Editorial Bollo.id
Editorial Bollo.id

Editorial Bollo.id: Kita Harusnya Marah Sejak Lama

Maafkan. Kali ini kami tak ingin netral.

Gelombang protes dimulai sejak Kamis, 22 Agustus 2024, ketika secara diam-diam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ingin membegal putusan Mahkamah Konstitusi, yang sebisa-bisanya putusan itu akan menghalang putra Joko Widodo bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024 dan membendung ambisi dinasti presiden ke tujuh itu.

Protes ini menarik simpati luas: warga, seniman, musisi, jurnalis, akademisi, peneliti, hingga publik figur. Sehari sebelum protes mulai merebak, sebuah gambar “Peringatan Darurat” berlatar biru kelam, menjadi simbol gerakan ini dan diunggah berulang-ulang di media sosial.

Pada Kamis–di mana demonstrasi bermula, di Jakarta, dewan telah menjadwalkan sidang paripurna buat mengesahkan RUU Pilkada, tetapi bahkan sebelum aksi demonstrasi dimulai, dewan menunda sidang, karena peserta yang hadir tidak menyentuh angka kuorum.

Malam-malam di tengah letusan demonstrasi, tersiar kabar bahwa RUU Pilkada batal disahkan jadi UU dan akan mengikuti putusan MK. Pembatalan ini tentu saja, tak terpisah dari gelombang protes masyarakat sipil yang luas. Dan pada 25 Agustus 2024, DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengesahkan revisi Peraturan KPU yang mengakomodir putusan MK.

Tetapi, bagi kami, persoalan ini bukan hanya RUU Pilkada belaka.

Selama 10 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo telah mencetak jejak kelam. Dari segala aspek, terutama indeks korupsi dan demokrasi, posisi Indonesia terjun bebas.

Ujung demi ujung Indonesia, konflik agraria meletus. Perampasan lahan demi proyek strategis nasional dan percepatan investasi dihalalkan. Di Sulawesi Selatan saja pada 2023, luas konflik agraria bahkan setara empat kali luas Kota Makassar, dan mengorbankan ribuan keluarga. Reforma Agraria pun diartikan dalam makna sempit: bagi-bagi sertifikat.

Di tangan Joko Widodo, supremasi hukum tak dipegang oleh rakyat. Institusi polisi menjadi kebal dan seakan-akan tak tahu malu. Berbagai kekerasan, kriminalisasi warga dan pejuang hak asasi manusia dan lingkungan, dan arogansi dipertontonkan secara vulgar oleh institusi ini. Baru-baru, lewat revisi UU Kepolisian, institusi ini akan jadi terlalu kebal dan kewenangannya dikhawatirkan oleh aktivis akan merampas kebebasan sipil.

Tak hanya Polri, Tentara Nasional Indonesia nantinya akan jadi dwifungsi—sesuatu yang ditentang sejak era otoriter Soeharto—lewat revisi UU TNI. Dua hal perubahan UU ini terjadi di akhir kekuasaan Joko Widodo, seseorang yang tampil sebagai sosok sederhana dan bukan berasal dari keluarga elit.

Mari mundur di tahun 2019. Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan dan berada di bawah kendali Presiden, melalui revisi UU. Petugas KPK yang ingin menjaga marwah lembaga anti rasuah ini ‘ditendang’ melalui Tes Wawasan Kebangsaan. Apa jadinya? Kini, ketua KPK jadi tersangka dari kasus memalukan: berkongsi dengan seorang koruptor.

Dalam protes di tahun 2019, Imawan Randi dan Yusuf Kardawi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo tewas ditembak. Kita harus mengingat dua nama ini—selamanya—bersama nama-nama pejuang demokrasi yang dibunuh karena mempertahankan hak mereka.

Lalu setahun berikutnya, UU Cipta Kerja disahkan, meski masyarakat sipil menentangnya.

Di ujung Indonesia, selama Joko Widodo berkuasa, Papua menjadi medan tempur yang mengorbankan Orang Asli Papua. Panglima TNI yang terus berganti selalu mengedepankan pendekatan militeristis untuk persoalan Papua. Demonstrasi Mahasiswa Papua di berbagai daerah pun selalu digebuk oleh Organisasi Masyarakat kanan. Di tengah situasi ini, pemerintah malah memekarkan provinsi di Pulau Papua, meski ditentang oleh aktivis dan berbagai tokoh. Tak heran, sebab Pemerintah selalu pakai kacamata Jakarta untuk persoalan di Papua. Pelanggaran HAM di Papua yang kian menumpuk juga tak pernah terselesaikan.

Di sektor lingkungan, melalui ambisi hilirisasi, wajah Indonesia Timur yang penuh dengan endemisitas flora dan fauna yang menawan berubah jadi pabrik, tambang, dan cerobong-cerobong asap. Mencemar dan merusak pesisir dan ruang hidup masyarakat di sana. Morowali dan Halmahera Tengah misalnya, berubah jadi kawasan industri yang menyesakkan dan penuh polusi berbahaya bagi kesehatan, selain merusak wilayah tangkap nelayan tradisional di sana. Ini hanya satu contoh saja: belum soal perkebunan skala raksasa yang merampas lahan masyarakat adat, pertambangan yang melahirkan cerita kelam, dan aturan-aturan lentur yang hadir untuk memuluskan investasi perusak lingkungan dan manusia yang hidup dalam satu ekosistem sejak lama. Dan bagaimana pula, hilirisasi ini telah mengorbankan para buruh dengan tanpa standar keselamatan kerja yang laik.

Belum lagi soal Proyek Strategis Nasional. Proyek-proyek yang bertebaran di Indonesia ini tak sedikit justru membawa petaka bagi rakyat. Selain Wadas, Morowali dan di beberapa tempat, di Makassar, Makassar New Port telah merusak wilayah tangkap nelayan tradisional di Tallo, ujung utara kota ini. Para perempuan nelayan di sana kini kehilangan berbagai jenis kerang yang jadi tumpuan ekonomi keluarga mereka. Menjerumuskan mereka ke dalam kehidupan yang merana dan kehampaan hak.

Segala keonaran ini terjadi tanpa pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat, karena Joko Widodo dan kroninya menihilkan oposisi dan dipamerkan sebagai simbol rekonsiliasi serta stabilitas politik. Fungsi pengawasan seakan-akan tak berguna dan UU yang memuat kepentingan rezim dan melemahkan hak rakyat dengan mudah lolos begitu saja dan disahkan kemudian tanpa koreksi yang berarti.

Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara di Pulau Kalimantan juga tampaknya mulus saja, setelah Dewan menyetujui perubahan UU IKN. Pada praktiknya, masyarakat adat tersingkir dari pembangunan IKN ini.

Tapi ini juga karena kesalahan Partai Politik yang hanya menempuh cara-cara pragmatis. Partai Politik yang lolos dalam pertarungan pemilihan umum tak punya sikap tegas dan nyaris berjalan tanpa ideologi. Mereka berdiri di garis abu-abu dan hanya bersiasat bagaimana kepentingan mereka bisa tembus melalui perebutan kuasa yang semu. Partai Politik kini juga serupa konsorsium pebisnis. Tempat di mana para pebisnis mengamankan kepentingan mereka lewat catur politik.

Dalam satu dekade ini, apa yang kita bayangkan tak akan terjadi di Indonesia, rupanya hadir dalam bentuk yang paling brutal. Kita mulai takut untuk bersuara karena UU ITE telah menanti untuk menjerat kita—selain bayangan akan kriminalisasi. Tak terhitung seberapa banyak jurnalis dan aktivis yang dijebloskan ke penjara karena UU ini. Terbaru, RUU Penyiaran jika disahkan, akan melarang penayangan liputan investigasi, nyawa jurnalisme.

Pada akhirnya, para pengusung dan simpatisan Joko Widodo yang dulu membesarkannya kini menyesal. Dengan Gibran Rakabuming, putra sulung Joko Widodo yang naik jadi Wakil Presiden dengan apa yang dianggap oleh cendekia dan aktivis sebagai cara-cara culas, kita harusnya mendusin bahwa demokrasi sedang dikoyak-koyak dan digerus. Kita seharusnya marah sejak lama. Hasrat itu bisa saja akan terus berlanjut.

Demonstrasi yang meletus di berbagai daerah menjadi bukti bahwa rakyat sebenarnya sudah muak. Kemarahan yang memupuk itu akhirnya tak terbendung. Marah kepada Joko Widodo tak berarti kita melupakan para perusak demokrasi yang lain, yang kini dan akan berkuasa. Dari rezim nawacita ini kita harusnya belajar bahwa jangan pernah cinta buta pada pejabat. Mencintai tanah air bukan berarti mencintai pemerintah.

Pada situasi ini, Bollo.id akan berdiri bersama rakyat. Jangan pernah diam, sebab hidup kita sekarang berasal dari pengorbanan orang-orang yang tak membisu pada penindasan dan kezaliman.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay

Malang Nian Nasibmu Harimau

Banyaknya perburuan liar serta tekanan terhadap habitat aslinya membuat Harimau menjadi terancam yang nasibnya kian malang

Skip to content