Makassar, bollo.id — Reklamasi laut di Kota Makassar belum berhenti. Proyek ambisius pemerintah dan swasta itu kini menyasar Lae-Lae, sebuah pulau kecil berpenduduk 2000-an jiwa, berjarak tiga menit dari bibir Pantai Losari.
Warga di Pulau Lae-Lae, menolak rencana itu.
Pada 4 Maret 2023, warga meluncurkan aksi demonstrasi, dengan parade laut. Lima puluhan perahu berarak-arakan bertolak dari pesisir Pulau Lae-Lae, menuju Dermaga Kayu Bangkoa, di hadapan Center Point of Indonesia (CPI), hingga ambang Pantai Losari. Di atas perahu mereka membentangkan spanduk berkain putih dengan tulisan berwarna merah, yang tampak jelas: “TOLAK REKLAMASI PULAU LAE-LAE.”
Warga Lae-Lae bersama Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir (Kawal Pesisir) ingin menunjukkan kepada pengunjung Anjungan Pantai Losari dan CPI, sikap mereka: menolak reklamasi.
Baca juga: Sirkuit Mandalika Masih Menyisakan Masalah
Rencana reklamasi ini mencuat setelah Surat Edaran Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Selatan perihal reklamasi di sekitar Pulau Lae-Lae, beredar. Surat itu juga dicetak dalam ukuran besar, dan dipajang di sudut pulau.
Reklamasi di Pulau Lae-Lae, akan menimbun pantai seluas 12,11 hektare (Ha), di tepi barat pulau.
“Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sekali lagi berencana melakukan reklamasi yang berpotensi melanggar hak ruang penghidupan nelayan dan perempuan,” kata Perwakilan Kawal Pesisir Ady Anugerah dalam keterangannya.
PT. Yasmin Bumi Asri, kata Ady, “kembali mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menjadi kontraktor dalam perluasan daratan baru Pulau Lae-Lae dengan cara reklamasi laut.”
Menurut Ady, rencana reklamasi kali ini, dilakukan sebagai lahan pengganti kekurangan yang sebelumnya telah disepakati, antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan pengembang CPI.
“Seharusnya pembagian lahan diambil di areal reklamasi CPI, bukan dengan malah mereklamasi sebelah barat Pulau Lae Lae, yang sejak lama merupakan ruang penghidupan masyarakat. Makanya jika reklamasi dilakukan tentunya akan mengancam hidup masyarakat Pulau Lae-Lae karena wilayah tangkap nelayan dan perempuan serta berbagai peralatan melaut seperti jaring dan rumpon ikut tertimbun menjadi daratan baru,” terang Ady.
Kata Ady, kondisi ini serupa pada 2014 lalu, saat reklamasi dipaksakan dan menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berupa penggusuran terhadap 43 kepala keluarga nelayan dan perempuan atas nama pembangunan CPI.
“Praktek reklamasi yang selama ini dilaksanakan pemerintah dan pihak swasta, menggunakan areal publik (common) demi kepentingan bisnis (privatisasi). Rencana reklamasi di Pulau Lae-Lae adalah pengorbanan kepentingan masyarakat serta menunjukkan pemerintah seperti tunduk pada kuasa bisnis,” ujarnya.
Sementara, Daeng Leo, salah seorang nelayan Pulau Lae-Lae berkata, bahwa rencana reklamasi Pulau Lae-Lae menerima penolakan keras dari nelayan dan perempuan nelayan. Penolakan ini didasari kekhawatiran akan kehilangan ruang penghidupan.
“Ini akan merugikan masyarakat, makanya kita menolak Pulau Lae-Lae direklamasi,” tegasnya.
“Jika berkaca dari reklamasi sebelumnya,” kata Ady, “Agenda pembangunan ini akan secara terang memperlihatkan pelanggaran hak asasi manusia dan pengrusakan lingkungan secara sistematis yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan.”
Pada aksi parade penolakan rencana reklamasi, warga, organisasi non-pemerintah, hingga mahasiswa yang tergabung dalam Kawal Pesisir menyampaikan sejumlah poin tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pertama, membatalkan rencana reklamasi di Pulau Lae-Lae yang akan merugikan masyarakat. Kedua, melakukan pemulihan lingkungan, dan melakukan perlindungan hak lingkungan, hak masyarakat dibandingkan kepentingan bisnis dan pengusaha serta melaksanakan partisipasi bermakna.