Ilustrasi kekeringan/kathmandupost.com
Ilustrasi kekeringan/kathmandupost.com

Bagian 1: Fenomena di Balik Kekeringan

Fenomena kekeringan menjadi faktor kuat yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan pendapatan rumah tangga pedesaan

Bollo.id — Fenomena kekeringan tumbuh bersamaan dengan euforia bermain layangan yang telah mengepung perdesaan, setidaknya itulah yang saya amati saat berkesempatan masuk ke desa-desa yang ada di Kota Bone tahun silam. 

Puluhan layangan menjadi bagian lanskap pedesaan yang mengemuka dan terpaksa harus dinikmati. Kebanyakan digerakkan oleh bapak-bapak hingga remaja. Saya mengamati beberapa rumah tangga turut memarkir layangan mereka dengan warna yang beragam layaknya penjaga rumah. 

Lantas apa yang tersisa dari deretan layang-layang di atas langit?

Mari mengingat kembali rekaman ulang fenomena yang terjadi pada tahun 2023 silam. Semua dari kita mungkin turut merasakan suhu bumi jauh lebih panas dibanding sebelumnya. Setiap saat tetesan keringat akan tumpah jika tidak mengeringkannya dengan alat pendingin seperti kipas dan ac (atau semacamnya). Itupun jika masing-masing dari kita memilikinya.

Pemanasan global menjadi faktor paling kuat yang menyebabkan bumi seolah terpanggang. Kita semua diserap layaknya bahan makanan yang gosong di atas piring—siap santap. Tentu terdapat sistem yang sedang menunjukkan kegarangannya dengan bumi. 

Pabrik dengan corong asap yang besar tidak lagi menjadi penampakan pada gambar-gambar di atas kertas. Kerukan tanah, hutan yang dicukur, juga gunung yang digunting, sungai berwarna keruh adalah rangkain proses akumulasi oleh segelintir orang untuk mengenyangkan dirinya sendiri sebagai kaum borjuis (pemilik alat produksi atau mungkin telah menempatkan diri sebagai pemilik bumi).


Baca juga:


Merasa tidak cukup mereka lalu melempari hadiah berupa kekeringan yang harus dikunyah bersama. Fenomena yang tengah menyulap kesibukan menjadi pesta berwajah tegang, termasuk setiap dari mereka yang menggantungkan hidup serta nasib pada tanah dan pertanian. 

El Nino adalah suatu peristiwa iklim yang berhubungan dengan meningkatnya suhu permukaan laut bersamaan dengan intensitas curah hujan yang jauh menurun. Nahasnya menggerogoti setiap lahan pertanian di pedesaan saat itu tanpa sistem pilih, entah lahan dimiliki oleh tuan tanah sekaligus bangsawan maupun yang digarap oleh petani kecil. 

Dengan demikian fenomena kekeringan menjadi faktor kuat yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan pendapatan rumah tangga pedesaan. Oleh karena itu krisis air bahkan kekeringan bukanlah fenomena yang lahir dari ruang kehampaan sosial, melainkan sebuah proses konstruksi secara sosioalamiah. 

Air menjadi kebutuhan yang sulit dipenuhi untuk membuat petani mampu menggemukkan tanamannya. Tumbuh kembang tanaman selalu memerlukan air yang cukup untuk membuatnya bisa bertahan. Tidak heran jika saat itu lahan-lahan yang terlanjur ditanami berujung pada kematian tanaman dan membuat beberapa petani harus menelan ludah sembari menerima nasib panen akan gagal. 

Sedang lahan lain dibiarkan menganggur untuk menghindari kerugian biaya sekaligus menekan ongkos tenaga yang telah dikerahkan. Kekeringan tidak hanya mengurangi hasil panen dan pendapatan petani, tetapi juga dapat mengakibatkan peningkatan biaya hidup akibat keterbatasan pasokan pangan (Hansen et,al., 2019; Loboguerrero et,al., 2019).

Petani-petani dalam kategori miskin melakoni hidup mereka di tengah-tengah keterhimpitan yang membuat nafasnya semakin tipis. Berharap pada lahan (mungkin luasnya tidak seberapa) yang terjangkit penyakit kering bukanlah posisi tepat untuk berdiri sembari meraba-raba hidup dan penghidupan yang mendekat dengan pisau tajam. 

Menerima tawaran-tawaran yang menghampiri mereka harus dilakukan segera. Salah satunya menjadi kuli bangunan, muncul layaknya angin segar untuk ditempuh. Saat itu saya mendengar beberapa kepala keluarga harus memenuhi kebutuhan akan uang dengan menjadi buruh bangunan untuk menutupi kemerosotan demi dapat menghembuskan nafas pada hari-hari selanjutnya. 

“Begitumi dek kalau kering sawah, apa-apa saja bisa dikerja untuk dapat uang (termasuk menjadi kuli bangunan).” Ucap Bapak K tempo hari.

Lebih lanjut, saya juga melihat dengan mata kepala sekaligus mendengar bagaimana sebagian rumah tangga mencari sumber pangan yang lain demi menyiasati kebutuhan konsumsi beras yang tidak lagi dapat dipenuhi oleh sawah-sawah mereka. 

Pohon rumbia menjadi pilihan yang diolah sedemikian rupa lalu dijemur hingga kering. Setelah itu, barulah pohon rumbia siap untuk dikukus dan disantap bersama. Warga yang saya temui mengatakan bahwa sumber pangan dari pohon rumbia dapat diakses secara bebas dan bersama, namun tetap harus meminta izin dengan orang yang dianggap memiliki kekuasaan tertentu.

Kekeringan telah membuat petani harus memikirkan ulang strategi melanjutkan hidup. Setidaknya demi menelusuri lorong gelap untuk menerangi jawaban atas beragam pertanyaan, “Besok akan makan apa? Bagaimana cara membayar biaya pendidikan anak yang semakin mahal?”.

Bermain layangan lalu dipilih sebagai jalan pintas untuk lepas dari domino pertanyaan yang silang sengkarut, terlebih kenyataan seperti menyergap dengan wataknya yang lebih keras kepala. 

Beberapa bapak-bapak tani telah melakukannya. Mengisi keseharian dengan sibuk bermain layangan di atas lahan-lahan mereka yang sedang ditimpa kekeringan panjang. Dibalik keriuhan dan kesenangan bermain layangan, pertengkaran yang hening sebetulnya tengah menggerogoti rumah tangga petani di pedesaan. 

Kekeringan telah menjadi persoalan bersama di kampung-kampung yang membuat mereka harus memeras pikiran lebih giat — hingga habis. Pada suatu ketika saya mulai merenungi penampakan ini, sembari memenuhi kepala dengan bertanya-tanya. 

Di tengah-tengah kegirangan orang-orang desa (khususnya lelaki) saat melihat layangan yang menari di atas awan. “Kira-kira seperti apa model kepalanya ketika kembali sadar bahwa lahannya tidak lagi produktif dalam beberapa bulan terakhir akibat kekeringan parah? Apakah fenomena bermain layangan muncul dari ruang kehampaan sosial? Atau mungkin ditempuh sebagai pintu pelarian akibat lahan yang tidak lagi memunculkan harapan?”.

Pertanyaan ini setidaknya dapat dikuliti untuk meneropong dinamika yang terjadi di pedesaan dewasa ini. Semua perjudian dengan hidup menjadi sedikit dikesampingkan saat layangan telah diterbangkan di atas sawah yang tidak lagi bisa memenuhi janji apa-apa.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Belum lagi ketika melihat sekumpulan orang yang punya posisi strategis di desa cenderung mewadahi aktivitas tersebut dalam bentuk “lomba layangan” yang marak dilakukan bersamaan dengan kontestasi politik pemilu. 

Perlombaan tersebut dapat memanggil semua orang di desa untuk datang beramai-ramai saling mengadu suara pitu-pitu yang paling nyaring. Padahal bisa saja bunyi perut adalah musik paling keras. Suaranya terdengar lewat kelaparan.

Bukankah “lomba layangan” tidak dapat menyulap kemarau menjadi gemuruh hujan seketika?

Kemarau panjang turut diromantisasi demi menyembunyikan kegelisahan akan air. Lomba layangan sekaligus menjadi arena kontestasi bagi aparatur desa (atau orang-orang yang punya kepentingan lain) untuk unjuk gigi. 

Menampakkan diri sebagai “orang baik” yang dilihat sedang berbagi rezeki dalam beragam bentuk hadiah disambut meriah oleh warga-warga di kampung, sekaligus menegaskan posisi masing-masing kelas tertentu.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Suluhpergerakan.org. Redaksi Bollo.id, menerbitkannya kembali dan membagi menjadi beberapa artikel.


Editor: Sahrul Ramadan


Muhammad Riski

Mahasiswa Universitas Hasanuddin

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Toponimi Bungaeja

Secara administratif, Bungaeja adalah salah satu dusun yang ada di Desa Tukamasea, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros

Skip to content