Bollo.id — Debur ombak kala itu menyapu pinggiran pantai di sepanjang Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng. Siang itu, tepat di Dusun Mawang di Desa Papanloe, aroma serta terik terasa membakar kulit.
Nampak butiran debu-debu hitam yang bertebaran menyambangi satu persatu rumah warga yang ada di dusun itu. Berbeda dengan kondisi kawasan pesisir pada umumnya. Kali ini saya menjumpai rumah berlapiskan debu hitam, udara dan aroma yang menyengat.
Semua itu diduga bersumber dari smelter nikel yang berada tepat di sampingnya. Warga setempat, Akhriani R mengatakan, dampak yang dialami sejak adanya smelter di Bantaeng.
Debu-debu yang bertebaran tiap hari kian menumpuk. Perlahan merusak setiap bagian rumah warga. Meski pintunya telah ditutup rapat, tetap saja debu-debu itu masuk hingga mengotori pakaian yang tersembunyi di balik lemarinya.
“Meresahkan sekali, karena apa? Mana debu, mana asap, mana getaran. Nah itu debu biar ditutup begini rumah tetap masuk,” Akhriani murka.
Perempuan 36 tahun ini adalah salah satu tokoh masyarakat di Dusun Mawang. Ia kerap bersuara untuk terus melindungi hak-hak masyarakat di sana. Khususnya kelompok perempuan — ibu-ibu.
Akhriani juga menceritakan mengenai keadaan petani rumput laut, terutama kelompok ibu-ibu di Dusun Mawang. Katanya aktivitas itu sudah tak berjalan sejak Agustus 2024.
Limbah smelter membuat kualitas rumput laut berkurang. Mulai dari ukuran rumput laut yang semakin kecil dan hancur sehingga petani harus memanen lebih awal rumput laut sebelum waktunya. ”Kadang kuning, kadang merah, begitu itu akibat adanya smelter,” ungkapnya.
Menurutnya, sudah tidak ada yang bisa diperbuat, selain berupaya untuk membebaskan laut dari ancaman jangka panjang limbah smelter terhadap petani rumput laut.
Meskipun pembebasan yang diharapkan dari perusahaan untuk ganti rugi sejak 21 November 2024, hanya omong kosong. Alih-alih dibayar oleh perusahaan, yang ada hanya debu yang kian hari makin menebal.
“Bukan kami mau menjual laut, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kami olah,” kata Akhriani sembari membuka kedua telapak tangannya seolah menggambarkan kekosongan yang diterima. “Mau olah batu bata juga,sudah tidak ada tanahnya,” seorang perempuan di sampingnya menimpali.
Kemunculan smelter, awal dari petaka
Kabupaten Bantaeng resmi menjadi daerah industrialisasi dengan adanya pembangunan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) yang terletak di Kecamatan Pa’jukukang.
Kawasan ini didukung oleh landasan hukum yang termaktub di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2012. Pada Pasal 38 Ayat 2, ditetapkan bahwa kawasan industri besar berlokasi di Kecamatan Pa’jukukang.
Sejumlah perusahaan telah berinvestasi di KIBA. Tapi baru PT Huadi Nickel Alloy yang beroperasi. Sementara lainnya masih dalam tahap perencanaan pembangunan.
Menurut laporan WALHI Sulsel pada 2023, operasi pabrik nikel di KIBA telah memberikan dampak signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Khususnya di Desa Papanloe, Desa Baruga, dan Desa Borong Loe.
Meski membuka peluang ketenagakerjaan dan usaha baru, masyarakat di desa mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat aktivitas smelter nikel. Beberapa warga melaporkan kekeringan di sumur-sumur mereka sejak dimulainya proses pemurnian bijih nikel di kawasan itu.
Selain berdampak pada kondisi sosial-ekonomi, operasional KIBA juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Suara bising dari tungku pembakaran nikel yang beroperasi 24 jam.
Asap tebal menjadi sesuatu yang paling mencemaskan bagi masyarakat sekitar. Material bijih nikel mentah (ore) di area penumpukan (stockpile) juga membawa masalah, terutama saat musim hujan.
Limpasan dari area tersebut diduga mengandung logam berat yang mencemari saluran pembuangan air, laut sekitar, dan lokasi budidaya rumput laut milik warga. Pada musim kemarau, tanah di sekitar kawasan berubah menjadi debu yang menempel di rumah-rumah penduduk.
Nikel datang dengan penyakitnya
Menurut aktivis WALHI Sulsel, Fadli, musim hujan membawa kekhawatiran tersendiri bagi warga di sekitar KIBA. Tumpukan material bijih nikel mentah yang dibiarkan terbuka di area penyimpanan menjadi sumber utama permasalahan.
Ketika hujan turun, tanah merah dari tumpukan ini bercampur dengan air, mengalir ke saluran pembuangan, dan mengendap sebagai sedimen. Temuan terbaru bahkan menunjukkan bahwa air limpasan dari area tersebut mengandung logam berat berbahaya.
Seperti chromium hexavalent, dengan kadar jauh di atas ambang batas yang ditetapkan. Air tercemar ini mengalir ke laut, merusak habitat biota laut, termasuk ladang rumput laut yang menjadi sumber mata pencaharian warga.
Banyak petani rumput laut mengalami gatal-gatal di tangan akibat kontak langsung dengan air laut yang terkontaminasi. “Kalau teman-teman ke sana itu pasti lihat tangannya ibu-ibu yang mengikat rumput laut ataupun bapak-bapak yang sering memasang rumput laut itu pasti ada bekas gatal-gatal di tangannya,” ujar Fadli.
Ani, pengolah rumput laut di Desa Papanloe mengaku, penyakit gatal-gatal yang dialami ibu-ibu petani rumput laut memang biasa terjadi. ”Kalau musim hujan biasa ada gatal. Kira-kira dari airnya keluar dari rumput lautnya,” katanya perempuan 30 tahun ini sembari mengikat satu persatu rumput laut.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Dampak ekonomi petani rumput laut
Disisi lain, para ibu-ibu petani rumput laut di Dusun Panoang, Desa Baruga juga terkena dampak aktivitas pengolahan nikel ini. Joharia mengungkapkan, semenjak keberadaan smelter nikel di Bantaeng, harga jual rumput laut turun karena banyak yang rusak.
Joharia telah mengelola rumput laut kurang lebih 20 tahun. Katanya kondisi itu berbanding terbalik dengan harga beli bibit yang meningkat. “Ada bintik-bintik putih di rumput laut yang bikin rumput lautnya itu hancur,” katanya.
Saat ditemui, perempuan 50 tahun ini sedang mengikat satu persatu bibit dengan tangannya yang gesit, bak mesin yang bekerja. Seolah menunjukkan keahlian berapa lama ia telah menjadi petani rumput laut.
Warga Dusun Panoang lainnya, Muli bilang harga jual rumput laut yang mulanya Rp8.000 turun menjadi Rp4.000. Belum lagi jika banyak bibit yang hancur dan terpaksa harus panen lebih awal. “Biasa baru 20 hari, di bawah itu rumput laut sudah rusak,” ucapnya.
Belum lagi faktor lain seperti, kapal yang menabrak wilayah budidaya rumput laut. Tali yang digunakan tidak dapat dipakai lagi karena putus dan bibit yang ditanam juga hancur dan tidak dapat diolah. Penyimpanan hasil panen rumput laut juga tidak dapat disimpan lama lagi.
Editor: Sahrul Ramadan