Di tahun 2023, saya berkesempatan ke New Zealand, mengikuti Program INSPIRASI — Program pengembangan kapasitas khusus untuk pemimpin muda di Indonesia Timur. Belajar kepemimpinan, demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Program ini difasilitasi oleh UnionAid-Yayasan yang dibentuk oleh Serikat Buruh di New Zealand. Bagi saya kesempatan ini sangat berharga, karena sejak lama saya memang memiliki keinginan yang kuat untuk belajar di negara ini.
Bukan tanpa alasan, karena negara ini merupakan salah satu yang terdepan dalam perkembangan hukum lingkungan Internasional, khususnya terkait perlindungan entitas alam sebagai subjek hukum.
Khusus dalam tulisan ini, saya akan menceritakan perjalanan dengan dua hal penting yang saya pelajari di negeri ini. Yang pertama terkait Legal Personhood for Nature atau lingkungan sebagai subjek hukum dan isu Co-Governance atau tata kelola bersama.
Kedua konsep ini sangat menarik, karena memperluas perspektif saya tentang perkembangan konsep lingkungan sebagai subjek hukum yang dapat diterapkan di Indonesia. Khususnya soal pengakuan hak dan perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional.
Di Aotearoa — telah terdapat tiga subjek alam yang telah diakui sebagai badan hukum yaitu: Hutan-Te Uruwera-, Gunung Taranaki, dan Sungai Whanganui. Untuk memahami lebih jauh mengenai masalah ini, saya bertemu dengan Brad Coombes Senior Lecture di Fakultas Sains dan Lingkungan, Auckland University, Marama Muru Lanning Direktur Eksekutif James Henare Maori Research Centre di Auckland University, dan Gerard Albert perwakilan Iwi di Whanganui.
Ketika saya berdiskusi dengan Brad Coombes, ia berbagi pengetahuan tantangan penerapan Legal Personhood untuk alam karena tidak bisa melibatkan Iwi lain (sub-tribe-anak suku yang lain) yang juga ada kaitannya dengan alam tersebut.
Brad telah melakukan banyak penelitian praktik konservasi berbasis komunitas sekitar. Menurut Brad, Legal Personhood itu ibarat kepemilikan yang dimiliki oleh seorang Iwi dan mereka bekerja sama dengan kerajaan (Selandia Baru saat ini masih mengakui Kepala Negara-Raja Inggris Raya) atau pemerintah untuk mengelola sumber daya alam. Hal ini dapat mengakibatkan Iwi lain terpinggirkan, atau ada Iwi yang dapat didominasi oleh Iwi lainnya.
Brad melihat setiap Iwi bisa saja mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan tidak memiliki nilai yang sama, sehingga bisa menimbulkan permasalahan jika tidak bisa berdiskusi bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam bukunya, Brad berpendapat bahwa, “Kepribadian hukum di Aotearoa mereproduksi bentuk biosentrisme yang sama yang telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat di masa lalu”.
Terkait Co-Governance (tata kelola bersama), Brad mengklaim bahwa ide ini merupakan alat untuk mengendalikan protes masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alamnya. Ia menyatakan, “Negara mempromosikan pengelolaan kolaboratif sebagai proses rekonsiliasi yang akan menenangkan protes masyarakat adat, sehingga memungkinkan pelestarian taman nasional”.
Dia juga menyatakan, “Gagasan pengelolaan bersama adalah untuk memungkinkan pengambilan keputusan bersama antara aktor-aktor negara bagian dan lokal telah—diperluas secara konseptual—untuk mengakomodasi pemangku kepentingan non-lokal dan kepentingan perusahaan, memperkuat tata kelola hierarki yang seharusnya digantikan oleh pengelolaan bersama”.
Hal ini sungguh menarik untuk dipelajari lebih lanjut bahwa dalam pengambilan keputusan bagaimana memastikan bahwa suara adat atau komunitas memiliki suara yang aman dan jelas yang dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Namun, menurut saya, kita perlu memastikan bahwa gagasan legal Personhood atau Co-Governance memberikan suara yang kuat terhadap hak masyarakat atau masyarakat adat untuk memutuskan cara terbaik dalam mengelola lahan atau sumber daya alam mereka.
Legal Personhood untuk hukum alam atau Co-Governance tidak boleh meminggirkan atau mengasingkan masyarakat dari tanah dan sumber daya alamnya.
Gagasan Perlindungan Bisa Berasal dari Komunitas
Pada kunjungan berikutnya saya bertemu dengan Dr Marama Muru Lanning, dan kami mendiskusikan banyak hal terkait dengan Legal Personhood dan Co-Governance di Aotearoa-Selandia Baru.
Sebagai seorang Antropolog, ia melontarkan pertanyaan filosofis kepada saya yang membuat saya memikirkan kembali gagasan ini, seperti: mengapa kita sebagai manusia yang berbadan hukum, memaksakan gagasan kita untuk menjadikan alam sebagai pribadi yang mempunyai hak seperti kita sebagai manusia dengan skema badan hukum?
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Ini adalah pertanyaan yang sangat menarik daripada meniru satu ide yang sesuai dengan Aotearoa-Selandia Baru. Saya harus belajar dari komunitas saya, ide terbaik apa yang datang dari mereka untuk melindungi wilayah penangkapan ikan tradisional mereka atau mengelolanya dengan cara yang berkelanjutan.
Di Indonesia beberapa konsep perlindungan lingkungan berdasarkan hukum adat yang dikenal dengan istilah Sasi di daerah Maluku dan sekitarnya. Sasi, merupakan hukum untuk tidak mengambil manfaat dulu dari alam untuk waktu tertentu hingga alam bisa beregenerasi kembali.
Di Aceh terdapat konsep Panglima Laot yang menegaskan pola pengelolaan sumber daya laut berdasarkan hukum adat di wilayah Aceh. Pembahasan tersebut memperkaya pandangan saya bahwa hubungan suku Maori dengan pemerintah merupakan sebuah hubungan yang kompleks.
Salah satu hal yang masih menjadi wacana adalah situasi suku Maori yang masih berjuang untuk memenuhi hak-haknya terutama yang berkaitan dengan merebut kembali ruang hidup dan sumber daya alamnya. Untuk melengkapi perjalanan saya terkait masalah ini, saya akhirnya mengunjungi Whanganui.
Whanganui dan Keramahannya
Di Whanganui saya bertemu dengan Gerard Albert salah satu perwakilan di Whanganui Iwi. Ia juga bekerja di Nga Tangata Tiaki O Whanganui, Dewan Adat Maori di Whanganui yang diberi mandat untuk menjaga Sungai Whanganui setelah pengesahan Undang-Undang Te Awa Tupua (Perlindungan Sungai Sebagai Subjek Hukum).
Sungguh cerita yang luar biasa ketika saya harus menempuh perjalanan 8 jam menggunakan bus dari Auckland ke Whanganui. Setelah tiba di Whanganui, Gerard mengantar saya ke Te Ao Ho Marae (rumah adatnya), dan bersama temannya Geoffrey yang menjaga Marae. Mereka melakukan Powhiri untuk menyambut saya.
Kemudian kita membahas banyak hal yang ada di Marae, seperti sejarah Marae mereka hingga perjuangan mereka mengembalikan Sungai Whanganui sebagai nenek moyang mereka yang memberikan penghidupan bagi suku dan masyarakat di sepanjang sungai tersebut.
Satu hal yang sangat penting terkait dengan regulasi Te Awa Tupua adalah, UU ini telah menggeser paradigma bahwa sungai yang tadinya hanya sekedar basis sumber daya alam dalam perspektif Barat, namun regulasi ini justru menggeser paradigma tersebut.
Menurut orang Maori, mereka memandang sungai sebagai makhluk hidup yang memberi nutrisi dan mengalir secara spiritual dari pegunungan hingga lautan. Sungai ini telah diakui sebagai nenek moyang suku Maori di Whanganui yang memberikan semangat dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Bagi Whanganui Iwi dan Hapu, kesehatan dan kesejahteraan sungai adalah hal yang penting dan saling berhubungan dengan masyarakat sungai. selama beberapa dekade, pemerintah menolak pandangan ini dan memperlakukan sungai sebagai komoditas dan menyebabkan kerusakan pada saluran air dan ekosistem.
Perbuatan ini bukan merupakan pemberian cuma-cuma oleh pemerintah kepada suku Maori. Hal ini menjadi UU dan melindungi sungai karena perjuangan suku Maori Iwi dalam seratus tahun setelah te Tiriti o Waitangi pada tahun 1840.
Gerard mengatakan bahwa keluarga mereka telah melakukan beberapa tindakan hukum untuk mendapatkan kembali hak mereka dalam mengelola dan memulihkan sungai, termasuk menghentikan pelanggaran hak masyarakat sekitar sungai.
Perjuangan Panjang 3 Generasi
Pada tahun 1877 terjadi perkembangan peraturan dewan Harbour yang mengancam daerah penangkapan ikan kuno dan selanjutnya menghancurkan basis ekonomi Whanganui Iwi.
Pada tahun 1880 terjadi pengembangan navigasi bebas pita dan emas serta batu bara yang menghancurkan The Pa Tuna-Eel Weirs (alat untuk menangkap belut) di Whanganui Iwi.
Sejak lama masyarakat menghadapi ancaman perkembangan dan pengangkutan emas dan batu bara yang merusak wilayah penangkapan ikan mereka.
Pada tahun 1886-1888, lebih dari 501 anggota Iwi mulai mengajukan petisi kepada pemerintah untuk menghentikan aktivitas di aliran sungai yang menghancurkan Pa tuna dan Utu Piharau (Lampery Weirs)—Lokasi penangkapan ikan mereka.
Pada tahun 1896 Whanganui Iwi mengajukan klaim ke Mahkamah Agung atas hak penangkapan ikan secara adat. Pada tahun 1896, Dewan Perwalian Sungai Whanganui (suatu badan yang dikelola kerajaan) dibentuk, untuk mengambil alih kendali sungai tersebut kepada pemerintah kolonial.
Merupakan perjuangan panjang di pengadilan maupun di luar pengadilan yang dilakukan masyarakat untuk tetap melawan dan mendapatkan kembali hak-haknya. Pada tahun 1988 suku Maori memutuskan untuk membentuk Dewan Perwalian Maori Sungai Whanganui untuk menegosiasikan semua klaim yang belum terselesaikan terkait dengan hak adat Whanganui Iwi.
Pada tahun 2017 parlemen mengesahkan UU yang mengakui Sungai Whanganui sebagai badan hukum. Ini merupakan kemenangan atas perjuangan kerinduan suku Maori untuk mendapatkan kembali hak-hak dan memulihkan sungai mereka.
Tantangan Sentralisasi Kewenangan di Indonesia
Berdasarkan apa yang bisa dipelajari dari situasi ini, perjuangan masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-haknya sangatlah panjang. Perlu usaha, tenaga, dan konsistensi yang kuat untuk menghadapi hal ini dan menempatkan sudut pandang masyarakat dalam melihat sumber daya alamnya.
Dari perjalanan ini saya banyak belajar tentang gagasan perlindungan wilayah tangkap nelayan yang bisa di kembangkan di masyarakat untuk merebut kembali ruang kelolanya. Termasuk dengan perlawanan warga menghadapi tambang yang akan mengancam sungai, maupun hutan mereka yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Perlu berbagai macam upaya yang bisa dilakukan, tidak melulu bergantung pada upaya hukum. Tapi bisa berdaya untuk menggunakan posisi politik ataupun membuat kontrak politik dengan pemangku regulasi di lembaga perwakilan untuk mendukung hak-hak masyarakat.
Apalagi jika kita mencermati situasi politik hukum Indonesia saat ini yang mengarah kembali ke sentralisasi pasca-UU Cipta Kerja. Ini membuat semakin beratnya tantangan pengakuan hak-hak pengelolaan berbasis pada masyarakat.
Ekonomi politik yang menghamba pada investasi dan membuat segala hal termasuk hak-hak masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan SDA dianggap sebagai penghambat investasi.
Sehingga diperlukan upaya lebih untuk merebut kembali kedaulatan warga untuk bisa mengelola sendiri entitas lingkungan hidup yang ada disekitar mereka. Seperti yang terjadi di New Zealand, warga di Indonesia mesti memahami bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan.
Kitalah pemilik sah kedaulatan tersebut. Kita memiliki hak untuk berkata tidak atas penghancuran ruang hidup yang kita miliki, semata karena di bawah tanah, di hutan-hutan kita terdapat komoditas tambang yang sangat menarik bagi investor bukan berarti mereka bisa seenaknya menghancurkan ruang hidup tersebut.
Disinilah pentingnya kehadiran negara untuk mengakui lingkungan sebagai subjek hukum sendiri, dan komunitas masyarakat di daerah sebagai pemangku hak atas entitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya. Yang memiliki hak untuk menolak setiap hal yang berpotensi mengancam lingkungan hidup mereka sehingga bisa melindungi dan memperkaya lingkungan hidup tersebut dengan perspektif yang dimiliki oleh warga sendiri.
Editor: Sahrul Ramadan