Dari gawainya, seorang kawan memamerkan potret demi potret jajaran pohon pinus yang mengepung seseorang di tempat-tempat berbeda. Di Indonesia, katanya, gambar semacam itu sedang banyak dipajang oleh para pengguna Instagram. Itu genre folk, katanya, foto bentang alam—bisa berupa hamparan padang rumput, danau atau laut, atau kepulan pohon—dengan manusia digambarkan sebagai liliput di tengah pemandangan alam yang raya.
Dulu folk lebih dikenal sebagai kata sifat yang berhubungan dengan seni rakyat, semisal lagu atau seni pertunjukan tradisional. Dulu, folk menandai aneka ekspresi rakyat, biasanya di kawasan perdesaan, hasil tempaan sebuah masyarakat secara turun-temurun. Kini, dalam kurun Instagram, ia menjelma menjadi potret yang berisi bentang alam desa dengan para pengunjung kota. Kata folk berubah menjadi potret yang menampilkan perjumpaan sesaat.
Kawan saya menceritakan kecenderungan baru itu seusai mendengar cerita saya tentang sekelompok peneliti muda yang meneliti dua desa di tepi hutan pinus, di pegunungan sebelah barat Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kawan itu melihat ada kontras di sini, antara tren orang kota dan nasib orang desa yang bertetangga dengan hutan pinus.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Ringkasnya kira-kira begini:
Penelitian itu mengurai dampak hutan pinus yang mulai ditanam di sana sejak 1985, tiga puluh delapan tahun lalu. Ketika itulah program penghijauan mulai mendatangkan Pinus Merkusii jung et de vriesee, sering diringkas pinus merkusii. Jenis pohon ini merupakan endemik (asli) Sumatera, kini bertebaran di banyak desa di Sulawesi. Gerumbul pinus itu awalnya ditanam di dalam kawasan hutan negara, tetapi pelan-pelan mereka menyebar keluar merambah kebun-kebun warga di sekitar hutan. Pohon itu memang sangat agresif. Sebagaimana tumbuhan perintis, pinus bisa tumbuh dalam kondisi sulit sekalipun.
Dengan mudah pinus berkembang biak sejak mulai ditanam dalam berderet program penghijauan—dengan mudah pula kita bisa membayangkan bagaimana rentetan laporan tentang kesuksesan program itu terbang dari hutan-hutan menuju ibukota. Sebagaimana decak kagum para pemirsa folk, kita bisa membayangkan takjubnya para pejabat ketika membaca laporan-laporan itu di kantor-kantor mereka nan megah. Tapi keberhasilan pinus meminta tumbal.
Penduduk di dua desa itu, Kompang dan Gantarang, kini mengalami kesusahan karena pinus. Pohon-pohon itu sudah menjulang melebihi pohon kelapa. Batangnya besar-besar. Tujuan pemerintah sudah tercapai, karena itu bibit-bibit pinus masih berdatangan nyaris setiap kali program penghijauan tiba di sana.
Gerombolan pinus itu sangat kejam. Mereka seenaknya menjatuhkan buah di mana-mana lalu tumbuh begitu saja dengan gampang, di lahan kritis sekalipun. Mereka mengisap semua makanan yang juga menghidupi pohon-pohon lain. Hasilnya, bila Anda melihat gerumbul pohon pinus, di sana hanya akan ada pohon pinus. Pohon-pohon lain sulit bertumbuh di sela-selanya. Nasib rerumputan dan belukar juga demikian. Keanekaragaman hayati yang jadi kampanye banyak pihak, termasuk pemerintah yang menyokong penanaman pinus, akan lenyap begitu jajaran pohon pinus tumbuh di satu kawasan.
Pohon ini juga kejam terhadap manusia. Pinus merkusii punya kemampuan mencegat air hujan, dengan ‘tingkat intersepsi’ yang sangat tinggi. Daun Pinus merkusii sangat rakus, sebab mereka tak punya jaringan dasar (Parenkim) yang biasanya bertugas menyimpan dan mengolah makanan. Karena itu, daun pinus harus terus menghisap air setiap ada kesempatan. Tingkat intersepsinya pun semakin tinggi ketika curah hujan sedang rendah. Semakin sedikit air dari langit, semakin rakus mereka mencegatnya.
Selain itu bentuk tajuknya yang berkerucut memungkinkan mereka bertumbuh dalam jarak antar pohon yang sangat rapat. Tutupan hutan yang rapat ini mencegah air hujan langsung jatuh ke tanah.
Daun pinus yang susah terurai juga membentuk lantai hutan yang nisbi seragam, rumput dan belukar sulit berkembang di bawah tutupan pinus. Akibatnya, air yang masih sempat lolos dari hadangan daun dan jatuh ke lantai hutan susah meresap, mereka berkumpul di permukaan tanah lalu mengalir sebagai limpasan.
Tak puas dengan itu, Pinus merkusii juga dengan serakah mengisap air yang sudah mengalir di bawah tanah. Jangkauan akar tunggang pinus dapat menembus bebatuan dan menjalar hingga jauh: satu setengah sampai tujuh kali rata-rata tinggi pohon. Pembuluh akar pinus yang bertugas mengisap dan mengangkut air memang lebih banyak ketimbang pembuluh yang mengantarkan makanan. Sehingga mereka mengisap air sampai kira-kira tujuh kali lipat lebih banyak dibandingkan pohon-pohon tinggi lainnya.
Akhirnya, air yang mereka cegat dari langit tak sudi mereka bagikan sebagaimana pohon-pohon lama yang menghuni hutan-hutan asli Sulawesi. Mereka cenderung pelit mengalirkan sebagian air yang mereka simpan untuk menjadi air tanah. Sebagian air yang mereka isap akan mereka terbangkan kembali ke langit. Dengan kata lain, tingkat ‘evapotranspirasi’ jenis pinus ini sangat tinggi. Penelitian yang dibaca para peneliti muda itu menyebutkan, jika dibandingkan dengan pohoh-pohon lain di hutan, Pinus merkusii juara satu dalam hal mengirim air ke langit.
Karena itu, sejak pohon-pohon itu tumbuh besar dan berlipat ganda, banyak mata air lenyap.
Baca essay lain: Kehampaan Hak Petani
***
Gugusan pohon inilah yang banyak menjadi obyek potret bergenre folk di Instagram. Memang sangat indah bagi orang-orang kota. Batang-batang tinggi besar, tanpa cabang rendah dengan tajuk kerucut, menampilkan kesan anggun sekaligus magis. Keseragaman tegakan pohonnya, lantainya yang bersih dari semak, kesejukan ciptaan tajuknya yang menghalangi terik matahari. Semua menyediakan fasilitas impian untuk membuat potret folk bagi para pelancong kota. Mereka melihat kawanan pinus sebagai bentang alam bernilai estetis, latar potret yang akan menerbitkan ketakjuban dari sesama orang kota.
Tetapi bagi orang desa yang bermukim di dekat hutan pinus, jajaran pohon anggun itu adalah bencana.
Ketika kemarau panjang, banyak petani di desa-desa yang diteliti itu susah payah mencari air untuk menyiram tanaman. Pohon-pohon meranggas, sawah gagal panen, sayur-sayuran di pekarangan mati kekeringan. Anak-anak dan orang dewasa, laki perempuan, harus naik turun lereng untuk mengangkut air dengan ember, sekitar satu kilometer bolak-balik agar bisa menggunakan air di rumah-rumah mereka. Itu pun mereka harus menunggu berjam-jam agar bisa mendapatkan air, setiap pagi dan sore.
Sebagian petani yang agak rajin harus menunggu sampai tengah malam untuk beberapa ember air, agar dapat menyiram tanaman mereka. Di kanan-kiri jalan dengan mudah orang bisa melihat pohon-pohon cengkih muda yang mati karena pemiliknya tak sanggup lagi menyediakan air buat mereka. Ini sebuah pukulan berat mengingat cengkih merupakan tambatan harapan baru setelah mereka bangkrut dengan kakao yang telah lama surut.
Pohon-pohon jangkung nan magis itu telah mencegat dan mengisap air mereka, dari langit maupun bawah tanah, lalu mengirim sebagian besarnya kembali ke langit.
Warga dua desa itu tidak sendiri, banyak desa lain di Sulawesi Selatan mengalami hal serupa. Tetapi warga desa tak berani menebang pinus untuk menggantinya dengan pohon lain. Gerombolan perampok air itu tumbuh dan terus meluas di dalam hutan negara tanpa halangan. Orang-orang desa tak sanggup mencegah pertumbuhan populasi pinus.
Saya teringat beberapa tahun lalu seorang aparat desa mengeluhkan perihal ini. Mereka bilang, sulit mendesak pemerintah agar paling tidak berusaha mengendalikan populasi pinus atau menghentikan datangnya bibit pinus baru dalam program penghijauan. Mereka punya alasan kuat untuk itu.
Mereka bukan hanya kekurangan air, sebentar lagi mungkin akan ada perang antar desa karena memperebutkan air yang kian berkurang. Tahun 2015 lalu, satu desa di hilir sudah mengirim polisi ke salah satu desa hulu yang diteliti itu dengan tuduhan kriminal: warga desa tersebut telah mencuri air. Padahal debit air memang sudah berkurang, desa-desa di lereng bukit itu sendiri sudah kekurangan air. Sangat kekurangan. Sebab beberapa tahun terakhir mereka sudah mulai membeli air untuk kebutuhan rumah tangga.
Dan bibit pinus dari pemerintah masih terus berdatangan. Padahal satu penelitian terpadu oleh beberapa tim universitas sekaligus di beberapa hutan berbeda sudah menyarankan: bahwa Pinus hanya bisa ditanam di wilayah dengan tingkat curah hujan tinggi, di atas 2000 milimeter kubik per tahun. Di bawah itu, penanaman Pinus akan menyusahkan.
Mereka bahkan menyarankan agar tidak menanam jenis pohon ini di kawasan yang hanya menerima curah hujan di bawah 1500 milimeter kubik per tahun. Sementara menurut data dari stasiun pemantau cuaca terdekat, curah hujan dua desa itu tidak sampai 1100 milimeter kubik per tahun. Angka nisbi serupa dapat kita lihat di banyak desa lain, terutama di bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan. Sebagian tempat itu juga ditanami Pinus merkusii oleh pemerintah.
Dengan begitu, tampaknya orang-orang kota akan punya semakin banyak tempat untuk mengunggah potret folk di akun Instagram mereka. Mereka akan datang mengabadikan pemandangan hutan pinus, sementara petani mungkin akan berhenti melakukan apa yang telah turun-temurun mereka lakukan, untuk akhirnya kehilangan folk mereka sendiri.
[…] Baca juga: Sisi Kelam Hutan Pinus: Folk bagi Orang Kota, Bencana bagi Orang Desa […]
[…] Baca juga: Sisi Kelam Hutan Pinus: Folk bagi Orang Kota, Bencana bagi Orang Desa […]
[…] essay sebelumnya: Sisi Kelam Hutan Pinus: Folk bagi Orang Kota, Bencana bagi Orang […]