Setidaknya sejak akhir 2016, warga Bara-baraya, Jalan Abu Bakar Lambogo, Makassar, dibayang-bayangi ancaman penggusuran. Dalam waktu dekat, pengadilan akan menginstruksikan eksekusi setelah gugatan Nurdin Dg. Nombong terhadap warga dikabulkan.
Apa pangkal masalah hukum dari sengkarut konflik tanah yang menimpa warga Bara-Baraya? Bila boleh menunjuk, biang keladinya adalah kepemilikan atau properti yang diandalkan sebagai modus untuk melakukan eksklusi.
Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4 yang diterbitkan ulang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2016 adalah dasar gugatan bagi Nurdin Dg. Nombong, untuk mengusir warga Bara-Baraya dari rumahnya. Selaku penggugat, Nurdin memohon tangan pengadilan untuk ‘membebaskan tanah’ yang ia klaim dari warga yang telah hidup turun-temurun di Bara-Baraya.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Garis besar konflik
Bila ditarik ke belakang, SHM No. 4 merupakan perolehan hak hukum kolonial, yang namanya disebut “Eigendom Verponding.” Orang tua Nurdin Dg. Nombong, yakni Moedhinoeng Dg. Matika, memiliki “Eigendom” bernomor 2906 yang terbit tahun 1926, lalu dikonversi menjadi SHM pada 1965.
Tanah dalam SHM ini sudah disewakan kepada tentara, Kodam XIV Hasanuddin, untuk keperluan pembangunan barak semi-permanen sejak 1959 dan diperbarui 1967. Dekade-dekade berganti, tentara hendak mengembalikan tanah yang ia sewa. Namun proses-proses yang lain telah terjadi: ahli waris Moedhinoeng Dg. Matika yang lain, saudara penggugat, yakni Hadija Dg. Ngugi, diketahui telah melakukan transaksi jual-beli dengan sebagian warga.
Objek jual-beli tersebut berada di luar barak. Selain itu, terdapat pula warga yang memperoleh hak berdasarkan hibah.
Per 2016, Nurdin Dg. Nombong mengajukan penerbitan sertifikat pengganti ke BPN Kantor Makassar. Dalihnya, sertifikat telah hilang.
LBH Makassar menunjukkan bahwa dalam kasus lain, Nurdin terlibat sengketa wanprestasi dengan seorang inisial HW terkait jual beli tanah yang telah dilakukan pada 1991. Fakta itu cukup jelas terlihat pada Putusan No. 2/Pdt.G/PN.Mks. Diduga kuat, sertifikat tersebut sebenarnya tidak hilang, tetapi dipegang oleh HW.
Baca: Anak Bara-baraya di Tengah Bayang-bayang Penggusuran
Bertahun-tahun perkara bergulir di pengadilan. Warga sempat ‘menang’, sebagaimana Pengadilan Negeri (PN) Makassar menyatakan gugatan Nurdin tidak dapat diterima. Setelah upaya hukum bandingnya gagal, gugatan yang sama dilayangkan lagi pada 2019. Warga kembali ‘menang’, tetapi keadaan berubah ketika di tahap banding, setahun berikutnya. Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan Nurdin.
Warga dikalahkan pengadilan. Di mata hukum, Akta Jual Beli, dokumen hibah, kuitansi, dokumentasi Pajak Bumi dan Bangunan yang dikantongi tidak cukup kuat bila diperlawankan dengan SHM. Lebih jauh, PN Makassar juga menyatakan “batal demi hukum” seluruh dokumen yang menunjukkan keabsahan penguasaan warga atas tanahnya, seperti Akta Jual Beli.

Eksklusi oleh properti
Dalam alam pikir liberal, hak milik atau properti dipandang dapat diperoleh oleh seseorang secara alamiah. Namun pemikiran kiri radikal memiliki banyak sanggahan kritis terhadap klaim itu.
Pernyataan Pierre-Joseph Proudhon, “Property is Theft,” menunjukkan dengan jernih bahwa hak milik diperoleh dengan kekerasan dan pencurian sumber daya bersama. Karl Marx, melalui konsep akumulasi primitif, menggambarkan proses terciptanya kelas pekerja modern yang bermula dari proses beringas pencaplokan, pemagaran, pengkaplingan tanah dan sumber daya agraria, yang pada gilirannya membuat orang-orang tergusur dari sarana penghidupannya. Di situ properti mempunyai peran krusial, dan sampai sekarang menjadi salah satu fondasi dasar kapitalisme.
Secara historis, hak milik memiliki watak konservatif. Ia dibutuhkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelas berkuasa, seperti tuan tanah. Asal-usul properti adalah hak bagi sang bertanah (right of the ‘landed’), bukan hak bagi orang-orang tak berpunya (the landless).
Pada perkembangan hukum termutakhir, hak milik memperoleh pengakuan sebagai hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal HAM (Pasal 17) dan Konstitusi Indonesia (Pasal 28H ayat (3) UUD NRI) mengakui hak milik sebagai hak dasar.
Hukum agraria Indonesia pun memperlakukan hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat. Lebih rinci lagi, satu-satunya bukti kepemilikan yang sah hanyalah sertifikat hak milik (Pasal 32 PP No. 24/1997).

Dalam kasus Bara-Baraya, terlihat jelas bagaimana watak konservatif hak milik bekerja. Hak milik menjadi sarana eksklusi, menggugurkan setiap legitimasi bagi warga untuk tetap bermukim di tempat tinggalnya. Pengadilan, selaras dengan itu, berperan untuk ‘memulihkan’ hak tersebut dari warga yang dipandang menjadi ‘pengokupasi tidak sah’.
Konflik tanah Bara-Baraya adalah tentang ketidakadilan ruang. Ketimpangan distribusi terpampang nyata ketika satu orang dengan satu dokumen hukum sertifikat, dengan mana orang itu pun tidak menduduki, menguasai secara fisik, dan menggunakan hamparan tanah yang ia klaim, hendak menggusur kurang lebih 196 warga, di mana 103 di antaranya adalah perempuan yang telah bermukim lebih dari satu dasawarsa (Data jumlah warga yang akan digusur dikumpul pada Tahun 2024). Terlebih, klaim kepemilikan itu bertumpu pada dokumen hukum kolonial, yang pada kenyataannya pun sebagian di antaranya telah dialihkan dan dijual kepada warga.
Baca: Bara-baraya: Api Kecil yang Sebentar Lagi Berkobar
Pada akhirnya, hak milik mempunyai paradoks yang bersifat inheren, ibarat pisau bermata dua. Ia dapat menjadi jaminan kepastian hukum atas kepemilikan atau penguasaan (security of tenure) yang dibutuhkan untuk menghindari perampasan sewenang-wenang dari negara dan entitas tertentu. Namun lain sisi, ia berpotensi menjadi sarana untuk menggusur dan menciptakan ketidakadilan ruang. Hal demikian terjadi di Bara-Baraya: mafia tanah menggeliat mengandalkan hak milik dan meminta tangan pengadilan untuk merampas ruang hidup warga.
Editor: Agus Mawan W