Bollo.id — Sabtu, 11 Januari 2025, lalu menjadi momen berharga bagi warga Bara-baraya untuk berkampanye menolak digusur. Sebagai bentuk protes penolakan, mereka menggelar long march ke sejumlah jalan di Makassar.
Menurut warga, aksi ini juga sebagai respons kabar yang beredar bahwa dalam waktu dekat, upaya penggusuran akan dilaksanakan. Andarias, Ketua RW di Bara-baraya mengungkapkan, warga mengetahui adanya aktivitas aparat kepolisian yang meninjau lokasi sekitar tempat tinggal warga.
Aktivitas itu dicurigai sebagai persiapan untuk eksekusi. “Pihak Polrestabes turun ke wilayah Bara-baraya beberapa hari lalu, katanya untuk mempelajari situasi dan menentukan akses bagi alat berat, seperti eskavator, yang akan digunakan dalam eksekusi,” kata Andarias.
Sebagai aparatur pemerintahan tingkat bawah, Andarias mendapat informasi bahwa upaya penggusuran paksa tempat tinggal warga akan dilaksanakan bulan ini. “Informasi dari beberapa sumber menyebutkan eksekusi paksa kemungkinan dilakukan Januari ini,” ucapnya.
Menurutnya, meski belum bertemu langsung dengan pihak kepolisian, warga setempat sudah mencatat kehadiran aparat sekitar tiga atau empat hari lalu dan disertai kehadiran ekskavator dua hari di asrama Bara-baraya. Situasi ini memicu kekhawatiran warga.
Aksi long march tersebut sekaligus menjadi simbol solidaritas warga Bara-baraya dalam mempertahankan hak atas tempat tinggal mereka. Andarias menegaskan, warga akan tetap bersatu dalam melawan upaya penggusuran yang dianggap tidak sesuai prosedur hukum.
“Kalaupun kalian (penggugat) memaksakan untuk masuk dan merampas istana (tempat tinggal) kami, kami akan melawan. Teman-teman warga tetap solid, kompak mempertahankan ruang hidup kami di Bara-baraya,” tegasnya.
Andarias juga menyoroti proses hukum yang belum tuntas. Menurutnya, permohonan eksekusi telah diajukan ke Pengadilan Negeri, namun status sengketa tanah yang menjadi dasar penggusuran masih tidak jelas.
“Objek tanah yang mereka klaim tidak jelas batasnya. Saat sidang pun, mereka tidak bisa menunjukkan batas tanah tersebut,” ujar Andarias.
“Ini melanggar ketentuan Mahkamah Agung, yang menyebutkan objek sengketa yang tidak jelas tidak layak untuk dieksekusi. Kami akan segera melayangkan surat permohonan ke Mahkamah Agung agar fatwa diterbitkan, menyatakan tanah ini tidak layak digusur.”
Meski resah, Andarias memastikan warga tetap solid dan siap mempertahankan hak mereka. “Kalau mereka memaksakan eksekusi secara paksa, maka kami siap bertahan. Hidup mati kami di sini, di Bara-baraya,” tegasnya.
Protes berlanjut
Beberapa hari setelahnya, tepat Pada Rabu, 15 Januari 2025, warga yang tergabung dalam Aliansi Bara-baraya bersatu kembali berdemonstrasi di depan kantor Pengadilan Negeri Makassar. Aksi ini lagi-lagi sebagai bentuk protes sekaligus mempertegas sikap warga menolak tergusur dari tanahnya.
Aksi ini juga sebagai respons atas aktivitas aparat kepolisian yang beberapa hari sebelumnya mengecek jalan di kawasan tempat tinggal warga agar alat berat bisa masuk. Jika merujuk dalam Pedoman Eksekusi menurut YLBHI-LBH Makassar, “Eksekusi dilakukan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan”.
Sehingga Badan Peradilan sebagai salah satu unsur negara juga harus memperhatikan dampak yang timbul dari pelaksanaan eksekusi yang tidak memperhatikan dan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan rasa keadilan Warga Bara-baraya.
“Eksekusi yang tidak memperhatikan dan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan keadilan adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini hak atas perumahan dan hak atas hidup yang layak bagi warga Bara-baraya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tutur Nur Alisa, internal LBH Makassar, dikutip dari laman resmi LBH Makassar.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Pengadilan merespon aksi warga Bara-baraya dengan pertemuan di ruang Humas PN Makassar yang diwakili oleh Humas, Sibali dan Darwin. Hasil dari pertemuan tersebut diperoleh informasi bahwa hingga saat ini belum ada perintah eksekusi yang dikeluarkan oleh pihak PN Makassar.
“Pengadilan Negeri Makassar belum melakukan koordinasi dengan aparat keamanan terkait eksekusi di Bara-baraya dan hingga saat ini belum ada perintah eksekusi secara resmi yang keluar, kalaupun ada pasti akan diberitahukan kepada warga sebagai termohon eksekusi,” terang Sibali selaku Humas PN Makassar.
Dalam aksi ini LBH Makassar selaku kuasa hukum warga mengajukan surat permohonan penundaan eksekusi yang diterima langsung oleh Sibali, Humas PN Makassar.
Permohonan ini diajukan atas dasar masih adanya upaya hukum lain yang akan ditempuh warga Bara-baraya melalui kuasa hukumnya. Yakni aduan ke Kementerian ATR/BPN terkait adanya indikasi Mafia Tanah atas terbitnya SHM Nomor 4 Kelurahan Bara-baraya tahun 2016 sebagai sertifikat pengganti atas Tanah Verponding Nomor 2906 yang dikonversi menjadi SHM Nomor 4 Kelurahan Bara-baraya tahun 1965 yang dijadikan sebagai dasar dan alat bukti kuat kepemilikan objek sengketa oleh Nurdin Dg Nombong.
Dari PN Makassar, demonstrasi warga kembali berlanjut di depan kantor Polrestabes Makassar. Waga menyampaikan aspirasi dan keluhannya terkait keterlibatan kepolisian dalam proses rencana eksekusi di atas objek sengketa.
“Kami menilai tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang datang ke objek sengketa dan menyampaikan ke warga bahwa sedang mencari jalan masuk untuk alat berat untuk melakukan penggusuran adalah suatu perbuatan intimidatif oleh aparat kepolisian tanpa adanya koordinasi atau sepengetahuan dari pihak juru sita Pengadilan Negeri Makassar,” tegas hardik salah seorang warga.
Warga sempat meminta agar perwakilan dari kepolisian keluar dan berdialog dengan warga di depan Polrestabes Makassar. Tapi, pihak kepolisian menolak dan memaksa massa aksi agar mengutus perwakilan untuk masuk ke dalam.
Namun massa aksi enggan untuk masuk sehingga pihak kepolisian mengancam massa aksi jika tak ingin masuk dan tetap ngotot untuk berdialog di depan Polrestabes maka akan dibubarkan secara paksa.
Jauh sebelum aksi ini, perjuangan warga Bara-baraya menuntut keadilan serta menolak penggusuran sudah seringkali digelar di berbagai tempat. Mereka juga berkampanye di beberapa momentum agar otoritas terkait bisa membatalkan rencana penggusuran.
Sekilas tentang Bara-baraya
Perjuangan Aliansi Bara-baraya Bersatu mempertahankan tanah mereka yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Makassar, melalui jalur pengadilan berhasil dua kali menumbangkan “mafia tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin.
Merujuk dalam catatan LBH Makassar, sengketa pertama bergulir selama satu tahun, sejak 21 Agustus 2017 sampai dengan 24 Juli 2018 dengan nomor perkara: 255/Pdt.G/2017/PN.Mks.
Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua PN Makassar kala itu, Kemal Tampubolon, menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan penggugat” dengan pertimbangan bahwa penggugat dalam sidang pemeriksaan setempat, tidak dapat menunjuk batas tanah sengketa.
Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar melalui putusan Nomor: 501/pdt/2018/PT.Mks. Penggugat (Nurdin Dg Nombong) bersama Pangdam XIV Hasanuddin kembali mengajukan gugatan.
Lalu bergulirlah sengketa kedua selama delapan bulan, sejak 10 Juli 2019 sampai dengan 12 Maret 2020 dengan Nomor Perkara: 239/Pdt.G/2019/PN.Mks. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Suratno kembali menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan penggugat”.
Dengan pertimbangan bahwa warga atau tergugat menguasai tanah sengketa berdasarkan perjanjian jual beli dari Daniah Dg Ngai selaku ahli waris Moedhinong Dg Matika.
Untuk menentukan sah tidaknya jual beli tersebut, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah Kecamatan Makassar selaku pembuat akta jual beli mutlak ditarik sebagai tergugat.
Akan tetapi, dalam perkara ini penggugat tidak menariknya sebagai tergugat. Di sisi lain, dalam sidang pemeriksaan setempat penggugat tidak mampu menunjuk tanah yang dikuasai oleh masing-masing tergugat.
Adanya dua putusan pengadilan yang keduanya dimenangkan oleh warga atau tergugat, semakin meneguhkan dan menguatkan hak kepemilikan warga atas tanah sengketa.
Sebaliknya, putusan ini secara otomatis membantah klaim penggugat yang selama ini menganggap bahwa tanah sengketa termasuk tanah okupasi TNI-AD Kodam XIV.
Selain itu, terdapat kejanggalan dalam perkara ini dimana Nurdin Dg Nombong sudah dua kali menggugat warga, akan tetapi tidak berani menarik Daniah Dg Ngai sebagai tergugat di pengadilan selaku pihak yang telah menjual tanah sengketa kepada warga secara sah.
Sementara itu, Daniah adalah saudara kandung Dg Nombong yang keduanya adalah ahli waris dari Moedhinong Dg Matika, pemilik tanah sengketa. Dengan demikian, Daniah secara hukum punya hak untuk menjual sebagian tanah warisan Dg Matika kepada warga.
Demikian pula penggugat yang menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV untuk dijadikan asrama TNI-AD. Sebaliknya, jika Daniah dinyatakan tidak berhak menjual tanah warisan, maka penggugat juga tentu tidak berhak menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV.
Kemenangan ini adalah buah perjuangan kolektif dan konsistensi warga melalui Aliansi Bara-baraya Bersatu, yang didalamnya tergabung organisasi mahasiswa, NGO, serikat buruh, serikat juru parkir dan organisasi masyarakat miskin kota lainnya.
Bagaimana awalnya?
Dilansir sepenuhnya dari LBH Makassar, kasus ini mulai hangat dan mencekam kehidupan warga Bara-baraya, sejak Februari 2017, ditandai dengan adanya klaim dari pihak Kodam VII Wirabuana (sekarang Kodam XIV Hasanuddin) bahwa tanah yang ditempati warga merupakan bagian dari tanah okupasi Asrama TNI-AD Bara-baraya.
Padahal faktanya tanah yang dikuasai oleh warga adalah tanah miliknya sendiri berdasarkan akta jual beli. Klaim Kodam, ditindaklanjuti dengan adanya Surat Kodam VII Wirabuana, perihal: Pengosongan Lahan, masing-masing tertanggal 13 Februari 2017 dan 6 Maret 2017 yang ditujukan kepada masing-masing warga.
Atas klaim dan desakan dari pihak Kodam, warga menolak dan melakukan upaya perlawanan secara hukum dengan melaporkan tindakan Kodam ke instansi terkait yang berwenang, termasuk ke Presiden RI.
Presiden RI kemudian mengeluarkan surat kepada Kodam untuk tidak melakukan pengosongan lahan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. Senada dengan Komnas HAM, yang akhirnya mengeluarkan rekomendasi pada pokoknya menyatakan bahwa Kodam VII Wirabuana untuk tidak melakukan pengosongan lahan secara sepihak tanpa melalui putusan pengadilan.
Dua rekomendasi tersebut, memaksa penggugat dan Kodam untuk menempuh jalur pengadilan dengan mengajukan gugatan perdata-pengosongan lahan terhadap warga. Dan hasilnya, warga memenangkan gugatan di pengadilan.
Menurut LBH Makassar, perkara ini terus bergulir. Sedari awal kasus ini berlangsung terdapat dua versi klaim luasan objek sengketa. Peliknya, hingga kini penggugat sendiri tidak mampu menjelaskan batas wilayah kalim tanah yang dimaksud.
Selama ini, warga juga tidak pernah melihat sosok penggugat yang terus mengusik kehidupan warga Bara-baraya. Warga tetap siaga menunggu waktu kapan eksekusi dilaksanakan. Tak ada pilihan lain selain melawan!
Editor: Sahrul Ramadan