Bollo.id — Sore itu, sambil memandangi aktivitas kendaraan perusahaan yang lalu lalang, Cones duduk di kursi plastik hijau, mengambil sebatang rokok, sesekali memandang kami. “Baru belajar berbuah kalau pohon cengkeh yang di sini,” katanya.
Cones adalah petani cengkeh yang tinggal di Dusun Nase, Desa Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Cones punya tiga bidang tanah yang terletak di sekitar kaki Gunung Latimojong.
Tanah milik Cones yang pertama (yang viral karena pengrusakan tanaman oleh perusahaan), berukuran 6000 meter persegi atau 0,6 hektar dengan lebih dari 50 pohon cengkeh berumur 10 tahun hidup di atasnya.
Di atas tanah juga ini berdiri rumah panggung kayu yang kira-kira berukuran 10 X 6 meter persegi. Di sekitaran rumah ini juga hidup berbagai jenis bunga dan rempah-rempah dapur seperti daun sereh juga kemangi yang dirawat oleh Ruhaini (istri Cones).
Tanah selanjutnya berukuran 1,9 hektar yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah tadi. Di atas tanah ini juga hidup pohon cengkeh yang berumur lebih tua dari pohon cengkeh yang berjumlah 50 sebelumnya. Tanah ini sudah bersertifikat hak milik pada tahun 2005 melalui program Prona era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lalu ada tanah ketiga yang luasnya belum diketahui, juga berada tidak jauh dari rumah Cones. Situasinya juga sama. Hidup pohon cengkeh yang juga sudah berumur lebih dari 10 tahun atau kalau istilah Cones “bukan lagi belajar, tetapi sudah menghasilkan.”
Cones mulai membuka lahan pada 2001 di atas tanah milik pemangku adat bernama Parenge’ Lemo seluas 1,5 hektar atas izin Parenge’ Lemo. Pada awalnya Cones mengolah tanaman padi dan kopi, namun belakangan karena harga yang tidak menentu, Cones kemudian menggantinya dengan cengkeh sekitar 2014.
Pada Februari 2024, terjadilah pembagian tanah antara Cones dengan Parenge’ Lemo. Cones diberitahukan akan diberikan 1/3 dari luas tanah. Cones tidak terima, ia meminta untuk dibagi rata dimana itu aturan yang ia ketahui apabila terjadi pembagian tanah antara penggarap dan pemilik tanah. Penggarap harus dapat sama atau bahkan penggarap yang lebih.
Namun Parenge’ Lemo tidak setuju. Parenge’ Lemo kemudian menawarkan 6000 meter persegi untuk Cones dari tanah seluas 15.000 meter persegi tadi. Cones kemudian menyetujuinya.
Proses pembagian tanah tersebut langsung disaksikan oleh pihak perusahaan sebagai saksi. Tanah seluas 9000 meter persegi milik Parenge’ Lemo juga langsung dilepaskan untuk perusahaan. Cones ditawarkan untuk melepas tanahnya juga, tetapi ia tidak setuju.
*
Di atas tanah inilah kejadian pengrusakan oleh perusahaan terjadi. Pada Senin, 23 September 2024, 48 pohon cengkeh disensor tak berdaya oleh perusahaan emas PT Masmindo Dwi Area.
Cones dan keluarga (istri dan anak) kala itu sedang duduk di teras rumah mereka. Seperti biasa, pagi itu mereka akan menjemur cengkeh. Sekitar pukul 09.00 WITA, terdengar suara mesin senso (Chainsaw) sedang menebang pohon.
Cones dan keluarga mengira suara tersebut berasal dari kebun milik tetangga mereka yang berjarak sekitar 50 meter. Mata Cones sembab, bibir bergetar, ketika ia mencoba mengingat-ingat kembali teriakan anak dan istrinya. Sambil menunjukan beberapa video dan foto dari telepon genggam miliknya.
Apalagi kata Cones, “Kan kita tau itu dibawa sudah bebaskan lahannya ke perusahaan.”
Itu yang jadi keyakinan Cones ketika suara mesin Chainsaw menggelegar. Cones dan keluarganya penasaran lalu turun ke bawah.
Betapa kagetnya mereka ketika mendapati dua pohon cengkeh sudah tumbang di hadapan besi pemotong Chainsaw. Cones dan keluarga kemudian berusaha menghentikan. Cones ditahan oleh beberapa anggota Brimob. Cones berkata, “saya tidak mengacau, saya hanya mau melindungi tanaman saya.”
Aktivitas pagi itu kemudian berhasil dihentikan. Beberapa petugas yang memakai baju perusahaan, polisi dengan pistol, Brimob dengan senjata laras panjang, dan tentara mengawal proses penebangan pohon cengkeh Cones.
Cones dan keluarga kembali ke rumah, harapannya para pengrusak tanaman tadi tidak kembali. Tetapi siapa yang tahu, ternyata pada pukul 14.00 WITA, para pengrusak tanaman tadi kemudian kembali dengan lebih banyak orang. Cones ditahan oleh petugas.
Tidak hanya itu, istri Cones bahkan ditahan oleh beberapa orang Brimob berseragam lengkap. Sembari menangis, istri Cones mengatakan kepada Brimob, “Kalian ini bukannya menegakkan hukum malah jadi pengawal perusahaan.”
Tidak sampai disitu, Istri Cones masih berusaha untuk menghentikan aktivitas penebangan pohon cengkeh sambil berteriak, “Kita tidak tahu undang-undang, yang kita tau hak kita ini.”
Di sisi lain ternyata anak Cones (Livia) juga berusaha menghalangi penebangan pohon tersebut. Livia berusaha lari dan memeluk pohon cengkeh miliknya, namun sebelum sampai, tiga orang Brimob telah menahan badannya untuk mendekati tanaman cengkeh yang sudah ia rawat selama ini.
“Sudah mi, sudahmi, mama, mama, mama, sudahmi, itu pohon tidak bisa bicara. Sudahmi.” Teriak Livia.
Aktivitas pengrusakan tanaman tersebut berlangsung sekitar satu jam tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.
Saat kami berkunjung, Cones menceritakan ulang kejadian hari itu sambil sesekali mengeluarkan air mata, mengusapnya, lalu kembali menunjukan beberapa potong video yang ia, istri, dan anaknya sempat dokumentasikan sebagai bukti.
“Mereka bilang itu video tidak ada efeknya biar di video orang,” ujar Cones.
Sembari menatap bentangan Gunung Latimojong, Cones melanjutkan ceritanya. Pada Minggu, sehari sebelum kejadian, petugas sempat lalu lalang di dekat rumahnya. Cones sempat bertemu dan menanyakan terkait keberadaan petugas perusahaan di sekitar rumahnya.
Jawaban petugas perusahaan adalah mereka sedang melakukan pemetaan. Cones sempat curiga dan kembali meyakinkan dirinya dengan bertanya lagi terkait tidak ada aktivitas penebangan sebelum ada kesepakatan.
Petugas tersebut kemudian menjawab, “Tidak ada, hanya pemetaan saja.” Cones kemudian ingat, ternyata beberapa hari tepatnya di proses negosiasi terakhir, Jumat, ia sudah diingatkan untuk tidak menyesal kalau ada sesuatu. “Ternyata ini mi yang mereka bilang jangan menyesal,” kata Cones.
**
Cones lahir pada 1978, di Desa Rante Balla, salah satu dari 17 desa yang masuk dalam konsesi perusahaan tambang emas PT Masmindo Dwi Area.
Cones pertama kali mendengar cerita tambang emas sudah lama, sejak ia duduk di kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar. “Sejak 1988, orang-orang datang ke sungai-sungai, survei istilahnya.”
Pada tahun-tahun tersebut, Cones kecil juga melihat orang asing (bule) mengunjungi kampung halamannya. “Terakhir 2018, saya lihat bule ke kampung itu,” Tegas Cones.
Situasi desa mulai ramai dikunjungi orang-orang tak dikenal saat Cones duduk dibangku SMP. Namun kunjungan-kunjungan tersebut berlalu begitu saja. Juga dengan cerita tambang emas.
Barulah pada 2021-2022, Cones mendengar ada proses pembebasan lahan di beberapa tempat yang juga termasuk akan menuju rumahnya. Cones kemudian diundang menghadiri sosialisasi di kantor Desa Rante Balla.
“Ini ada pembebasan lahan kontrak karya. Semua yang punya lahan akan diganti rugi.” Ucap Cones menirukan perkataan sosialisasi dari dua orang petugas perusahaan yang hadir kala itu.
Dari petugas perusahaan tersebut juga Cones mendapatkan informasi besaran ganti rugi tanaman. Berdasarkan data Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), besaran ganti rugi pohon cengkeh antara Rp50.000 untuk 0 sampai 5 tahun, Rp500.000 untuk 5 sampai 15 tahun, dan Rp1.500.000 per pohon untuk 15 tahun ke atas.
Tahun 2024 inilah, Cones beberapa kali diundang untuk menghadiri sosialisasi. Mulai dari di kantor desa sampai di Belopa. Mulai dari petugas perusahaan sampai pihak Kejaksaan. “Yang tidak mau terima ganti rugi, silahkan ambil di kejaksaan uangnya,” kalimat sosialisasi terakhir yang diingat Cones.
Sosialisasi terakhir di Belopa, Ibu Kota Kabupaten Luwu pada September 2024. Sosialisasi dihadiri oleh pihak perusahaan, pihak kepolisian, Kejaksaan, dan lainnya yang masuk dalam Satgas Pembebasan Lahan. “Sosialisasi tertutup, hanya 10 orang dari kami. Dilarang merekam. Tidak boleh katanya,” kata Cones.
Berdasarkan Annual Report PT Indika Energi 2023, PT Masmindo Dwi Area merupakan perusahaan pertambangan emas yang memegang konsesi kontrak karya generasi ke-7 yang ditandatangani dengan Pemerintah Indonesia pada 1998 untuk proyek Awak Mas di Sulawesi.
Luas kontrak karya mencakup area seluas 14.390 hektar, yang semua konsesinya ini berada di Gunung Latimojong, masuk dalam 17 desa, dan 3 kecamatan. Merujuk pada laporan tahunan terakhir yang dipublikasi PT Masmindo Dwi Area di websitenya yakni: Laporan Tahunan pada tahun 2020, menegaskan struktur kepemilikan saham perusahaan ini terdiri dari Salu Siwa Pty, Ltd yang terafiliasi dengan Nusantara Resources Limited dengan 75 persen saham dan PT Indika Mineral Investindo yang terafiliasi dengan PT Indika Energy, Tbk dengan 25 persen saham.
Jika merujuk pada Annual Report Indika Energy mencatatkan kepemilikan saham Salu Siwa Pty, Ltd dan Nusantara Resources Limited yang berdomisili di Australia, tercatat kepemilikan saham 100 persen dari PT Indika Energy Tbk.
Sehingga secara sederhana dapat ditegaskan bahwa 100 persen kepemilikan saham PT Masmindo Dwi Area dimiliki oleh PT Indika Energy Tbk.
Latimojong yang Malang
“Hutan adalah jantung keanekaragaman hayati: flora, fauna berkembang, jasa lingkungan berlimpah. Dengan segala daya itu, hutan menjadi penyangga kehidupan manusia. Tak mengherankan hutan menjadi titik kompleksitas sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada skala tertentu, kawasan hutan justru menjadi perubahan dan pertarungan berbagai kepentingan,” kutipan kata pengantar Laporan Tahunan 2022 dari Yayasan KEHATI.
Pegunungan Latimojong adalah salah satu gugusan gunung yang membentang di beberapa kabupaten meliputi Toraja, Enrekang, Toraja Utara hingga Luwu. Latimojong juga merupakan gunung tertinggi di Sulawesi Selatan dengan hutan lumut terluas di Asia Tenggara.
Titik tertinggi pegunungan ini dinamai Puncak Rante Mario dengan ketinggian 3.430 meter dari permukaan laut (Mdpl).
Di pegunungan ini juga berbagai hewan endemik Sulawesi kabarnya bermukim. Bahkan konon, jika pendaki sedang beraktivitas di gunung Latimojong, dan mereka beruntung, mereka akan bertemu dengan Babi, Rusa, dan Anoa.
Kalau merujuk iucnredlist.org, salah satu situs untuk melihat status spesies yang terancam punah. Anoa, baik yang Anoa dataran rendah atau Bubalus Depressicornis maupun Anoa Pegunungan atau Bubalus Quarlesi, keduanya masuk dalam daftar merah situs tersebut, dengan kategori Endangered (EN) atau terancam punah di habitat aslinya.
Sementara untuk Rangkong-Julang Sulawesi atau Rhyticeros Cassidix sendiri berada dalam kategori Rentan Punah. Selanjutnya di Indonesia kedua hewan tersebut masuk menjadi satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Tidak hanya itu Tarsius juga masuk dalam kategori satwa yang dilindungi.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Ketika kami bertanya terkait keberadaan Anoa, Cones mengaku beberapa kali melihat dan berpapasan dengan Anoa saat sedang berkebun. “Ia ada, biasa kita lihat disini (anoa-nya), mirip kerbau biasa ada di tengah hutan,” ujar Cones.
Berbeda dengan Hendro yang tidak pernah bertemu lagi dengan Anoa sejak perusahaan beroperasi. “Selama bekerja menyusuri hutan, saya tidak pernah lagi bertemu dengan Anoa, hanya Rusa kadang-kadang. Padahal dulu, saya sering lihat,” ungkap Hendro sambil mencari dokumen PHK dari perusahaan untuk diperlihatkan ke kami.
Hendro baru saja di PHK pada 11 September 2024 lalu. Ia bekerja pada 2017 sebagai tim kru explorasi. Ia dipanggil bekerja di perusahaan untuk menemani tim geologis mengebor di beberapa titik, lokasi yang diidentifikasi terdapat emas.
Jarak kedalaman pengeboran yang ia lakukan bisa mencapai 800 meter dari permukaan tanah, dengan jarak kedalaman paling rendah hanya 30-60 meter. Dan selama tujuh tahun bekerja, lalu lalang hutan, ia tidak pernah bertemu hewan-hewan endemik seperti kata orang-orang.
Berdasarkan kajian teknis Pembentukan Taman Nasional Gunung Latimojong, bentang alam Latimojong secara topografi berat. Hal ini juga telah disebutkan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Masmindo Dwi Area yang menerangkan bahwa areal penambangan di Latimojong berada pada lereng yang curam dengan kemiringan lereng lebih dari 15 persen sampai 20 persen.
Bahkan di beberapa wilayah kemiringannya mencapai lebih dari 50 persen atau kemiringan lereng yang sangat curam. Itu penyebab wilayah di Latimojong sering terjadi bencana tanah longsor.
Kabupaten Luwu sendiri telah memiliki rencana mitigasi bencana longsor melalui Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Dalam aturan ini tegas dinyatakan bahwa, wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi untuk bencana Longsor (kemiringan lebih besar dari 40 persen) dan sedang (kemiringan 20 sampai 40 persen) dilarang untuk melakukan kegiatan penggalian.
Bentang alam Latimojong juga saat ini secara ekosistem telah diupayakan untuk dilindungi melalui penetapan menjadi Taman Nasional oleh Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK.
“Hal ini disebabkan oleh wilayah tersebut merupakan kawasan wilayah tangkapan air, dengan topografi berat dan resiko rawan bencana yang tinggi dan merupakan habitat dari Anoa, Ayam hutan, Rangkong, Tarsius dan Rusa,” jelas Direktur Perencanaan Kawasan Konservasi (RenKK), Ahmad Munawir pada acara Rapat Pra Pemaparan Konservasi Gunung Latimojong menjadi Taman Nasional (TN) 27 Mei 2022 lalu.
Penulis: Nunuk Parwati Songki & Hasbi Assidiq