Bollo.id — Pagar besi hijau menjadi pemisah antara aktivitas pabrik pengolahan bijih nikel dengan tiga orang anak yang sedang bermain kejar-kejaran. Mereka seolah bermain dengan santai tanpa terganggu mobil truk yang lalu-lalang.
Mereka pun tidak terusik dengan suara ekskavator yang memindahkan gundukan tanah dari satu sisi ke sisi lain; pun sudah mengabaikan cerobong-cerobong pabrik yang terus memuntahkan asap berbau busuk.
Yah ini sudah menjadi pemandangan biasa, bagi mereka yang hidup berdampingan dengan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). KIBA terletak di Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, memiliki luas lahan mencapai 3.151 Ha dan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Wilayah yang ditetapkan menjadi KIBA dinilai kering dan lahan tidak produktif. Padahal, sebagian besar masyarakat di sini, berprofesi sebagai pembuat batu merah, nelayan, peternak dan petani rumput laut.
PT Huadi Nickel Alloy merupakan pabrik smelter pertama yang berdiri di KIBA dan diresmikan pada Januari 2019. Pada peresmian tersebut diketahui, PT Huadi telah mengekspor 15 kali, dimulai sejak November 2018.
Kini, terdapat beberapa perusahaan baru yang berdiri yakni PT Huadi Yatai Nickel, PT Huadi Wuzhou Nickel dan PT Hangseng. Namun, di balik pembangunan dan aktivitas pabrik industri ini, ada keresahan yang sudah sejak setahun terakhir dirasakan oleh warga.
Adalah Amirullah atau kerap disapa Daeng Judda, salah satu warga Dusun Balla Tinggia, Desa Papan Loe, Kecamatan Pajukukang. Daeng Judda berprofesi sebagai pengusaha batu bata merah. Ia memulai usahanya sejak 2013, dengan sekali produksi mencapai 40.000 biji.
Untuk Bahan batu bata merah seperti tanah liat, sekam dan kayu itu dibeli sendiri. Sedangkan air sebagai bahan campuran tanah liat dan sekam, diambil dari air sumur milik Judda yang dekat dengan bantilan (rumah produksi batu bata) miliknya.
Namun sejak Februari 2021, air sumur yang biasanya mampu memenuhi produksi 2 bantilan, kini hanya menyisakan permukaan tanah yang kering. Sekarang, Daeng Judda dan Daeng Baharuddin memproduksi hanya mengandalkan hujan turun.
Dengan kata lain, mereka mengandalkan sekaligus memanfaatkan air hujan. “Sejak niaki (keberadaan) Yatai, Hanseng, rurung (sama) Wuzhou tena mi je’ne bungunga (air hujan sudah tidak ada-kering),” Ujar Daeng Judda sambil mengarahkan telunjuk ke arah barat, lokasi KIBA, pada 1 Januari 2022.
Beberapa warga yang saya temui, tanpa ditanya “mengapa sumur mereka kering?” mereka selalu melontarkan hal yang sama bahwa: sumur mereka mengalami kekeringan itu disebabkan karena adanya beberapa pabrik industri yang beroperasi.
Begitupun dengan Surianti, yang merupakan Kepala Dusun Balla Tinggia. Ia memiliki 2 unit bantilan dengan 4 orang pekerja. Para pekerja ini, ada yang bertugas mencetak batu bata merah, dan perorangnya akan mendapat upah Rp40.000 per biji. Sedangkan tenaga kerja yang menyusun serta membakar batu, perorangnya akan mendapat upah Rp100 per biji.
Dalam waktu tiga hingga empat bulan, dua unit bantilan miliknya mampu memproduksi batu bata sebanyak 30.000 biji sekali produksi. Satu bantilan milik Surianti berada di dekat KIBA dan satunya lagi berada tepat di belakang rumahnya.
Sayangnya, sejak Mei 2022 air untuk kebutuhan produksi yang diambil dari sumur milik Surianti, telah mengering. Kini bantilan Surianti berhenti berproduksi karena kehilangan sumber mata air. Sebagai akibatnya, maka para tenaga kerja yang dipekerjakan, harus kehilangan pendapatan.
Bahkan saat saya berkunjung, bantilan yang berada di belakang rumahnya hanya tersisa tanah lapang. “Dulu itu, belum pi banyak yang punya sumur bor. Jadi banyak warga yang sekitar sini, di sumurku ji ambil air untuk buat batu bata, yang punya bantilan. Tidak kering-kering itu sumur, na banyak ji itu orang ambil air disitu,” ujar Surianti dengan wajah yang serius saat ditemui di kediamannya.
Kedua warga yang saya temui ini, hanya sekilas mewakili keresahan warga lainnya yang berprofesi sebagai pengusaha batu bata merah, namun terancam kehilangan mata pencaharian. Tidak lain hal itu disebabkan karena sumber air yang biasanya digunakan untuk produksi batu bata sudah mengering.
Berdasarkan survei pada 31 Mei hingga 1 Juni 2022 oleh mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Lapangan Pengganti (KKLP) dari STMIK Bina Adinata Bulukumba, data sumur yang telah kering sebanyak 36 di tiga wilayah Desa Papan Loe.
Secara detail, 12 sumur telah kering di Dusun Mawang, 13 sumur di Dusun Balla Tinggia dan 11 sumur di Dusun Borong Loe. Sedangkan jumlah bantilan yang terdampak adalah 57 unit.
Enam bantilan diantaranya sudah berhenti berproduksi dan selebihnya masih memproduksi dengan mengandalkan beberapa sumber air. Mulai dari sumur bor yang belum mengering, Pamsimas, PDAM, dan air hujan.
Lantas, apa penyebab sehingga sebagian sumur warga mengering?
Merujuk dalam rangkaian catatan aksi yang pada 23 Maret 2022 oleh masyarakat Papan Loe yang tergabung dalam GEMPA atau Gerakan Masyarakat Pajukukang Melawan KIBA.
Dalam dokumen tuntutan GEMPA disebutkan bahwa: kekeringan sumur yang dialami beberapa dusun itu diduga akibat sumur bor yang dibangun dalam kawasan industri perusahaan (PT Huadi, Yatai, Wuzhou) yang jumlahnya sampai ratusan.
20 diantaranya menggunakan pipa 10 inci dengan kedalaman setiap sumur 120 meter. Padahal dalam dokumen Amdal, perusahaan tidak akan menggunakan air tanah untuk kebutuhan pabrik industri nikel.
Namun, pada aksi ini, pihak perusahaan belum memberikan klarifikasi mengenai dugaan tersebut. Selain itu, belum ada rilis bukti ilmiah dari lembaga manapun yang fokus mengkaji lebih lanjut mengenai penyebab air sumur mengering di desa Papan Loe.
Padahal ancaman kekeringan sudah di depan mata. Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa air tawar yang ada di bumi hanya sekitar tiga persen, dan lebih dari 2/3 bagiannya membeku. Selebihnya adalah air tawar yang ditemukan pada air tanah.
Apabila penggunaan air tanah tidak dikendalikan penggunaannya, dengan kata lain tidak segera ditindaklanjuti maka jumlah ketersediaan air tanah akan semakin menurun bahkan habis.
Menurut Ferisman Tindaon (2015) dalam artikel opini berjudul “Ketika Air Tanah Kian Menipis” menyatakan pemanfaatan air tanah yang berlebihan tidak hanya menyebabkan perubahan tetapi juga kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah.
Penurunan muka air tanah terlihat dari semakin dalamnya sumur-sumur pompa bor sekaligus diikuti penurunan kualitas air, pencemaran, intrusi atau penyusupan air laut ke dalam air tanah tawar maupun terjadinya amblesan tanah.
Kenyataan bahwa secara geografis Desa Papan Loe terletak di sebelah selatan pesisir Provinsi Sulawesi Selatan. Ditambah banyaknya sumur bor yang dibuat di Desa Papan Loe, baik yang diduga dilakukan oleh perusahan industri nikel maupun bantuan sebelumnya dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral 2019, sehingga bahaya terjadinya intrusi dapat mengancam warga sekitar.
Kekeringan ini mengancam profesi warga sebagai pengusaha batu bata merah. Di sisi lain akan mengancam kebutuhan utama warga seperti mandi, mencuci, kebutuhan dapur, kebutuhan pakan dan ternak. Peran serta semua pihak sangat diperlukan dalam kasus ini.
Terutama pemerintah yang memegang kendali penuh atas arah tindakan dalam mengatasi ancaman kekeringan air di masa yang akan datang. Sekarang belum terlambat untuk memperbaiki segalanya.
“Ketika pohon mati karena terdampak polusi, ketika air tanah mengering karena pemakaian berlebih, Ketika ikan mati akibat limbah industri, barulah manusia menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang”.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Editor: Sahrul Ramadan