Bollo.id — Pekikan keadilan bagi bangsa Papua terdengar lantang di depan Asrama Kamasan Papua di Jalan Lanto Dg Pasewang, Kota Makassar. Aksi unjuk rasa ini, sekaligus memperingati momen Hari Kemerdekaan Bangsa Papua pada 1 Desember.
Ibarat ibadah anti-demokrasi, sikap dalam menyampaikan pendapat di muka umum sering direspon dengan tindakan kekerasan dan pembubaran aksi. Tiga orang ditangkap, termasuk satu Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Makassar saat memantau aksi.
“Kejadian ini bukan pertama kali, dalam pantauan sejak tahun 2018 mulai masif merepresi aksi Mahasiswa Papua,” kata Kepala Divisi Riset, Dokumentasi dan Kampanye LBH (YLBHI) Makassar, Salman Azis dalam siaran pers yang diterima redaksi Bollo.id, Rabu, 4 Desember 2024.
“Polisi selalu menggunakan alasan keamanan, yang seharusnya mereka menangani sumber masalahnya bukan malah menghalangi atau membatasi hak menyampaikan pendapat. Disitu fungsi yang sepatutnya dilakukan oleh aparat keamanan,” lanjut Salman.
Tersebar luas pernyataan sikap oleh Forum Solidaritas Mahasiswa dan Pelajar Peduli Rakyat Papua (FSMP-PRP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP). Aksi ini diselenggarakan atas dasar memperingati 63 tahun deklarasi kemerdekaan West Papua (1 Desember 1961).
Menurut Salman, secara garis besar, protes ini ditujukan kepada pemerintah yang mencabut hak warga asli Papua. Beberapa tuntutan yang secara tegas menolak program transmigrasi ke tanah papua. Regulasi ini secara perlahan menyingkirkan orang asli Papua di tanahnya sendiri.
Selain itu rentetan kasus yang dibarengi dengan tuntutan juga tertulis dalam selebaran FSMP-PRP dan FRI-WP. Khususnya tindakan berlebihan personel Polrestabes yang dinilai tidak sepadan pada situasi yang akan dihadapi.
“Aparat dengan senjata lengkap, melepaskan tembakan gas air mata merupakan perintah atasan yang tidak melihat konteks ancaman yang sejatinya hanya berhadapan dengan massa yang hanya sebatas menyampaikan pendapat,” tegas Salman.
Kronologi tindakan represif yang dialami mahasiswa saat sampaikan pendapat di muka umum
Dalam siaran pers LBH Makassar, disebutkan bila pada pukul 10.45 WITA, demonstran belum tiba di titik aksi, massa dipaksa mundur. Terdengar tembakan gas air mata dari arah aparat keamanan ke arah massa aksi.
Hal ini menyebabkan massa aksi berhamburan menyelamatkan diri. Bertubi pukulan pentungan ikut menyertai termasuk tembakan peluru karet, memukul mundur massa aksi. “Polisi menarik paksa salah satu massa aksi disusuli dengan tendangan, serta memukul menggunakan pentungan,” beber Wilman LBH Makassar dalam kesaksiannya.
Berdasarkan hasil pantauan tim LBH Makassar saat itu, terdapat 15 mobil polisi terparkir di sekitar Asrama Papua Kamasan. Sementara di depan asrama, terdapat 1 unit mobil Water Canon, 1 unit mobil pengurai massa.
Begitu juga dengan ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Polrestabes Makassar dan Brimob Polda Sulsel berpakaian lengkap, dengan helm, pentungan dan tameng. Terlihat juga puluhan anggota TNI siaga di sekitar Asrama.
Jika mengacu pada fakta di lapangan, massa aksi telah dihadang sejak awal ingin keluar dari halaman Asrama Kamasan. Situasi ini dianggap pembungkaman, serta memangkas hak massa aksi dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
“Demonstran dalam hal ini mahasiswa Papua hanya ingin menyampaikan pendapat di muka umum, ini merupakan hak asasi manusia yang dilindungi bahkan konstitusi, pasal 28E UUD 1945 menjamin itu. Mestinya aparat keamanan juga melindungi, bukan malah melakukan tindakan represif,” tegas Hutomo Mandala Putra.
“Tindakan aparat seperti yang terjadi terhadap massa aksi jelas menunjukan sikap aparat yang tidak sama sekali menunjukan perlindungan terhadap massa aksi yang melakukan aksi, padahal masa aksi tidak melakukan tindakan kriminal,” lanjutnya.
Melalui selebaran aksi, dengan mengusung tema Memperingati 63 tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua (1 Desember 1961 – 1 Desember 2024): Menolak Segala Bentuk Kebijakan Kolonialisme Indonesia, Bangun Persatuan Nasional yang Demokratis Serta Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua Barat.
SFSMP-PRP dan FRI-WP menuntut agar pemerintah menghentikan program pengiriman transmigrasi ke Papua. Baik itu transmigrasi legal yang dibiayai negara maupun transmigrasi ilegal yang diberangkatkan ke Papua.
Cabut dan tolak otonomi khusus dan hentikan pembentukan DOB-DOB baru, buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua, tarik militer organik dan non-organik dari West Papua, segera tangkap, pecat dan adili pelaku penembakan Tobias Silak di Yahukimo.
Mereka juga menuntut segera usut tuntas kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Ibu Tarina Murib, hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Kabupaten Merauke yang merampas tanah adat Rakyat Papua di wilayah setempat seluas dua juta hektar.
Selanjutnya, bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat, tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan Migas di Timika, hentikan pembangunan 4 Kodam tambahan, 4 Polda dan pengiriman 5 batalyon penyanggah tambahan serta pembangunan berbagai fasilitas militer yang justru menjadi dalam dari kekerasan kemanusiaan di Papua.
Berikutnya, mereka juga menuntut tangkap, adili dan penjarakan jendral pelanggaran HAM, hentikan rasisme dan politik rasial Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri, hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah di West Papua.
Cabut dan tolak Omnibus Law, RUU KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan kolonial yang tidak memihak rakyat, mereka mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan kolonial Israel dan terakhir, berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Editor: Sahrul Ramadan