Warga di Blok 8, Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, memakai perahu karet menyusuri genangan banjir/Muh. Syawal - Bollo.id
Warga di Blok 8, Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, memakai perahu karet menyusuri genangan banjir/Muh. Syawal - Bollo.id

RUU Keadilan Iklim di Sulsel: Suara Warga dan Organisasi Sipil Menuntut Perubahan

Banjir, kekeringan, erosi pantai, sampai kerusakan hutan dan wilayah pesisir menjadi masalah seiring dengan krisis iklim yang terjadi

Bollo.id — Ancaman bencana dipicu krisis iklim semakin mengancam banyak daerah. Termasuk Sulawesi Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, banjir, kekeringan, erosi pantai, sampai kerusakan hutan dan wilayah pesisir menjadi masalah.

Ditambah lagi dengan pesatnya pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, kondisi lingkungan di wilayah Sulsel semakin memburuk. Dalam upaya mencari solusi, berbagai organisasi masyarakat sipil dan warga terdampak di Sulsel menyatukan sikap untuk mengadvokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim.

“Beberapa organisasi masyarakat sipil di Sulsel sudah mengadvokasi dan mengkampanyekan isu-isu berkaitan dengan krisis iklim, walaupun secara spesifik itu kita menyetujui tetapi kita ada respons terkait dengan dampak resiko yang terjadi,” ungkap advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH-YLBHI) Makassar, Salman Azis, November 2024.

Menurut Salman, meski perhatian terhadap isu iklim terus meningkat, respons pemerintah begitu-begitu saja. Bahkan dalam beberapa kesempatan, LBH Makassar dan organisasi lainnya yang sudah berkonsultasi dengan melibatkan berbagai pihak. 

Mulai dari nelayan, petani, hingga komunitas perempuan dan penyandang disabilitas. “Konsultasi rakyat ini bertujuan untuk menginventarisasi berbagai masalah yang dialami warga terdampak krisis iklim di Sulawesi Selatan,” jelas Salman.

Kegiatan ini menghasilkan berbagai temuan terkait dampak nyata krisis iklim. Misalnya, warga di kawasan pesisir Tallo melaporkan krisis air yang semakin mengancam kehidupan mereka. Selain itu, masalah seperti kekeringan dan risiko bencana yang tidak dikelola dengan baik turut memperburuk kualitas hidup warga serta kerugian ekonomi akibat bencana dan eksploitasi alam.

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan juga menunjukkan bagaimana kerugian ekonomi akibat bencana yang dipicu oleh krisis iklim telah melanda daerah ini.

“Pada tahun 2019, bencana alam di Sulsel menyebabkan kerugian hingga Rp2 triliun, yakni kawasan hutan, pesisir, dan kawasan karst yang seharusnya dilindungi kini kian terancam oleh aktivitas ekstraktif, yang tidak hanya merusak lingkungan tapi juga memiskinkan masyarakat disekitarnya,” kata aktivis Walhi Sulsel, Arfandi.


Baca juga: Geothermal Solusi Palsu Krisis Iklim yang Ancam Perempuan hingga Masyarakat Adat


Kawasan hutan dan pegunungan, yang sebelumnya menjadi tempat tinggal serta sumber penghidupan bagi masyarakat adat dan petani, kini semakin terdesak oleh perluasan Hak Guna Usaha (HGU) skala besar.

Hal ini tidak hanya menghilangkan lahan produktif tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem. Di wilayah karst Maros dan Pangkep, yang memiliki peraturan perlindungan, aktivitas pertambangan masih berlanjut. “Kawasan karst sangat penting sebagai penyeimbang iklim di Sulawesi Selatan, tetapi kerusakan yang diakibatkan oleh tambang berkontribusi pada krisis iklim yang kita alami sekarang,” lanjutnya.

Arfandi juga menyoroti ancaman terhadap masyarakat pesisir yang mengandalkan laut sebagai sumber kehidupan. Perubahan tata ruang yang didorong oleh UU Cipta Kerja membuka peluang untuk reklamasi dan penambangan pasir laut, yang mempengaruhi keberlangsungan hidup warga pesisir serta pulau-pulau kecil.

Di sisi lain, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, Rizki Anggriana mengungkapkan, bahwa krisis iklim di Sulsel diperburuk oleh masalah agraria yang sudah lama terjadi. “Akumulasi konflik agraria di wilayah ini terus meningkat, terutama setelah penerapan UU Cipta Kerja yang memperparah kondisi penguasaan lahan dan perampasan tanah oleh investasi skala besar,” ujar Rizki.

Menurutnya, alih fungsi lahan pertanian dan perampasan tanah untuk proyek-proyek seperti perkebunan kelapa sawit, industri tambang, hingga proyek strategis nasional semakin memperburuk krisis agraria.

Rizki menganggap, regulasi pembangunan yang berlaku selama ini mengorbankan lingkungan dan warga. Seperti perampasan tanah yang sudah terjadi sejak orde baru dan terus terakumulasi hingga saat ini. “Setiap rezim justru memperparah situasi, khususnya setelah UU Cipta Kerja yang seolah memberikan karpet merah bagi investor,” tambahnya.

Sementara kehadiran RUU Keadilan Iklim yang diinisiasi oleh koalisi organisasi masyarakat sipil di Sulsel menawarkan harapan baru. RUU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat terdampak krisis iklim. Serta, memastikan partisipasi dari masyarakat dalam setiap proyek pembangunan yang mempengaruhi lingkungan hidup mereka.

Melalui konsultasi rakyat dan berbagai advokasi yang dilakukan, organisasi masyarakat sipil berharap RUU Keadilan Iklim dapat segera masuk dalam agenda pemerintah. Mereka menuntut agar setiap kebijakan pembangunan mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan lingkungan, sehingga dampak negatif terhadap warga dan alam dapat diminimalisir.

RUU Keadilan Iklim menjadi sangat penting untuk segera disahkan. Dengan adanya RUU ini, diharapkan ada perlindungan hukum yang kuat bagi masyarakat terdampak, terutama dalam menghadapi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam. 

“Disisi lain, bukan hanya menjadi simbol perlawanan warga Sulsel terhadap eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menjadi titik awal untuk mencapai perubahan sistemik yang lebih adil dan berkelanjutan,” tegas Arfandi.

Situasi krisis iklim perlu menjadi narasi publik yang disampaikan secara lugas dan tantangan krisis iklim tidak hanya menuntut solusi teknis. Tetapi juga perubahan mendasar dalam regulasi dan cara pandang terhadap lingkungan hidup.

Anggota Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Agus Mawan mengatakan, media perlu melihat secara kritis langkah pemerintah yang menawarkan solusi. 

Namun di beberapa tempat solusi ini justru membawa petaka. Seperti skema Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) yang gagal, hingga jargon-jargon transisi energi yang palsu.

“Kita bisa melihat bagaimana rencana eco firing justru mengaburkan makna mitigasi perubahan iklim yang ingin mengurangi pelepasan emisi karbon. Atau bagaimana membangun ekosistem kendaraan listrik untuk transisi energi justru meninggalkan jejak paling kotor,” tegas Agus Mawan.

Sementara, warga pesisir Tallo di Makassar merasakan dampak terbesar dengan adanya proyek pembangunan pelabuhan yang mengambil akses air bersih dan disalurkan ke pesisir untuk proyek. Kondisi itu membuat warga Tallo krisis air bersih.

Perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, tanah longsor telah menghancurkan sumber mata pencaharian terutama bagi nelayan. “Untuk bertahan perempuan buka warung kecil-kecilan untuk rumah tangga,” kata Hajira perwakilan Perempuan Pesisir Tallo.

“Terus laki-laki bekerja di luar kampung karena pendapatan dan cuaca sudah tidak menentu, sebagian kerja buruh angkut di lelang ikan, dan juga membangun kelompok untuk warga Tallo jual sembako untuk kebutuhan kehidupan sehari hari,” katanya. 

Sementara itu, upaya Solidaritas Perempuan Anging Mamiri (SPAM), memastikan suara perempuan terdengar dalam regulasi perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan perempuan di Sulsel.

“Berbicara krisis iklim adalah sebuah bentuk global yang menjadi perhatian seluruh masyarakat, ketika perempuan dan laki-laki dampak krisis iklim, namun dampak lebih berat dan berlapis dialami oleh perempuan karena peran gender yang dilekatkan kepada perempuan sebagai perawat keluarga,” ungkap Ketua SPAM, Suryani.

Di sisi lain, perempuan sering kali terlilit hutang di koperasi demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan perempuan petani, nelayan terpaksa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam sehari untuk memenuhi kebutuhan.

Akhirnya perempuan banyak kehilangan waktunya untuk istirahat dan berkumpul bersama keluarganya. Bahkan di beberapa tempat, perempuan terpaksa meninggalkan kampung untuk bekerja ke luar daerah hingga bermigrasi ke luar negeri, tanpa kepastian jaminan perlindungan dari negara.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Editor: Sahrul Ramadan


Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Warga Bercerita

Skip to content