Pada 26 September 2023, gedung di Jalan Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros itu, akhirnya hanya menyisakan rangka. Atap dan beberapa dindingnya sudah dirobohkan. Sebuah bangunan yang seharusnya menjadi penanda perjalanan kabupaten ini. Sebuah tempat yang menjadi tangga perjalanan pemerintahan awal wilayah ini.
Gedung itu, peninggalan masa kolonial Belanda. Dibangun pertama tahun 1905, yang kemudian difungsikan sebagai kantor pemerintahan atau controller. Bangunan itu memiliki arsitektur yang memukau, di mana bagian depannya diberi hiasan uilenzolder atau rumah-rumahan kecil yang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara.
Pada masa itu, kantor ini pastilah sebuah bangunan megah. Tempat di mana kegiatan pemerintahan berjalan. Namun, hingga mendekati peralihan kekuasaan menjelang tahun 1942 hingga 1950-an, bangunan itu berubah menjadi kantor Kepala Pemerintahan Negeri (KPN).
Sepanjang perjalanan–waktu kemudian, bangunan tersebut dijadikan Rumah Sakit Umum, yang juga sekaligus sebagai tempat layanan kesehatan pertama di Maros. Lalu berubah fungsi menjadi Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), selanjutnya kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda), dan terakhir menjadi Sekretariat Kwarcab Pramuka Maros.
Beberapa tahun ditempati sebagai aktivitas pramuka, akhirnya bangunan itu tak digunakan. Hanya ada beberapa komunitas anak muda yang memfungsikannya sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi, lalu kemudian ditinggalkan.
Tapi bangunan itu telah terdata sebagai sebuah warisan atau situs sejarah yang dilindungi Undang Undang. Tapi perlindungan itu, rupanya tak berfungsi dengan baik. Sebab sebuah Badan Pengelola Geopark yang didukung UNESCO mencanangkan membuat sekretariat di Maros.
Pilihannya, kemudian jatuh pada bangunan yang dianggap “terbengkalai” itu.
Akhirnya dengan anggaran Rp1,4 miliar melalui Dana Alokasi Umum tahun 2023, dan sebuah gambar yang lebih “modern” menggusurnya.
Gedung controller dimusnahkan. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Maros tak mendapatkan kesempatan berdiskusi. Bahkan tak mendapatkan pemberitahuan. Tak ada kajian, tak ada perlakuan. Beberapa orang pemerhati sejarah dan perjalanan Maros menggerutu. Mereka menilai, jika penghancuran bangunan yang seharusnya menjadi salah satu “kunci” perjalanan Maros, harusnya dipertahankan, bukan malah dilenyapkan.
Tapi ironis, Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perhubungan dan Pertanahan (DPUTRPP) yang menjadi eksekutor pelaksana proyek menilai itu hanya bangunan berbentuk petak dan kembali akan dibuatkan hal yang sama. “Kita tetap mempertahankan bangunannya, apalagi di dalam bangunan itu hanya ruangan petak, modelnya tetap kita pertahankan, bahkan corong yang menjadi karakter tetap kita buat, kita kerjakan hanya peninggian, atap yang rapuh kita robohkan, struktur bangunan tetap dipertahankan.”
PPNS Harus Bertindak?
Reaksi kemudian muncul dari TACB Maros, dan menyayangkan sikap DPUTRPP. Sebab pembongkaran itu dinilai serampangan padahal Dinas tersebut juga memiliki regulasi khusus dalam pemanfaatan situs.
Secara hukum bangunan itu telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya melalui Surat Keputusan Bupati Maros, Nomor 360/KPTS/433/IX/2002. Maka bangunan itu sudah teregistrasi. Jadi, untuk merenovasi dan bahkan menggunakannya, harus sesuai dengan aturan dan Undang Undang yang berlaku. Jadi pengrusakan dan pembongkaran adalah bagian dari pelanggaran aturan.
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya telah mengaturnya. Dalam pasal 105, dinyatakan; Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penegakan aturan ini kemudian menempatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai bagian dari lex specialis dalam menjalankan fungsinya. Perangkat ini, memiliki kewenangan melaporkan atau mendorong peradilan dengan pembuktian yang kuat, guna melindungi Cagar Budaya.
Tapi apakah itu bekerja maksimal? Rasanya, tak demikian. Sebelum pembongkaran gedung Controller itu, Behearder Huis Van Berawing atau penjara zaman Belanda juga dirubuhkan, pada Juli 2022, oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk dijadikan Lapas Anak.
Pemusnahan Cagar Budaya Lapa situ, juga tak diketahui TACB Maros. Belakangan kemudian menjadi ribut, dan akhirnya pihak Kemenkumham menyediakan satu ruangan khusus di depan Lapas terbaru itu sebagai etalase mini untuk menempatkan sisa-sisa bangunan lama.
Lalu pertanyaannya apakah itu layak? Bagaimana jika pihak Geopark Maros kelak juga hanya menyediakan etalase seperti itu?
Akhirnya, Maros, yang semula ditetapkan sebagai sebuah wilayah makmur, dan memiliki sejarah panjang, dari mulai lukisan tangan di gua purbakala berusia hingga 45 ribu tahun yang lalu, hingga kunjungan naturalis Alfred Russel Wallace, hanya menyisakan kisah.
Catatan Wallace pada Juli 1856 dalam Kepulauan Nusantara, saat ketika kapal kecil yang ditumpanginya dari Makassar memasuki sungai Maros, dia menemui asisten residence di kantornya. Wallace meminta disediakan pemandu jalan dan tenaga lokal untuk menuju perbukitan karst. Perjalanan inilah kemudian yang menjadikan kawasan Bantimurung di Maros mencitrakan dirinya sebagai Kingdom of Butterfly. Di mana Pemerintah Maros mendirikan tugu kupu-kupu di persimpangan jalan, yang tak jauh dari bangunan controller yang sudah dirubuhkan itu.
Maka beginilah, Maros nasibmu kini. Tak ada lagi yang tersisa. Tak ada lagi yang bisa disentuh dan menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya.
Jika kamu ingin menanggapi tulisan ini silahkan mengirim pesan melalui: redaksi.bollo@gmail.com