKEM tingkat fakultas melalui orang ketiga.
“Saya dapat kabar soal surat pemanggilan itu dari himpunan dan saya penuhi panggilan itu tanpa tahu alurnya seperti apa,” jelas mahasiswa angkatan 2019 tersebut.
“Dan selama 1 jam 30 menit lebih itu saya klarifikasi, saya memperjuangkan bahwa orang harus membedakan mana yang disebut tidak sopan dan mana yang disebut protes,” sambungnya.
Selang 19 hari, tepat 20 November 2024 MKEM kembali memanggil terlapor untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). BAP tersebut menurut terlapor sangat bersahabat dan tidak memberatkan dirinya.
“Saya juga sudah meminta maaf soal minum-minum itu, saya sudah berjanji tidak akan mengulangi dan menyesali perbuatan saya, tapi saya tidak tahu sekarang kenapa begini,” tutur Gufran di seberang telpon.
Mari kita menilik ‘pencemaran nama baik’ seperti apa yang dimaksud Unhas?
Dalam surat putusan ini, ada dua poin yang dipersoalkan. Pertama, adanya laporan Wakil Dekan (WD) 1 FIB Unhas pada 21 Oktober terkait perlakuan tidak sopan Gufran. Perlakuan tidak sopan yang dimaksud adalah ujaran protes jam malam yang diberlakukan.
Protesnya ia lontarkan saat hari pembukaan di salah satu acara yang menghadirkan Wakil Rektor (WR) 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas. Saat itu, Muhammad Ruslin, WR 1 Unhas mengatakan dalam sambutannya bahwa akan memajukan keterampilan dan soft skill mahasiswa.
Menurut Gufran, pernyataan tersebut bertentangan dengan pemberlakuan jam malam yang membatasi kegiatan berlatih mahasiswa pada malam hari di sekitar FIB. Dalam pemanggilan pertamanya, Gufran mengaku memprotes WR 1, tetapi untuk menyebutnya tidak sopan itu sangat tidak relevan.
Menurut Gufran, memprotes regulasi yang tidak sejalan dengan pengembangan keterampilan dan skill di kampus adalah hak mahasiswa. Kedua, laporan kepala satpam pada 22 Oktober perihal minum minuman keras. Menurut laporannya, satpam menemukan 17 botol miras, tetapi 15 diantaranya bukan milik terlapor.
“Botol yang na dapat itu banyak sekali, cuman itu na pungut di samping panggung sastra,” jelas Gufran kepada jurnalis Bollo.id. “Sesuai BAP, duaji punyaku,” sambungnya.
Unhas kemudian memasukkan poin kedua ke dalam pasal 7 ayat (14) Peraturan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 1595/UN4/05.10/2013 tanggal 30 Januari 2013 tentang Ketentuan Tata Tertib Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Universitas Hasanuddin.
Pasal 7 ayat (14) tersebut diterangkan bahwa hal itu termasuk ke dalam klasifikasi pelanggaran berat. Posisinya setara dengan ayat (17), yaitu melakukan tindak asusila, porno aksi, pelecehan seksual dan atau pemerkosaan. Keduanya merupakan tindakan dengan klasifikasi pelanggaran berat.
Serangan intimidasi dari berbagai arah
Selama rentang waktu pemanggilan pertama ke pemanggilan kedua, terlapor diteror melalui orang-orang terdekatnya. “Ada temanku ceritakan ka, katanya WD 1 bilang ke dia ‘Kupegang semua data-datanya ini anak (terlapor), bisa ka kapan-kapan keluarkan’,” kata Gufran.
Ketika dikonfirmasi 27 November 2024, WD 1 FIB Unhas, Mardi Adi Armin tidak mengakui hal tersebut. “Ketua komdis juga pernah bilang di kelasnya temanku, ‘ini orang (terlapor) 99 persen bakal di-Drop Out (DO).”
Perihal protes-memprotes pun, jauh sebelum adanya laporan WD 1 pada 21 Oktober 2024, terlapor sudah beberapa kali menyampaikan aspirasinya terkait jam malam kepada WD 1 FIB Unhas, tetapi Mardi tidak menanggapi hal tersebut.
Dalam tangkapan layar (screenshot) chat Gufran dan Mardi yang diterima Bollo.id, Mardi mengatakan bahwa ia telah berkomunikasi dengan pihak keamanan kampus terkait jam malam.
Tetapi pihak keamanan bersikeras untuk tetap mengacu pada aturan yang berlaku. “Mereka memakai hukum besi,” balas Mardi kepada Gufran dalam komunikasi via chat WhatsApp pada 26 September 2024.
Selain itu, sejak terlapor menggelar aksi penegakan keadilan bagi korban pelecehan seksual pada 19 November 2024, ibu terlapor di telepon berulang kali dari Ketua Departemen Sastra Indonesia, FIB Unhas, Munira Hasjim.
“Maceku ditelpon 3 kali sejak aksi KS sama ketua departemen, dibilangi ka saya jadi provokator dan dibilangi ka saya bermasalah di rumah, ‘apa masalahnya ini anak ta di rumah, sampai jadi provokator di sini’ dia bilangi ka begitu di maceku,” tuturnya dengan suara yang terdengar berat di seberang telepon.
Ketika dikonfirmasi, Ketua Departemen Sastra Indonesia, Munira Hasjim mengatakan, bahwa ia menghubungi ibu terlapor atas permintaan WD 1 dan Dekan FIB Unhas. Sebab terlapor terlibat dalam aksi demonstrasi menuntut keadilan pelaku pelecehan seksual.
“Saya hubungi ibunya karena video orasinya waktu ada aksi demo. Video itu saya dikirimi oleh security. Dari situ pak WD 1 dan pak dekan minta saya bicara dengan orang tuanya,” jelas Munira saat dihubungi, 28 November 2024.
Dalam video tersebut, terlihat Gufran sedang membacakan puisi Batas Panggung karya Wiji Tukul di depan Gedung Dekanat FIB Unhas. Diketahui, sejumlah mahasiswa berdemonstrasi pada 19 November 2024 di depan Gedung Dekanat FIB Unhas sebagai respons kasus kekerasan seksual oleh dosen FIB, Firman Saleh.
Lantas, apakah orasi itu bermasalah? “Dari segi isi puisi itu memang luapan kegelisahan. Itu wadah. Yang salah itu adalah konteks situasionalnya karena situasi demo. Jadi isi puisinya tidak masalah. Situasi yang bermasalah karena puisi itu disampaikan dalam situasi yang tidak baik-baik saja,” ujar Munira saat ditemui di ruangannya 28 November 2024.
“Pimpinan fakultas mengatakan, bahwa ‘tolong ini terlihat banyak Sastra Indonesia, yang berorasi juga dari Sastra Indonesia. Jadi tolong kita bina mahasiswanya biar tidak terlalu begini’,” sambungnya.
Jadi, apakah membaca puisi saat demo itu bermasalah? “Itu bagian dari aktivitas berbahasa. Tempatnya dalam membuat kritik. Kalau kita yang tidak bermasalah, tidak akan melihat itu satu hal yang tidak baik. Tapi, orang yang merasa situasinya tidak menguntungkan untuk dia, mungkin dia menganggap itu masalah,” Munira melanjutkan.
Selain itu, terlapor juga menyatakan bahwa ia mendapatkan intimidasi dari WD 1 Unhas sesaat sebelum dialog publik dimulai. “Waktu dialog publik juga saya ditanya sama WD 1 ‘amanji orang tua mu kah?’ dan diajak ka juga sama WD 1 berkelahi secara langsung di situ,” sambungnya.
Bollo.id telah menghubungi WD 1 FIB Unhas untuk mengonfirmasi terkait hal ini, tetapi hingga berita ini diterbitkan, Mardi tidak menanggapi.
22 Oktober 2024, Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (KMFIB) Unhas mengadakan Dialog Publik: Pendampingan dan Penanganan Kampus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus.
Dialog itu menghadirkan Ketua Satgas PPKS Unhas, Farida Patittingi, Dekan FIB Unhas, Akin Duli, Aktivis Perempuan, Aflina Mustafaina, dan Akademisi Gender UIN Alauddin Makassar, Siti Aisyah.
Dilansir dari Identitasunhas.com, kegiatan ini merupakan ruang aspirasi mahasiswa terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di FIB. Pada kesempatan tersebut, mahasiswa, alumni, serta orang tua mahasiswa turut hadir menuntut keadilan bagi korban dan menuntut hukuman setimpal kepada Firman Saleh.
Saat dimintai keterangan, Mardi menerangkan bahwa keputusan ini tidak ada kaitannya dengan sikap kritis yang gaungkan Gufran. “Tapi ini murni karena minuman keras,” katanya saat dihubungi jurnalis Bollo.id, 27 November 2024, malam.
Jangan tanya soal intimidasi satpam, sebab pertemuan Gufran dan satpam sudah tidak terhitung jumlahnya. “Sampai ada mi keluar omongannya satpam ‘oh tunggumi kau skripsimu’.”
Pada 25 September 2024, Firman Saleh dinyatakan terbukti berbuat pelecehan seksual kepada mahasiswa saat bimbingan skripsi.
Satgas PPKS telah memastikan bahwa proses penyelidikan secara objektif, transparan, dan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Sanksi yang kami berikan berat, saat proses pemeriksaan langsung dinonaktifkan dari jabatan akademik yang diberikan dan diberhentikan sementara untuk melaksanakan tugas tridharma mulai semester ini ditambah dua semester depan,” kata Farida.
Sanksi tersebut meliputi pemberhentian tetap sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi serta pembebasan sementara dari tugas pokok dan fungsinya sebagai dosen selama semester ini dan tambahan dua semester mendatang.
Yaitu semester akhir tahun akademik 2024-2025 dan semester awal tahun akademik 2025-2026. Ketua Satgas PPKS Unhas Prof Farida Patittingi menjelaskan, sanksi yang diberikan telah melalui serangkaian prosedur investigasi oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unhas.
Keputusan ini katanya, merupakan komitmen universitas dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Namun, pemberian sanksi skorsing dua semester dianggap terlalu ringan.
Dilansir dari Imsiunhas.com, sejumlah mahasiswa FIB kemudian membentang berbagai spanduk kritik putusan tersebut di depan Gedung Dekanat FIB Unhas, 19 November 2024.
“Kalau Anda protes, silahkan protes pada tim yang menangani (Satgas PPKS). Saya sama sekali bukan bagian dari tim itu. Dia (Oknum dosen pelaku pelecehan seksual) diberhentikan dari jabatan dan diskors selama tiga semester,” respons Akin Duli, Dekan FIB Unhas kepada massa.
Sementara Gufran tidak mengetahui dengan jelas persoalan apa yang dipermasalahkan oleh Unhas karena menurutnya SK ini sangat ganjil.
Konferensi Pers Unhas
Kamis, 28 November 2024 di Lounge Lantai 8, Unhas mengadakan konferensi pers terkait kasus pelecehan seksual dan sanksi DO Alief Gufran. Namun, dalam pertemuan tersebut, Ahmad Bahar, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat hanya membahas sanksi DO terlapor dan menolak membahas kasus pelecehan seksual.
Dalam konferensi pers tersebut, Bahar mengatakan bahwa keputusan ini berat dan terpaksa harus diterapkan untuk menjaga iklim akademik. Bahar juga mengatakan bahwa sebelumnya telah mengeluarkan teguran kepada terlapor. Namun, dalam pengakuan terlapor, dirinya tidak pernah mendapatkan surat teguran. “Bahkan surat DO ini saya dapat dari orang lain,” tutur terlapor kepada jurnalis Bollo.id.
Selain itu, Bahar mengaku tidak tahu menahu soal proses persidangan terlapor. Bahar mengembalikan pertanyaan itu kepada Komisi Disiplin (komdis). “Saya tidak tahu persis, itu komdis sebetulnya. Tapi, kemudian komdis tidak hadir di sini,” jawabnya. “Tapi itu berproses ada pelaporan yang masuk. Mungkin sudah jenuh orang bagian akademik itu, sehingga pelaporan tersebut harus dilakukan,” lanjutnya.
Sesaat sebelum konferensi pers dimulai, Bollo.id menerima press rilis Unhas yang masih mengakui bahwa terlapor memiliki 17 botol miras sedangkan dari hasil pemeriksaan MKEM tingkat fakultas, hanya dua botol yang terbukti. “Saya tidak ingin komentar itu, saya bukan dari bagian pemeriksaan itu,” jawab Bahar.
Dikutip dari Readtimes.id, WR 1, Muhammad Ruslin mengatakan bahwa pemberhentian Gufran tidak ada kaitannya dengan aksi solidaritas yang belakangan ini di FIB terkait kasus kekerasan seksual.
“Kami komitmen kalau masih bisa diselamatkan kami selamatkan. Kami tidak pernah mau keluarkan mahasiswa kalau tidak karena pelanggaran yang berat sekali karena kami menyadari ini akan merugikan bagi masa depan mahasiswa yang bersangkutan,” kata Ruslin.
Sementara itu, Munira Hasjim, Ketua Departemen Sastra Indonesia mengaku bahwa hingga saat ini dirinya belum bertemu secara langsung dengan terlapor.
“Kami di departemen sangat banyak kegiatan, sehingga tahu kalau masalah Alief sudah ditangani oleh komdis, maka kami di departemen sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” tuturnya.
Sama kagetnya, pihak Departemen pun mengaku baru menerima SK Rektor pada 26 November 2024. “Surat DO-nya baru saya dapat hari Selasa, hari Rabu kita libur. Saya baru berpikir, apa yang bisa kita lakukan. Apa yang bisa kita perbuat kalau sudah turun surat DO. Tidak ada yang bisa dibuat itu,” lanjutnya.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Berdasarkan Peraturan Rektor Unhas, tindakan Gufran yang dianggap pelanggaran berat karena meminum minuman keras di wilayah kampus adalah sama beratnya dengan tindakan asusila-pelecehan seksual di kampus.
“Tindakan terlapor kemarin memang itu pelanggaran, tapi kalau kita pandang kedua kasus ini, jangankan disentuh, menerawang untuk membayangkan tubuh perempuan saja itu sudah termasuk pelecehan mi toh,” kata salah satu mahasiswa Unhas.
Menurut mahasiswa tersebut, rasanya sudah tidak ingin membicarakan regulasi lagi karena menurutnya saat ini itu sudah tidak penting. Sebab dosen yang dianggap memiliki kredibilitas justru hanya diberi sanksi ringan ketika terbukti berbuat pelecehan seksual.
“Unhas itu tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ada kasus mahasiswa seperti ini, tidak ada transparansi sat set sat set langsung DO, tapi dosen yang terbukti melanggar pelecehan hanya diskorsing,” tuturnya saat dihubungi 27 November melalui telepon WhatsApp.
Ketua IMSI KMFIB-UH, Muhammad Nashri juga turut menerangkan bahwa ada ketimpangan dalam ketetapan SK pemberhentian secara tidak hormat kepada terlapor. Sebab, SK tersebut tidak ditembuskan langsung kepada terlapor setelah penetapannya. Setelah sanksi, terlapor dapat mengajukan keberatan dalam tenggang waktu tujuh hari.
“Tapi, bagaimana bisa Gufran mengajukan keberatan sedangkan dia tidak tahu kalau ada SK ini,” kata Nashri kepada jurnalis Bollo.id saat dihubungi 27 November 2024, malam. “Seakan Gufran tidak diberikan jalan untuk mengajukan keberatan,” sambungnya.
Berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 17/Un4.1/2023 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Terhadap Pelanggaran Kode Etik Mahasiswa Universitas Hasanuddin, tindakan Gufran dikenakan sanksi pasal 36 ayat (1), yaitu:
a. pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri sebagai mahasiswa; dan
b. pemberhentian tidak dengan hormat (pemecatan) sebagai mahasiswa.
Sedang dalam Peraturan Senat Akademik Universitas Hasanuddin Nomor: 469124/Un.4/It.03/2016 Tentang Kode Etik Dosen Universitas Hasanuddin pasal 30 ayat (3) mengatakan bahwa: Setiap dosen yang melakukan pelanggaran terhadap nilai dan prinsip dasar, loyalitas, netralitas, kesopanan, kesusilaan dan kekerasan, kesetaraan dan diskriminasi, narkoba dan korupsi, serta plagiarisme dapat dikenai sanksi berat, berupa:
a. penurunan pangkat.
b. pencabutan hak sebagai dosen.
c. pencabutan hak menjadi guru besar.
d. pencabutan gelar guru besar.
e. pemecatan sebagai PNS.
Namun, apa yang terjadi pada hari ini di kampus kebanggaan Indonesia Timur tersebut dianggap justru mencerminkan sebuah kegagalan demokrasi dan kecurangan moral.
Seluruh mahasiswa menuntut SK Rektor Gufran dan penegakan keadilan bagi korban yang dianggap “berat sebelah” dalam menangani kedua kasus yang sama beratnya ini.
Editor: Sahrul Ramadan