Bola Soba di Kabupaten Bone/Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM.

Memaknai Bola Soba Pasca Terbakar

Jika mengingat peristiwa kebakaran itu merupakan upaya untuk menyusun ulang pengetahuan maka mencintai rumah, sama dengan mencintai ruang falsafah hidup suku bugis.

Sebelum ke tempat ngopi, saya kerap melintas di depan halaman rumah bertuliskan ‘Saoraja Petta Ponggawae, Bola Soba Watampone’. Saya melihat bangunan bersejarah yang sarat akan nilai-nilai kebudayaan berdiri kokoh dan megah. Begitu yang teringat!

Pada 20 Maret 2021, tragedi kebakaran terjadi. Si jago merah melahap habis bangunan rumah beserta isinya dalam sekejap. Tetapi, apa yang bisa kita ingat dan refleksikan dari sisa-sisa bangunan yang hangus?

Apakah kenangan kita juga turut hangus? Atau mungkin tragedi tersebut justru membuat ingatan kita atas ruang kebudayaan–khususnya rumah–beserta sejarahnya semakin membara?

Sebagaimana pola umum saat kita kehilangan sesuatu, ingatan atasnya justru akan tumbuh semakin kuat. Begitulah kira-kira. Kita kadang menyesali kehilangan setelah objeknya benar-benar tidak ada di depan mata. Namun, ingatan tidak akan ikut hangus dalam waktu singkat, bukan!

Rumah tradisional merupakan salah satu ruang yang kaya dengan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang pertumbuhannya seirama dengan pertumbuhan suatu bangsa. 

Hadirnya sebuah rumah tradisional tidak semata-mata dianggap sekedar tempat berteduh dari hiruk-pikuk dunia yang kejam, lebih dari itu sebuah rumah sangat intim dengan pembentukan identitas kita yang sarat akan falsafah kehidupan. 

Rumah musti kita lihat lebih jauh tidak hanya dari segi fisik dan bagaimana wujudnya. Perlu suatu penghayatan untuk memahami rumah sebagai simbol kebudayaan yang mempunyai makna tertentu dan fungsi tersendiri.

Rumah Adat Bola Soba dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Rumah Besar atau lebih akrab dikenali sebagai Rumah Persahabatan. Penamaan ini tentu tidak hadir pada ruang hampa atau dalam bahasa ahistoris dianggap ‘tiba-tiba ada’. 

Bola Soba memiliki garis sejarah yang panjang sebelum dinobatkan sebagai salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Bone di masa lampau. 

Bangunan yang berdiri megah di Jalan Latenritatta, Kelurahan Manurunge, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Pawawoi Karaeng Sigeri sekitar Tahun 1890. 

Awalnya, rumah ini diperuntukkan sebagai tempat bagi para raja bermukim dan memikirkan urusan politik kerajaan. Namun, seiring dengan tujuan kolonial dalam memperluas wilayah koloni, Belanda turut menjadikan Tanah Bone sebagai tujuan ekspansi. 

Tujuannya, untuk menguasai pulau Sulawesi, sehingga Saoraja Petta Ponggawae turut direbut. Akhirnya, jatuhlah ke tangan kekuasaan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. 

Pada Tahun 1912, bangunan tersebut tidak lagi dapat diakses oleh para raja. Dan dialihfungsikan menjadi penginapan untuk menjamu para tamu yang datang berkunjung ke Kota Beradat—julukan Kabupaten Bone. 

Berawal dari peristiwa sejarah tersebutlah Rumah Saoraja diidentikkan dengan nama Bola Soba yang berarti ‘Rumah Persahabatan’. 

Nilai-nilai yang terkandung dalam tata ruang rumah bugis

Dalam arsitektur Rumah Bugis secara umum, kita dapat menemukan banyak nilai kebudayaan sebagai bahan refleksi yang menegaskan cara pandang suku bugis dalam melihat alam semesta (makrokosmos) hingga sendi-sendi kehidupan manusia. 

Bagi orang bugis, rumah tidak hanya dilihat sebagai ruang hunian belaka dalam melakukan aktivitas domestik maupun luar domestik. Tetapi, rumah adalah ruang yang menggambarkan pandangan kosmologis bugis yang ketat sebagai bagian kecil dari tatanan alam semesta secara luas. 

Atas dasar itu pulalah tata ruang rumah bugis terdiri atas tiga susun sebagai model replika tiga bagian dunia. yaitu Botting Langi (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Buri Liung (dunia bawah).

Rumah sebagai identitas kesukuan turut menciptakan kesadaran dalam membangun pola hubungan yang erat kepada Dewata Seuwae (Tuhan yang Maha Esa) sebagai dunia atas. 

Bagian rumah ini divisualkan sebagai atap (rakkeang) yang berbentuk pelana dengan beberapa fungsi seperti untuk menghindari cuaca yang akan menimpa baik panas maupun hujan. Fungsi tertentu untuk menegaskan status sosial sebagai timpa’laja berbentuk segitiga yang bersusun-susun. 

Selain itu, pada bagian tengah rumah (ale bola) didesain tidak rata untuk membentuk tamping sebagai tempat sirkulasi udara. Ini juga merepresentasikan nilai spiritual bagi orang bugis yang musti dinavigasi dengan praktik- praktik gotong royong dalam membangun hubungan yang harmonis bagi sesama manusia (tidak hanya orang bugis). Dunia tengah mencerminkan dunia bagi manusia secara keseluruhan dalam menjalani kehidupan. 

Sedangkan dunia bawah (awaso) yakni bagian bawah rumah juga turut menguatkan nilai-nilai spiritual untuk mengingatkan manusia bahwa terdapat dunia setelah kematian. 

Konsep ini dengan tegas merupakan gambaran masyarakat ideal tradisional suku bugis yang berpijak pada pandangan hidup ontologis. Konsep yang hendak mendekatkan diri secara konkret pada pemahaman alam semesta secara universal.


Baca juga : Filosofi Rumah Panggung di Sulawesi Selatan


Sepintas saat melihat bentuk bangunan rumah orang bugis tampak tidak ada yang istimewa. Musababnya, hanya berbentuk persegi empat yang mungkin bentuk tersebut sangat umum dijumpai di manapun. 

Namun, jika diselisik lebih jauh secara konseptual bentuk persegi empat berangkat dari nilai filosofis masyarakat tradisional orang bugis yang dikenal dengan istilah ‘Sulapa Eppa’ artinya tanah, air, api, dan angin. Keempat elemen tersebut diproyeksikan dalam sebuah bangunan sebagai upaya dalam menyempurnakan diri.

Dalam perspektif filosofis, segala aspek kehidupan manusia termasuk rumah barulah sempurna jika berbentuk segi empat sebagai simbolisasi awal-mula kehidupan manusia.

Maka sebuah rumah dapat dikatakan sebagai bola genne (rumah sempurna) jika membentuk bidang segi empat yang mencerminkan empat kesempurnaan model kosmos yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. 

Pembangunan rumah bugis dianggap berhubungan dengan bagian-bagian tubuh sebagai cerminan dari wujud manusia yang memiliki kepala, badan, pusar, hingga kaki. Bola Soba secara karakter memiliki keunikan tersendiri yang berbahan dasar kayu berbentuk rumah panggung dengan tiang sebagai penyangga. 

Saat masuk ke dalam ruangannya kita akan menjumpai tata ruang yang terbagi atas beberapa wilayah seperti bangunan induk, teras (lego-lego), selasar, dapur, kamar, hingga ruangan lain. 

Begitu pun saat melihat dinding-dinding dan tamping rumah, kita akan menjumpai ragam hiasan dengan motif bervariatif. Ada motif suluran berdasarkan catatan sejarah adalah motif yang hadir karena adanya pengaruh kesenian budaya islam dengan ragam hias yang membentuk daun dan kembang. 

Kemudian motif banji yang diadopsi dari kebudayaan tiongkok, yang konon motif ini merepresentasikan kemurahan rezeki atau kebahagiaan yang tidak akan pernah putus sebagaimana bunga yang akan menjalar terus menerus. 

Polanya dikembangkan berdasarkan ornamen dasar swastika yang disambung-sambung hingga terhubung satu sama lain.

Setelah Bola Soba terbakar, tentunya menjadi pukulan berat bagi masyarakat bugis Bone. Pemaknaan tentang bola justru semakin hidup pada tiap-tiap kepala, rumah ternyata bukan hanya bangunan fisik yang berdiri secara acak. Lebih dari itu ia mengandung nilai-nilai falsafah hidup yang tegas. 

Jika mengingat peristiwa kebakaran itu adalah upaya untuk menyusun ulang pengetahuan, pemahaman, pemaknaan, ingatan, hingga kenangan akan Bola Soba secara umum. Maka mencintai rumah, sama dengan mencintai ruang falsafah hidup suku bugis yang intim.

Muhammad Riski

Mahasiswa Universitas Hasanuddin

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Essay

Passompe’

Impresi yang saya dapatkan setelah menyaksikan pertunjukan ini, suatu sikap yang tidak terikat oleh batas, tidak

Skip to content