Separuh dekade lalu, air ledeng tetangganya berhenti mengalir. Padahal dari situlah Rahman bisa menikmati air bersih—tentu saja dia ikut membayar iuran.
“Itu di depan semua ada ledengnya tapi tidak mengalir,” Rahman menunjuk deretan rumah yang membelakangi rumah kayunya.
“Bahkan disuruh membayar. Bagaimana mau kita bayar sementara tidak mengalir air.”
Rahman seorang nelayan berkulit legam berumur 60 tahun. Di Tallo, laki-laki itu tinggal di Kampung Biring Jene, salah satu kampung tepian Muara Sungai Tallo, seberang blok permukiman Hasiah. Rumahnya menjulang tepat di atas tepi sungai dengan belasan tiang kayu, di ujung gang batas antara sungai dan daratan.
Di sini, kata Rahman, bikin sumur bor juga percuma. Air tanah telah berubah asin dan bau karena air laut selama ini menyusup. “Kadang kering juga,” katanya. “Karena misalnya ada titik bagus air, banyak lagi orang bikin sumur bor di situ semua.”
Demi air minum, Rahman merogoh duit hingga Rp 300 ribu dalam sebulan, buat galon dan air kemasan gelas, “itu di luar air ledeng yang dipakai mandi dan cuci”. Dan sejak air ledeng tetangganya berhenti mengalir, ongkos buat air bersih bertambah, karena dia harus lebih jauh pergi mencari titik air bersih.
Kadang kala, Rahman pergi ke suatu tempat—juga wilayah pesisir dengan krisis air—di mana para calon legislatif berkampanye. “Karena di sana kita bisa dapat air gratis,” Rahman tertawa.
Kapan akhirnya air di sini mulai macet? Kami bertanya.
“Itu pas bersamaan [beroperasi] MNP,” Rahman menunjuk sesuatu.
“Bagaimana sebelum pembangunan MNP?”
“Lancar,” lugas Rahman. “Pernah juga ada turun orang PAM ke sini, sudah lebih setahun kira-kira itu, mengalir kembali air. Sudah ada MNP. Sudah bagus dan akhirnya mengalir tapi cuma tiga hari, habis itu hilang lagi. Jadi saya pemikiranku, di-remote kayaknya ini air. Dibelokkan ke mana begitu.”
“Coba bayangkan,” kata Rahman pelan. “Itu kapal sandar di pelabuhan, di mana ambil air kira-kira? Jadi kita ini masyarakat berpikir, barang kali air turun di situ karena pas itu terbangun tidak turun ke sini air. Pipanya saja sampai, padahal sudah diganti pipanya sama orang PDAM.”
Tapi dia tak diam. Rahman protes ke PDAM Makassar, beberapa waktu lalu sebelum kami berjumpa. “Tapi katanya ‘ini musim kemarau’ dan kalau katanya sudah jalan nanti dari Maros akan baik. Tapi sekarang tidak ada.”
“Jadi betul itu,” Rahman menaikkan suaranya. “Pipanya saja sampai, airnya tidak.”
Selama empat hari, kami mengunjungi sejumlah permukiman di Kelurahan Tallo yang penduduknya kesusahan memperoleh air bersih: Dari Mangngara Bombang, Pancayya, Karaba, hingga Biring Jene.
Di sini, air ledeng yang lebih bersih mereka pakai buat keperluan masak dan minum, sedang air dari sumur bor untuk keperluan mandi cuci kakus.
Dugaan Rahman hanya salah satu dari sekian dugaan di Tallo, untuk menerka mengapa air ledeng tak pernah sampai ke permukiman mereka.
Seperti Rahman, beberapa orang mendengar desas-desus bahwa air ledeng itu dialirkan ke MNP, dua kilometer dari permukiman mereka. Sebagian orang lagi menduga, air mereka dibelokkan ke kawasan industri yang banyak berkecambah di Tallo. (Mohammad Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar mengklaim pergudangan di sekitar Tallo menggunakan air tanah)
Sementara yang lain meyakini, bahwa permukiman mereka berada lebih tinggi, sehingga air tak mampu ‘mendaki’. “Mungkin karena ini jadi hanya pipanya saja sampai di sini,” kata seorang Ibu yang kami temui di Tallo.
Tetapi tak seorang pun dapat memastikan dan meyakini apa yang mereka duga. Muh Idris Thahir, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PDAM Makassar, bilang bahwa air ledeng tak sampai bukan persoalan ketinggian. “Tapi karena kejauhan. Kita lihat sendiri ada ndak daerah berbukit?”
“Salah itu informasi,” kata Idris melalui panggilan telefon. “Kalau [sekitar] Mangngara Bombang, itu ada di ujung pelayanan. Jauh dari lokasi instalasinya PDAM.”
Tallo, adalah kecamatan di utara Kota Makassar—terjauh dari jantung kota. Dan Kelurahan Tallo, tempat hidup Hasiah dan Rahman, berada paling jauh.
Kelurahan Tallo salah satu yang terpadat di kecamatan ini. Rumah-rumah berjejal padat, mendekati tepi pantai dan muara sungai. Setidaknya, ada enam ribuan penduduk tinggal di sini dan banyak dari mereka hidup dari berkah laut.
Air ledeng yang bersirkulasi di rumah-rumah warga Kecamatan Tallo berasal dari Sungai Maros, yang dibendung di Bendungan Lekopancing, puluhan kilometer di Tompo Bulu, sebuah kecamatan terdalam Kabupaten Maros.
Dari bendungan itu air baku dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air 2 milik PDAM, di Panaikang, melalui saluran rumit. Membentang sepanjang 27,91 kilometer, gabungan saluran terbuka sepanjang 22,66 kilometer, siphon 4,52 kilometer, dan terowongan 0,73 kilometer.
“Memang suplai air di sana [Tallo] bergantung dari [Bendungan] Lekopancing,” kata Mohammad Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar, kepada Bollo.id baru-baru ini.
Tetapi debit air baku dari sana tak selamanya cukup, apalagi jika sedang musim kemarau. Sejak 2012, PDAM Makassar bersiasat memasang pompa portabel di Sungai Tallo, untuk menyedot air dan menutupi kebutuhan sumber baku dari Lekopancing yang menyusut.
Secara praktis dan biaya, siasat itu tak dapat diandalkan. Ketika musim hujan menaikkan debit sungai, pompa itu terendam. Biaya pengoperasian pun menuntut biaya selangit. Di tahun 2023, instalasi itu memakan biaya Rp 1,6 miliar, untuk biaya mobilisasi, bahan bakar, dan operasional buat mengoperasikan pompa selama lima bulan.
Pemerintah Kota Makassar kembali meluncurkan siasat lain. Membangun sebuah fasilitas Intake secara permanen, di Moncongloe. Sebuah proyek seluas 2400 meter persegi, berkapasitas 1200 liter per detik. Pembangunan proyek ini baru dimulai pada akhir Juli 2024.
“Insyaallah, dengan 2 pompa [tambahan] ini, akan bisa menyuplai ke utara,” klaim Danny sapaan Walikota Makassar.
“Nah… Kita kasih berlipat-lipat [suplai air] termasuk untuk mengantisipasi kemarau.”
Jadi persoalan apa sehingga air ledeng tak mencapai separuh Kelurahan Tallo?
“Tekanannya. Jauh sekali dari instalasi kita,” kata Idris dari PDAM Makassar, di ujung telefon. “Tekanan air tidak bisa sampai ke ujung pelayanan. Dia kan di pesisir. Paling jauh di sana. Tidak banyak ji pelanggan di sana.”
Apa pun itu, dari segala banyak keperluan rumah tangga, Rahman dan warga yang bernasib serupa sangat butuh air bersih–entah dugaan mereka benar atau salah. “Ini kalau Caleg [Calon Legislatif] datang, satu ji yang kita minta. Air.”
“Pemerintah tidak pernah datang?” kami bertanya.
“Biasa ji datang Walikota,” kata Rahman. “Tapi bukan itu air dia urus”