Gunung Latimojong/the7summitsindonesia.com
Gunung Latimojong/the7summitsindonesia.com

Menjaga Gunung, Merawat Kehidupan

Gunung berkontribusi menjaga ekosistem hutan di permukaannya, termasuk menyediakan energi, menjadi habitat tumbuhan hingga satwa

Bollo.id — Gunung mengambil peranan penting bagi keberlangsungan kehidupan. Food and Agriculture Organization (FAO-PBB: 2005) menyebutkan bahwa, pegunungan layaknya menara air yang menyimpan sekitar 60-80 persen air bersih (tawar).

Gunung berkontribusi menjaga ekosistem hutan di permukaannya, termasuk menyediakan energi, menjadi habitat tumbuhan dan satwa unik dan langka serta menyimpan kekayaan atau sebagai sumber pengetahuan. 

Sekitar 15 persen populasi dunia dan separuh keanekaragaman hayati juga hidup di sekitarnya. United Nations Environment Programme (UNEP: 2020) bahkan memosisikan gunung sebagai entitas alam yang memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan planet.

Peringatan Hari Gunung Internasional pada 11 Desember oleh FAO-PBB dimaksudkan untuk mengkampanyekan kepada masyarakat dunia terkait pentingnya memelihara gunung dan terus mendorong diterapkannya praktik pengelolaan terbaik untuk memastikan keberlanjutan dari keberadaan gunung.

Seiring dengan momentum itu, kelompok pemuda di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan memperingatinya dengan dialog publik yang mengangkat subtema “Mengapa ke Gunung dan Mengapa Gunung Wajib Dipelihara?”.

Kegiatan ini digelar di Aula Sekretariat Kwartir Cabang Pramuka Maros, pada 11 Desember 2024. Yayasan Bumi Toala Indonesia (YBTI) mengambil peran sebagai pemrakarsanya. Didukung jaringan komunitas dan organisasi pemuda. Diantaranya FK2TN Bantimurung-Bulusaraung, Pramuka Kwarcab Maros, FISS, Sanggar Seni Asea, KPA Gersang, KOSALAM dan puluhan organisasi lainnya.

Peringatan Hari Gunung “Solusi pegunungan untuk masa depan yang berkelanjutan – inovasi, adaptasi dan pemuda”, merupakan tema Hari Gunung Internasional di tahun ini, 2024. Tema kali ini dimaksudkan FAO tidak hanya menjadi momen peringatan, tapi juga momen bertukar pengetahuan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Ajang memamerkan praktik terbaik, dan dapat memobilisasi aksi kolektif dengan merangkul inovasi, adaptasi, pemberdayaan pemuda, dan pendekatan kolaboratif. Genesis dari peringatan Hari Gunung Sedunia ditandai dengan konferensi lingkungan dan pembangunan pada 1992 oleh PBB. 

Hasil pertemuan tersebut, menghasilkan sejumlah rencana tindak lanjut atau dikenal dengan Agenda 21. Pada Bab 13 mengingatkan tentang pentingnya gunung sebagai ekosistem yang rapuh. Satu dekade berselang (2002) kemudian dideklarasikan sebagai Tahun Gunung Internasional.

Lalu setahun berikutnya pada 11 Desember 2003 ditetapkan sebagai Hari Gunung Internasional. Momen memperingati pentingnya gunung tidak hanya didorong oleh PBB melalui FAO. Di Jepang misalnya, keberadaan Gunung Fuji yang sangat disakralkan dan dihormati oleh masyarakat, ditandai dengan penetapan Hari Gunung Fuji setiap 23 Februari sejak 2009 lalu. 

Peringatan Hari Gunung juga disematkan pada Gunung Bawakaraeng di Sulsel yang diperingati setiap 26 Maret, sejak ditetapkan pada 2015 lalu. Peringatan mengambil tanggal yang sama dengan peristiwa bencana longsor terbesar abad 21 di sana. Dari segi total buangan material yang jatuh saat itu dari salah satu bagian Gunung Bawakaraeng.

Gunung Bawakaraeng yang Malang

Dialog peringatan Hari Gunung Sedunia kali ini kembali menyinggung persoalan rusaknya Gunung Bawakaraeng yang sejauh ini belum mendapatkan perhatian nyata dan serius dari seluruh elemen. Termasuk unsur pemangku kebijakan setidaknya tujuh kabupaten atau kota yang menerima manfaat dari keberadaan Gunung Bawakaraeng.

Diketahui bahwa kerusakan Gunung Bawakaraeng terus mengalami peningkatan yang signifikan sejak Juni 2017 lalu. Diantara kerusakan yang nampak di permukaan, salah satunya adalah laju erosi yang makin tidak terkendali khususnya di sepanjang rute pendakian yang umumnya digunakan pengunjung. 

Menurut hasil riset Kriyaw PA dan NJTF (2018), hal ini disebabkan oleh menurunnya kapasitas tanah untuk infiltrasi dan ketidakmampuannya menahan air, karena hilangnya sebagian besar vegetasi untuk menekan laju erosi akibat masifnya kunjungan. Termasuk kunjungan massal pada momen Agustus-an.

Nevy Jamest, pemerhati lingkungan pada dialog publik tersebut mengungkapkan bahwa, kerusakan ekologis menjadi salah satu permasalahan. Namun permasalahan yang utama adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran seluruh pihak terhadap pengetahuan sejarah beserta kedudukan yang melekat pada Gunung Bawakaraeng.

“Mengapa persoalan Gunung Bawakaraeng sangat berat, karena tidak ada satupun pihak yang menguasai ilmu gunung,” kata pria yang akrab disapa Bang Nevy ini.

“Tapi mereka selalu berbicara tentang gunung, bahkan gunung dan hutan pun saja tak bisa mereka bedakan, parahnya dari kalangan akademisi kampus juga tak bisa membedakan itu,” ujar Nevy yang sudah aktif menyuarakan perlindungan gunung bulu bawakaraeng sejak 2004 silam.

Nevy menilai, bahwa kekeliruan dalam memahami gunung merupakan pangkal dari munculnya perilaku yang keliru dan merusak. Gunung tidaklah tepat jika hanya dipandang sebagai ikon keindahan alam yang kecenderungannya digunakan untuk mengakomodir kebutuhan pariwisata.

Melainkan gunung merupakan elemen penting dan memiliki peran vital dalam menjaga ekosistem planet (UNEP, 2020). Persoalan paradigmatik ini termasuk bersalah memahami hidup, maka akan hidup dalam kesalahan. Masalah Gunung Bawakaraeng juga terjadi karena keliru dalam cara pandang sehingga salah dalam memahaminya. 

“Gunung bukanlah sumber penghasilan melainkan sumber kehidupan. Pada intinya, bahwa setiap hal ada ilmunya, dan setiap ilmu ada ahlinya,” tegas Nevy.


Editor: Sahrul Ramadan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Nestapa di Latimojong

Di pegunungan ini juga berbagai hewan endemik Sulawesi kabarnya bermukim. Konon, jika pendaki sedang beraktivitas di

Skip to content