Pimpinan bissu soppeng (baju kuning), pimpinan bissu bone (baju merah) dan pimpinan bissu wajo (baju biru)/Dok. Project Budaya Bone II/Bollo.id
Pimpinan bissu soppeng (baju kuning), pimpinan bissu bone (baju merah) dan pimpinan bissu wajo (baju biru)/Dok. Project Budaya Bone II/Bollo.id

Dua Tahun Pencekalan Bissu Bone dan Problem Pemajuan Kebudayaan di Sulawesi Selatan

Komunitas lokal semacam Bissu ini bukanlah ancaman bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik suatu daerah, sehingga pemerintah dapat mengabaikan dan bahkan gagal memberikan perlindungan atas ekspresi kebudayaan.

Bissu Bone sering diundang keluar daerah, tampil dalam acara event, festival, dialog publik, seminar, dan kegiatan budaya lainnya. Kehadirannya dinantikan, pertunjukannya disaksikan, tariannya sarat akan makna filosofis dan spiritual.”

“Ada nama baik daerah dalam setiap langkah dan gerak tarinya, tetapi disingkirkan dan dicekal di tanahnya sendiri.”

Begitulah untaian kalimat yang keluar dari seorang pemuda asal Bone, Sulawesi Selatan ketika kami berjumpa dan berdiskusi di warung kopi. Dia mengatakan itu dengan tegas dengan wajah serius.

Tentu kalimat tersebut tidak hadir dengan sendirinya. Ada hal yang melatarbelakangi sehingga kalimat itu diucapkan dengan nada keras dan serius.

Ia merupakan pemuda yang punya kepedulian terhadap kebudayaan masyarakat bugis. Pengalaman perjumpaannya selama beberapa tahun terakhir dengan komunitas Bissu khususnya yang ada di Bone, menjadi hal mendasar pembelaannya terhadap situasi yang dialami komunitas Bissu Bone.

Beberapa kegiatan kebudayaan yang diinisiasi olehnya menunjukan keberpihakan terhadap agenda pemajuan kebudayaan di Sulawesi Selatan, walaupun dalam beberapa hal ia mendapat tantangan dan seribu hambatan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Di Sulawesi Selatan, keberadaan komunitas Bissu hingga saat ini masih tersebar di empat daerah, yaitu Kabupaten Bone, Kabupaten Pengkep, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo. Dalam bahasa bugis, Bissu diartikan sebagai orang suci yang berasal dari kata “bessi” atau suci dan bersih.

Di zaman kerajaan, Bissu memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan Masyarakat Bugis. Segala upacara ritual kerajaan nyaris tidak ada pengecualian atas kehadiran Bissu sebagai pemimpin prosesi upacara. Itulah mengapa Bissu dianggap sebagai pendeta bugis kuno, mewarisi kepercayaan dan tradisi bugis kuno.

Tak hanya itu, ada beberapa peranan lain yang diemban oleh Bissu: Sebagai penasehat spiritual kerajaan, merawat, dan menjaga arajang (benda pusaka kerajaan). Bissu juga mahir dalam urusan pengobatan tradisional, meracik bahan dari ramuan alami disertai dengan ucapan doa kepada dewata suawae atau sang pencipta.

Di empat daerah yang berbeda, para Bissu sebagai pengabdi masyarakat, mereka memiliki pengetahuan  tentang tradisi dan kearifan hidup. Tak heran jika Bissu hingga hari ini tetap eksis dengan segala problematika yang mereka alami. Gempuran modernitas tak membuat peranan Bissu di tengah masyarakat sebagai pewaris tradisi bugis klasik menjadi memudar.

Mereka selalu diundang dalam setiap hajatan masyarakat. Kemampuan Bissu melakukan siasat kultural, bernegosiasi dengan beragam budaya yang hadir, bukan berarti untuk saling mengungguli atau diungguli, tetapi membangun relasi yang saling mengisi.

Dalam dua tahun belakangan ini, ekpresi tradisi, kebudayaan, dan keterampilan menari dari komunitas  Bissu yang ada di Bone kembali mengalami penyempitan ruang. Walaupun di era orde baru penyempitan ruang pun dialami oleh komunitas Bissu Bone, tetapi konteks sosial politik pada waktu itu jauh berbeda dengan hari ini. Dulu kita mengenal gerombolan DI/TII dengan semangat pemurnian islamnya dan operasi  toba (operasi taubat) yang dilancarkan oleh pemerintah orde baru.

Dua peristiwa politik di atas dengan eskalasi yang cukup besar dan meluas di daratan Sulawesi Selatan menghancurkan semua sendi-sendi komunitas lokal, termasuk komunitas Bissu yang ada di Bone. Namun sejak tahun 1990-an, higga pascareformasi, Bissu yang tersisa mulai kembali tampil di masyarakat dengan peranan yang sama, bahkan hingga saat ini.

Sangat disayangkan jika dua tahun belakangan ini dalam iklim demokrasi yang lebih terbuka, Bissu kembali mengalami penyepitan ruang ekspresi tanpa ada peristiwa politik seperti yang terjadi di era orde baru. Ataukah negara ini memang masih mewarisi semangat dan watak orde baru namun dibungkus dengan pola dan cara yang lebih halus.


Baca essay sebelumnya: Sisi Kelam Hutan Pinus: Folk bagi Orang Kota, Bencana bagi Orang Desa


Dibanggakan di Luar, Dicekal di Tanah Sendiri

Peristiwa I

Dalam catatan sekaligus pengamatan saya, dari tahun 2022 hingga tahun 2023 ada empat peristiwa yang dialami oleh komunitas Bissu Bone, tiga peristiwa pencekalan serta satu peristiwa intimidasi. Namun jika dilihat dengan cermat, peristiwa intimidasi yang dialami Bissu Bone adalah bagian dari upaya pencekalan. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk  penyingkiran atas peranan komunitas Bissu Bone selama ini.

Dua peristiwa pencekalan terjadi di satu momentum yang sama dengan waktu yang berbeda, yaitu di momentum hari jadi Bone yang ke-692 tahun 2022 dan 693 di tahun 2023. Kejadian ini  tak disangka-sangka oleh komunitas Bissu Bone, padahal di hari jadi Bone sebelum-sebelumnya Bissu selalu hadir dan difungsikan dalam rangkaian hari jadi Bone, terkhusus rangkaian mattompang arajang (pembersihan benda pusaka kerajaan).

Ritual mattompang arajang beserta rangkaiannya merupakan bagian penting dan sakral dalam peringatan hari jadi Bone. Bagi Bissu, tidak sembarang orang bisa melakukan ritual tersebut beserta seluruh rangkaiannya, karena memang sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang, hanya Bissu yang diamanahkan dan mampu untuk menjalankan ritual tersebut.

Ada beberapa rangkaian yang diperankan oleh Bissu dalam hari jadi Bone, yaitu: Malekke wae dan Malekke Toja, yaitu pengambilan mata air suci untuk membersihkan benda pusaka kerajaan); Mappaota, yaitu memohon izin kepada leluhur terdahulu dan pemberitahuan bahwa benda pusaka akan diambil dan dibersihkan; Memmang To Rilangi, melakukan zikir dan pembacaan doa dengan bahasa To Rilangi atau bahasa langit untuk membersihkan benda pusaka kerajaan; Mattompang Arajang, membersihkan pusaka kerajaan untuk disucikan atau ditompang, diiringi gendrang Bali Sumange serta tarian Sere Bissu yang dilakukan oleh para Bissu dengan mengelilingi para pattompang dan arajang yang dibersihkan; dan Mapatinro Arajang, menidurkan nilai spiritual benda pusaka dengan membaca doa.

Dua tahun terakhir, seratus persen Bissu tidak dilibatkan dalam rangkaian hari jadi Bone. Alasan Pemerintah Kabupaten Bone menghilangkan peranan Bissu dalam sebagian rangkaian mattompang arajang, adalah agar kegiatannya variatif, melibatkan seluruh unsur, dan bukan hanya Bissu yang berperan.

Tawaran tersebut pun ditolak oleh Bissu Bone. Bagi Bissu seluruh rangkaian mattompang arajang adalah hal yang tak terpisahkan. Satu rangkaian punya keterkaitan dengan rangkaian berikutnya, dan jangan sampai seluruh rangkaian dilewatkan oleh Bissu. Mattompang arajang bukan persoalan variatif dan melibatkan unsur lain, rangkaian ini bukan pula hiburan semata, prosesi ini harus dimaknai secara sakral dengan muatan spiritual bugis agar tidak kehilangan tujuan dan arahnya.

Alhasil, prosesi mattompang arajang selama dua tahun terakhir diambil alih oleh “masyarakat biasa” lewat persetujuan Pemerintah Kabupaten Bone.

Tradisi ataupun adat yang secara turun temurun telah dilakukan di tanah beradat itu mengalami  pengikisan.

Padahal dari jauh hari, Bissu Bone sudah mempersiapkan diri untuk tampil di hari jadi Bone, bahkan beberapa kali mereka sempat ikut rapat persiapan dengan pemerintah daerah, tapi apalah daya, mereka pun dicekal dengan alasan yang berbelit-belit. Rasa kekecewaan menghampiri Bissu Bone, tetapi mereka tidak mau menyalahkan siapapun atas pencekalan yang  mereka alami. Bagi mereka, kejadian ini hanyalah cobaan dari dewata seuwae (sang pencipta), dan sama sekali tidak menyurutkan semangat Bissu untuk tetap melakukan ritual mattompang arajang.

Walaupun Bissu Bone tidak difungsikan dan dilibatkan dalam rangkaian mattompang arajang di hari jadi Bone, mereka tetap melakukan ritual tersebut di kediaman Bissu Ancu selaku puang matoa (pimpinan tertinggi Bissu Bone) selama tujuh hari berturut-turut. Bissu merasa terbebani ketika tidak melaksanakan tanggung jawab mereka untuk  melakukan matompang arajang (mencuci benda pusaka kerajaan) beserta seluruh rangkaiannya. Walaupun ada jarak dengan benda pusaka kerajaan, tetapi dilaksanakan dengan kekhusukan, meghadirkannya dalam jiwa yang disebut puang matoa sebagai jiwa sumange.

Selama tujuh hari ritual pun dilakukan oleh komunitas Bissu, dan masyarakat yang mendukung ikut menyaksikan di kediaman Puang Matoa Bissu Ancu. Bagi Bissu tentu ada hal yang kurang beserta konsekuensi dan akibat kedepannya jika mereka tidak menjalankan seluruh rangkaian ritual Mattompang Arajang di hari jadi Bone. Itulah sebabnya Bissu  tetap melakukan ritual yang sama tetapi di tempat yang berbeda. Mereka tetap fokus pada Dewata Seuwae (sang pencipta) dalam melakukan acara ritual.

Kejadian di atas memperlihatkan kepada kita semua, jangankan berbicara tentang pemajuan kebudayaan yang cakupannya sangat luas, berbicara tentang satu komunitas seperti Bissu saja pemerintah daerah gagal memberikan kepastian terhadap ekspresi tradisi dan kebudayaan Bissu. Kejadian ini sudah yang ke dua kalinya dialami Bissu Bone, jika dibiarkan terus menerus, maka kita melanggengkan pengikisan jejak sejarah, pewaris peradaban bugis klasik, serta tradisi dan budayanya.

Ada satu hal yang sekiranya perlu juga mendapat kritikan tajam dalam konteks demokrasi dan Hak Asasi Manusia, bahwa siapapun pemimpin atau kepala daerah, ketika ia memegang jabatan publik, maka janganlah mengedepankan suatu pemahaman atau golongan tertentu yang cenderung anti terhadap ekspresi kebudayaan dan tradisi masyarakat, karena ini jelas sangat bertentangan dengan semangat konstitusi, tidak mengakui adanya keberagaman di Sulawesi Selatan serta mengancam kerukunan yang sudah terjalin secara kultural sejak lama.


Baca tulisan yang relevan: Bagaimana Media di Makassar menjadi Mimbar Kebencian terhadap Keragaman Gender dan Seksual?


Peristiwa II

Di tengah arus peristiwa pencekalan Bissu Bone, sebenarnya masih banyak masyarakat yang punya semangat serta kepedulian merawat kebudayaan bugis, khususnya tentang Bissu yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam tradisi bugis klasik. Hal itu bisa dilihat dengan kehadiran sekelompok orang yang tergabung dalam Sanggar Seni Budaya (SSB) La Saliyu Batara Bone.

Sanggar seni yang berdiri sejak tahun 2021 ini selalu menampilkan karya film, teater, drama kolosal, dan karya seni budaya lainnya yang tidak lepas dari konteks kebudayaan. Baru tiga tahun berdiri, SSB LA La Saliyu Batara Bone sudah pernah diundang dan tampil dalam event-event kebudayaan, baik yang dilakukan di Bone maupun di luar daerah Bone. Yang terakhir mereka baru saja tampil dalam acara seni dan budaya di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Agustus 2023, SSB La Saliyu Batara Bone merancang satu kegiatan teater monolog pentas seni dan budaya, yang mengangkat tema “Rindu Bissu”. Kegiatan ini akan dilaksanakan di lapangan meredeka Kota Watampone pada tanggal 19 Agustus 2023, dan masih dalam momentum perayaan hari kemerdekaan Repubik Indonesia. Persiapan pun dilakukan sejak Juni, mulai dari latihan, pendanaan, perlengkapan, tamu undangan serta syarat administrasi. Mengapa tema “Rindu Bissu” menjadi tema utama dalam kegiatan teater monolog seni dan budaya kali ini?

Bagi SSB La Saliyu Batara Bone, menceritakan peradaban kerajaan  Bone di masa lalu hingga raja yang terakhir tidak bisa lepas dari peranan para Bissu yang selalu hadir dalam setiap fase Kerajaan Bone. Mengangkat sejarah peradaban kerajaan dengan menceritakan peranan Bissu dari masa ke masa melalui drama kolosal menjadi suatu karya seni budaya yang masih jarang ditampilkan.

Itulah mengapa Bissu Bone ditampilkan dalam kegiatan tersebut, sebab jejak Kerajaan Bone yang masih tersisa hari ini salah satunya adalah Bissu.

Dalam kegiatan ini, Bissu  hanya menampilkan tari Sere Bissu yang sarat akan makna dan Memmang To Rilangi (zikir dan berdoa) dengan mengenakan pakaian tradisional bugis. Tari Sere Bissu juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2011, dan saat itu pemerintah Kabupaten Bone yang mendaftarkan tari Sere Bissu sebagai warisan budaya tak benda.

Bahkah ritual yang dilakukan oleh Bissu pun mendapatkan penghargaan dari UNESCO di tahun 2020 yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Bone. Selain Bissu Bone, ada beberapa karya  seni dan budaya lainnya yang ditampilkan dalam kegiatan tersebut.

Komunitas Bissu Bone saat tampil dalam acara festival budaya di Solo/Dok. Bissu Bone
Komunitas Bissu Bone saat tampil dalam acara festival budaya di Solo/Dok. Bissu Bone.

Menjelang hari kegiatan dilaksanakan, persiapan pun mulai matang, panggung mulai didekorasi, syarat administrasi telah diperoleh dari beberapa dinas terkait dan aparat keamanan. Bahkan satu hari sebelum kegiatan dilaksanakan, gladi sempat dilakukan di lapangan merdeka pada malam harinya, dan Bissu pun mengikuti gladi tersebut.

Saat gladi sedang berlangsung beberapa  masyarakat ikut menyaksikan. Di malam itu mereka serasa tampil pada kegiatan yang sesungguhnya di hadapan masyarakat Kabupaten Bone. Padahal malam itu baru sekedar gladi, namun sudah banyak masyarakat yang ikut menyaksikan.

Ke esokan harinya, tepat ditanggal 19 Agustus 2023, segenap pengisi acara sudah siap menampilkan karya seni budaya masing-masing. Namun nahas, di siang hari  peristiwa yang tak disangka-sangka dan tidak pernah diduga sama sekali oleh penyelenggara kegiatan terjadi.

Sekelompok orang dari unsur pemerintah daerah Kabupaten Bone dalam hal ini Kesbangpol Bone, Kasat Intel Polres Bone serta puluhan Satpol PP mendatangi lapangan merdeka  dengan maksud menyampaikan agar kegiatan tersebut dihentikan. Dua alasan bagi rombongan yang datang secara tiba-tiba dan ingin menghentikan kegiatan tersebut. Alasan pertama datang dari Kasat Intel Polres Bone, bahwa kegiatan tersebut belum mengantongi izin keramaian dari Polres Bone.

Alasan kedua datang dari Kesbangpol Bone, bahwa kegiatan tersebut mengandung unsur “LGBT” karena ada Bissu yang ditampilkan. Perdebatan panjang antara panitia penyelenggara dan rombongan yang datang membubarkan acara pun terjadi.

(Catatan editor: kami memberi tanda kutip pada akronim LGBT untuk menegaskan bahwa penggunaan akronim tersebut hanya bagian dari tulisan si penulis. Sikap Bollo.id sudah tegas: menghormati seluruh keragaman gender dan seksual.

Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, kami akan menyematkan tanda kutip pada akronim LGBT.)

Padahal panitia penyelenggara kegiatan, dalam hal ini SSB La Saliyu Batara Bone sudah mengantongi izin dari beberapa pihak terkait diantaranya, izin tertulis dari Polsek Tanete Riattang, izin tertulis dari Kecamatan Tanete Riattang, izin tertulis dari Kesbangpol Kabupaten Bone, bahkan sempat meminta izin kepada Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone. Namun  menurut penitia penyelenggara, Dinas Kebudayaan mengatakan selama ini tidak pernah mengeluarkan izin terkait kegiatan kesenian dan kebudayaan, yang dikeluarkan Dinas Kebudayaan hanyalah surat rekomendasi.

Secara lisan Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone mengizinkan kegiatan tersebut. Pada saat itu Dinas Kebudayaan menyampaikan, jika panitia meminta rekomendasi maka akan dibuatkan rekomendasi, bahkan Dinas Kebudayaan sempat bertanya kepada panitia penyelenggara, model rekomendasinya mau seperti apa, dan meminta format rekomendasi yang diinginkan panitia.

Tak hanya itu, panitia penyelenggara pun melakukan audiens dengan mantan Bupati Bone Andi Fahsar M. Padjalangi yang baru saja mengakhiri masa jabatannya di bulan September 2023. Mantan bupati menyetujui dan mendukung kegiatan tersebut, bahkan beliau merekomendasikan asisten III untuk hadir mewakili bupati. 

Tudingan adanya unsur LGBT dalam kegiatan seni dan budaya tersebut adalah tuduhan yang tak berdasar dan membabibuta. Penyematan istilah LGBT terhadap Bissu mencederai nafas tradisi dan budaya lokal masyarakat bugis. Karena fakta sejarah menunjukan, Bissu pun tercatat dalam naskah La Galigo disertai perannya di masa lampau hingga hari ini.

Sebelum republik ini berdiri pun, Bissu telah eksis terlebih dahulu, mengambil peran di tengah kehidupan masyarakat bugis, dan mendapatkan posisi strategis di era kerajaan. Begitu kelirunya ketika melabeli Bissu sebagai suatu komunitas lokal dengan narasi besar yang datang dari luar.

Dengan tegas dan jelas, jika kita bertanya pada Bissu, mereka akan menjawab, orientasinya ialah orientasi spiritual. Karena untuk menjadi Bissu bukanlah pilihan, melainkan panggilan jiwa yang sifatnya sangat transenden, serta didukung dengan kemampuan jasmani dan rohani.

Dari peristiwa tersebut, terlihat adanya kejanggalan. Kesbangpol Kabupaten Bone yang sejak awal membaca proposal kegiatan dan memberikan izin tertulis malah berbalik arah dan membubarkan teater monolog “Rindu Bissu” pada hari kegiatan. Tanda tanya besar terhadap perbedaan sikap antara Kesbangpol Bone yang menolak dan mantan Bupati Bone yang mendukung kegiatan tersebut.

Kemudian intervensi aparat keamanan, dalam hal ini Kasat Intel Polres Bone terhadap aktivitas seni budaya bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya juga kegiatan yang melibatkan Bissu didatangi oleh Kasat Intel  Polres Bone, lagi-lagi dengan alasan yang sangat birokratis.

Pembubaran pun hanya disampaikan secara lisan, tidak ada surat  pemberhentian kegiatan secara tertulis dari pemerintah daerah ataupun Polres Bone. Ini menjadi prseden buruk terhadap agenda pemajuan kebudayaan di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Bone.

Pada saat itu sempat ada tawaran dari rombongan Kesbangpol, Kasat Intel dan Satpol PP, kegiatan bisa dilanjutkan dengan syarat Bissu tidak ditampilkan pada teater monolog “Rindu Bissu”. Namun tawaran tersebut ditolak oleh penyelenggara, dengan alasan Bissu harus tetap ada karena temanya tentang Bissu, dan tidak mudah untuk mengembalikan semangat para panitia dan pengisi acara yang sudah jauh hari mempersiapkannya.

Alhasil tidak ada satu rangkaian kegiatan yang dijalankan, kerugian yang dialami oleh panitia penyelenggara berkisar 18 juta rupiah dan sampai hari ini tidak ada pertangngungjawaban oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bone atas kerugian materil yang dialami.  

Apa sebenarnya yang ditakutkan oleh Kesbangpol, Kasat Intel dan Satpol Pp ketika Bissu Bone tampil dalam kegiatan tersebut, hanya mereka yang tahu. Tetapi yang membuat saya menggelitik, di ujung perdebatan antara panitia penyelenggara dengan rombongan yang datang membubarkan melontarkan kalimat “Ini perintah dari atas”.

Tentu ini akan menimbulkan tafsir liar, tetapi kita bisa menilai bahwa masih ada segelintir orang yang tidak ingin Bissu tampil dalam kegiatan kesenian dan kebudayaan, yang memiliki kekuatan secara politik. Kelak sketsa dan lipsing yang sudah dipersiapkan oleh  SSB La Saliyu Batar Bone tentang peradaban  Kerajaan Bone dan peranan Bissu akan ditampilkan, tapi entah kapan dan di mana, dan karya tersebut masih tersimpan rapi hingga hari ini.


Baca essay yang lain: Melihat Rencana Reklamasi Lae-lae dalam Ide Para Pemikir Hukum


Peristiwa III

Gerakan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan takan pernah berhenti untuk menggalakkan aktivitas kebudayaan. Kreativitas serta inisiasi-inisiasi yang lahir dari bawah dalam memajukan kebudayaan takan surut. Jika di atas ada sekelompok orang yang tergabung dalam SSB La Saliyu Batara Bone, maka kali ini hadir sekelompok anak muda di Kabupaten Bone yang mengorganisir diri dan punya kepedulian terhadap pemajuan kebudayaan, khususnya tentang komunitas Bissu.

Project Budaya Bone,  inilah wadah yang menjadi arena untuk mengekspresikan karya-karya seni dan budaya, ruang anak muda menampilkan karya ilmiah dengan tema-tema kebudayan serta ruang konsolidasi pegiat kebudayaan yang ada di Kabupaten Bone.

Project Budaya Bone dalam beberapa tahun terakhir melaksanakan kegitan seni dan budaya  dengan mengangkat Bissu sebagai subjek dalam setiap aktivitas ataupun kegiatan yang dilakukan.

Di tahun 2023 mereka menginisiasi dua kegiatan, yang terakhir dan baru saja dilaksanakan di September 2023 ialah Project Budaya Bone III, dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menguatkan Moderasi, Mengukuhkan Kebhinekaan untuk Indonesia Maju”. Kegiatan ini merupakan ruang perjumpaan, dialog, dan  diskusi antar Bissu Bone, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, tokoh agama lintas iman, dan peneliti. Yang tak luput, ialah Kementrian Agama Republik Indoesia, karena kegiatan ini berkolaborasi dengan Kementrian Agama yang melibatkan Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik (BPKI-PK), DIRJEN BIMAS Islam, dan Direktorat URAIS.

Tentu ini merupakan hal baik, melibatkan berbagai unsur untuk mendialogkan keragaman yang ada, termasuk keragaman budaya.

Sebelumnya, masih di Februari 2023, kegiatan yang diberi nama Project Budaya Bone II diaksanakan di Planet Cinema Bone. Dengan menghadirkan empat komunitas Bissu dari empat daerah di Sulawesi Selatan, namun satu komunitas Bissu sedang berhalangan dan tidak bisa menghadiri kegiatan, yaitu Bissu Pangkep. Jarang sekali kita melihat ke empat  komunitas Bissu  ini berjumpa dalam satu kegiatan yang sama, bertukar pikiran, berdialog, serta menatap masa depan komunitas mereka, ini menjadi momentum mereka berkonsolidasi.

Project Budaya Bone II dengan tema “Dialog Keberagaman Untuk Penguatan Komunitas Bissu di Sulawesi Selaatan” melibatkan beragam unsur, tokoh agama, pemerintah daerah, dewan adat, pegiat kebudayaan, akademisi serta masyarakat. Bahkan kegiatan ini dibuka langsung oleh mantan Wakil Bupati Bone Drs. H. Ambo Dalle, M.M yang baru saja  mengakhiri masa jabatannya di bulan September 2023.

Selain itu, kegiatan ini menampilkan karya penelitian yang dilakukan oleh beberapa anak muda di empat komunitas Bissu Sulawesi Selatan. Karya tersebut ditampilkan dalam beragam bentuk, infografis, zine hingga film dokumentasi pendek.

Semua karya berbicara tentang Bissu dan aktvitas kesehariannya. Di hari pertama, tiga komunitas Bissu, dari Soppeng, Wajo dan Bone tampil berbicara di atas panggung, menceritakan perjalanan hidup mereka menjadi seorang Bissu, pengalaman spiritual yang dalam serta peranan sosial mereka di tengah masyarakat. 

Saat itu kegiatan berlangsung seperti biasanya, bahkan pada saat mantan Wakil Bupati Bone izin meninggalkan acara situasi masih aman dan damai.

Saat hari menjelang siang, dan acara pun masih berlangsung, tiba-tiba datang aparat kepolisian Polres Bone, dalam hal ini lagi-lagi Kasat Intel Polres Bone beserta rombongan. Kehadiran Kasat Intel beserta rombongan dengan alasan, pertama mempertanyakan izin keramaian, kedua menindaklanjuti laporan warga bahwa kegiatan ini terdapat unsur LGBT.

Laporan yang ditunjukkan Kasat Intel pun bukan laporan secara resmi dan tertulis, warga yang melaporkan pun tidak jelas siapa dan dari mana, bahkan laporan tersebut dalam bentuk via WhatsAap yang diperlihatkan kepada panitia.

Dialog pun sempat terjadi antara panitia penyelenggara dan Kasat Intel Polres Bone, tak ada titik temu dan solusi yang hadir, pemberhentian acara menjadi target Kasat Intel waktu itu. Namun di tengah dialog dan perdebatan yang berlangsung, hadir pula seorang tokoh Perempuan Bone Asia Andi Pannanrangi, karena beliau diundang menjadi  salah satu  pembicara. Beliau pun sempat berdebat dengan Kasat Intel Polres Bone, alhasil Ibu Asia menjamin dan pasang badan untuk kegiatan tersebut.

Baginya, Bissu tidak boleh mendapatkan perlakuan-perlakuan pembubaran seperti ini, apalagi datang dari lembaga Negara seperti kepolisian. Acara pun terus dilanjutkan hingga selesai, walaupun dalam pantauan ketat Intel Polres Bone. Karena memang kegiatan tersebut adalah murni kegiatan kebudayaan.  

Selain mantan Wakil Bupati Bone yang menghadiri sekaligus membuka kegiatan, hadir pula dari Dinas Pariwisata. Sebelumnya panitia penyelenggara hanya memperoleh izin dari Dinas Pariwisata, sementara untuk Kesbangpol Bone dan Dinas Kebudayaan Bone telah masuk surat pemberitahuan kegiatan, namun izinnya pun tak kunjung keluar. Persoalan-persoalan administrasi seperti ini kerap kali dijadikan alat legitimasi bagi kepolisian untuk membubarkan kegiatan seni dan budaya, apalagi ketika ada Bissu di dalamnya.

Kehadiran mantan Wakil Bupati Bone bisa dianggap sebagai  dukungan serta apresiasi atas kegiatan tersebut dan juga sebagai representasi pemerintah daerah. Walaupun kegiatan tetap berlangsung di tengah intimidasi, hal semacam ini perlu perhatian serius, karena menjadi potret buruk dalam konteks pemajuan kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Bone.

Foto bersama pemimpin Bissu Bone (Bissu Ancu) pemimpin Bissu Soppeng (Bissu Ecce), pemimpin Bissu Wajo (Angkuru Hj. Jannah), peneliti, dan pegiat kebudayaan. Foto diambil dari Project Budaya Bone II/Altriara Pramana Putra Basri/Bollo.id
Foto bersama pemimpin Bissu Bone (Bissu Ancu) pemimpin Bissu Soppeng (Bissu Ecce), pemimpin Bissu Wajo (Angkuru Hj. Jannah), peneliti, dan pegiat kebudayaan. Foto diambil dari Project Budaya Bone II/Altriara Pramana Putra Basri/Bollo.id

Pemajuan Kebudayaan yang Tak Maju

Komunitas lokal di Sulawesi Selatan seperti Bissu misalnya, seringkali kurang mendapat perhatian dari negara, apalagi dalam konteks komunitas tersebut menjalankan ritual yang dianggap mereka sebagai sesuatu yang sakral. Namun di lain sisi, komunitas Bissu dengan segala pengetahuan dan kebudayaan yang dimiliki selalu tampil dalam kegiatan kebudayaan atas nama perwakilan daerah bahkan difasilitasi oleh pemerintah daerah.

Jika dilihat, apa yang dilakukan Bissu dalam melakukan ritual mebutuhkan persiapan yang matang, dan performance yang ditampilkan pun secara total. Berbeda ketika penampilan di acara event, festival, dan kegiatan sejenisnya.

Tak cukup melihat pertunjukan yang ditampilkan Bissu sebagai hiburan semata, tarian Sere Bissuindah dipandang, tari magiri yang menusuk tubuh dengan benda tajam sebatas atraksi, atau sebagai promosi pariwisata budaya daerah. Namun diballik itu, terkandung pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai, beserta konsekuensi-konsekuensi spiritual yang dihadapi. Sebab, segala proses yang mereka jalani sebagai keseluruhan yang kompleks.

Tak heran jika sebagian peneliti budaya dan antropolog melihat komunitas lokal seperi Bissu ini telah mengalami komodifikasi. Dilihat sebagai sesuatu yang unik, mereka dipublikasi, diperkenalkan di luar, ditampilkan di media sosial dengan harapan ada pasar yang merespons, keterampilan yang mereka miliki diperjualbelikan.

Namun itu semua tak sebanding dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh komunitas lokal seperti yang terjadi pada Bissu Bone. Proses komodifikasi pun tidak berefek terhadap perlindungan serta menjamin ekpresi Bissu menjalani kepercayaan, tradisi, serta keterampilan, dan pengetahuan mereka.

Kehadiran Negara dalam konteks kebudayaan sejauh ini masih sebatas normatif, beberapa produk hukum yang dilahirkan baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan kebijakan strategis lainnya perlu rumusan yang konkret serta keberpihakan yang nyata dan jelas terhadap komunitas lokal seperti Bissu yang ada di Kabupaten Bone.

Misalnya dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017 dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No.3 Tahun 2020 tentang Pelestarian dan Pemajuan Budaya Tak Benda, terdapat beberapa asas di dalamnya, termasuk asas toleransi dan kebebasan berekspresi. Bahkan tugas dari pemerintah daerah menjamin kebebasan berekspresi serta perlindungan atas ekspresi budaya, namun yang terjadi dan dialami oleh komunitas Bissu Bone malah sebaliknya.

Pemerintah daerah yang seharusnya melindungi serta menjamin kebebasan ekspresi budaya malah mencekal, memberhentikan dan sangat intimidatif dengan melibatkan aparat keamanan untuk membubarkan. 

Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Bone sudah merumuskan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) di tahun yang sama yaitu 2018. PPKD merupakan dokumen yang memuat kondisi faktual  dan permasalahan di daerah dalam pemajuan kebudayaan serta  penyelesaiannya. Terdapat perbedaan data antara PPKD Provinsi Sulawesi Selatan dan PPKD Kabupate Bone, terkhususnya tentang Bissu.

Dalam PPKD Provinsi  Sulawesi Selatan, tentang objek pemajuan kebudayaan kategori tradisi lisan terdapat manusia Bissu, kategori adat istiadat disebut adat mabissu dan kategori ritus disebut mabissu. Sementara PPKD Kabupaten Bone tentang objek pemajuan kebudayaan kategori tradisi lisan, adat istiadat tidak terdapat Bissu di dalamnya, yang ada hanyalah mattompang arajang dalam kategori ritual. Hal ini menunjukan terdapat ketidakselarasan data objek pemajuan kebudayaan di Kabupaten Bone dan Provinsi Sulawesi Selatan tentang Bissu.

Semoga ini hanyalah kekeliruan dalam penentuan objek pemajuan kebudayaan dan bukan hal disengaja. Karena dokumen PPKD menjadi menjadi salah satu dokumen acuan dalam agenda pemajuan kebudayaan.

Di 2022, Indonesia merumuskan strategi kebudayaan melalui peraturan presiden No. 114 Tahun 2022. Dalam rumusan tersebut terdapat tujuh permasalahan pokok dan menjadi isu strategis yang harus dijawab dalam pemajuan kebudayaan ke depan. Tujuh permasalahan tersebut dikumpulkan melalui PPKD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Salah satu masalah pokok dan yang paling mendasar ialah; pengerasan identitas primordial, dan sentimen sektarian yang merusak sendi kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Sementara wujud nyata dari masalah ini adalah diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan ekspresi seperti pencekalan-pencekalan selama dua tahun yang dialami oleh Bissu Bone.

Ke depannya tentu kita berharap, tak ada lagi pencekalan-pencekalan, pembubaran serta intimidasi terhadap para komunitas lokal, pelaku kebudayaan, pegiat seni dan aktivis kebudayaan. Kehadiran negara memang sangat diperlukan, tetapi bukan berarti mengintervensi kebudayaan serta adat istiadat komunitas lokal lebih jauh.

Kehadiran negara harusnya melindungi serta menjamin agar ekspresi budaya tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi dan pembubaran. Negara harus mampu menjamin hal tersebut, karena begitulah produk hukum kita mengatakan.

Produk hukum kebudayaan tak sekedar ajang untuk menunjukan kepada dunia bahwa kita adalah negara yang berbudaya. Yang terpenting ialah kepastian melindungi serta menjamin ekspresi budaya dari pembungkaman. Jangan sampai kebudayaan yang ditargetkan mengalami pemajuan justru kemunduranlah yang nampak.

Komunitas lokal seperti Bissu, kadang luput dari jaring perlindungan sipil dan politik. Seperti yang dikatakan Tania Murray Li, komunitas lokal semacam Bissu ini bukanlah ancaman bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik suatu daerah, sehingga pemerintah dapat mengabaikan dan bahkan gagal memberikan perlindungan atas ekspresi kebudayaan.


Editor: Agus Mawan W 


Altriara Pramana Putra Basri

Koordinator Divisi Advokasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay

Skip to content