Ini sudah tahun 2024

Dan persoalan akses air bersih di pesisir tak pernah usai

Sementara Kota Makassar sedang berambisi jadi Kota Dunia

Warga di Tallo harus susah payah untuk mengakses air bersih

Air Susah di Pesisir ‘Kota Dunia’

Sementara Kota Makassar sedang berambisi jadi Kota Dunia. Warga di Tallo harus susah payah untuk mengakses air bersih

Di sini, demi menikmati air bersih kamu masih perlu bersusah payah dan mengeluarkan banyak uang.

Dalam seminggu, keluarga Hasiah butuh puluhan jeriken air bersih. Untuk masak. Minum. Mandi. Mencuci dan berwudu. 

“Kita beli itu semua,” kata Hasiah. “Jadi kita pakai jeriken dua puluh liter.”

“Kalau air ledeng sepuluh ribu setiap minggu, ini dipakai masak dan minum, seribu satu jeriken harganya,” Hasiah membuka jemarinya. “Kalau sumur bor setiap hari lima ribu, dipakai mandi sama mencuci-cuci, kalau ini lima ratus harganya per jeriken.”

“Kadang bisa sampai dua ratus ribu per bulan keluar uangku.”

Hasiah tinggal di Pancayya, sebuah gang di Tallo, satu kelurahan padat di pesisir utara Kota Makassar. Dia masih kecil ketika keluarganya pindah ke Tallo dan membangun sebuah rumah, pada 1980-an. Di sini, mereka menjadi keluarga nelayan. 

Pada akhir 90-an rumah itu digusur tanpa ganti rugi, demi pembangunan sebuah kompleks pergudangan, yang kini jadi tetangganya.

Hasiah menjual kalung emas milik ibunya, demi membangun sebuah rumah baru dekat muara Sungai Tallo, tempat dia kini tinggal bersama suami, anak-anak, dan cucunya. Sebuah rumah kayu kecil berdinding dan beratap seng.

Demi air bersih keluarga Hasiah harus mencari ke mana pun, mendorong gerobak yang penuh deretan jeriken dan membawa pulang setelah terisi air. Rumahnya sama sekali tidak dialiri air bersih karena dia bukanlah pelanggan PDAM Makassar, perusahaan penyalur air bersih milik Pemerintah Kota Makassar. (Di Indonesia, air dimonopoli oleh perusahaan milik pemerintah daerah.)

“Jutaan dulu itu kalau mau pasang,” seloroh Hasiah. “Biasa datang orang tawarkan untuk pasang, tapi saya tidak mampu.”

Bagaimana pun, menjadi pelanggan PDAM bagi Hasiah juga percuma. “Sudah lama orang datang tawari pasang, tapi tidak jalan juga airnya. Sudah ada lima tahun tidak jalan.” 

Hasiah mengangkat telunjuknya. “Sempat jalan, tapi berapa bulan ji. Katanya tinggi di sini. Air tidak bisa sampai.”   

Kami menjumpai Hasiah, di suatu siang gerimis pada Januari lalu. Dia menjamu kami di sebuah ruangan dekat dapurnya. Di samping kami, puluhan jeriken kapasitas 20 liter bertumpuk bagai tembok. 

Seperti listrik, PDAM Makassar menetapkan tarif berbeda, menyesuaikan kemampuan pelanggan. Tetapi perusahaan ini mematok tarif yang sama untuk pemasangan.

“Mauku itu bilang, kalau bisa masuk air ledeng,” kata Hasiah. “Tapi begitu, saya tidak mampu bayar.”   

Hasiah, 62 tahun/Bollo.id
Hasiah, 62 tahun/Bollo.id
Tumpukan jeriken milik Hasiah/Bollo.id
Tumpukan jeriken milik Hasiah/Bollo.id

***

Di Kelurahan Tallo, pengeluaran keluarga untuk air, menghabiskan separuh pendapatan harian mereka, dan ketika kemarau menghantam, naik berkali-kali lipat. Persoalannya, kebanyakan dari mereka adalah keluarga dengan pendapatan di bawah seratus ribu per hari. “Kadang enam puluh ribu, kadang bisa tujuh puluh ribu dalam satu hari,” kata Hasiah.

Hasiah pernah mengambil keputusan pahit. Menikahkan putrinya yang masih belasan tahun. Dia tak sanggup memenuhi uang jajan anaknya itu. Dia ingin putrinya punya suami dan menafkahinya. Tetapi, putrinya ditinggal sang suami. Hasiah terpukul dan menyesal. “Mungkin karena perjodohan tanpa dasar cinta,” katanya.

Hingga lima tahun lalu, Hasiah dan anak-anaknya masih kerap melaut. Menebar pukat kecil dan menangkap kerang-kerangan. Hasil laut itu, setidaknya dapat menambal pendapatan keluarga. Di Tallo, menjadi nelayan bukan urusan laki-laki semata. Mereka adalah perempuan nelayan, sebuah identitas yang dinafikan di negara ini.

Tetapi sejak Pemerintah Indonesia membangun Makassar New Port (MNP), tak jauh dari wilayah tangkap mereka, semua berubah menjadi petaka. Wilayah tangkap itu kini berlumpur dan kerang-kerang menjadi langka—kalau tak ingin menyebutnya hilang. Menyisakan pertanyaan dan kepedihan.

“Saya dulu nelayan,” kata Masiah, seorang nenek berumur 70 tahun, di Karaba, satu kampung di Tallo.

“Setelah ada MNP saya tidak terlalu pergi mencari kerang, karena bagaimana mau pergi mencari, kerangnya sudah tidak ada. Padahal di situ laut tempat kita mencari. Walaupun di darat kita tidak dapat uang, tapi kalau di laut, kita turun pasti dapat. Biar lima ribu, sepuluh ribu. Tapi ini sekarang sudah tidak ada.”   

Makassar New Port adalah bagian dari Proyek Strategi Nasional Presiden Joko Widodo. Sebuah pelabuhan peti kemas, yang dipamerkan sebagai yang terbesar di Indonesia Timur, dan menghubungkan jalur dagang internasional. 

Pelabuhan itu telah menelan investasi Rp 89,57 triliun, sejak pembangunannya di tahun 2015.

Bollo.id telah mengirimkan sejumlah pertanyaan ke PT Pelabuhan Indonesia IV, pemegang otoritas MNP, soal keluhan para nelayan di Tallo, tetapi hingga kini belum mendapatkan tanggapan.

22 Februari 2024, MNP diresmikan Presiden Joko Widodo. Tak jauh, Perempuan nelayan yang terkena dampak MNP berdemonstrasi, tetapi aparat keamanan yang berjaga buru-buru merampas spanduk dan pataka yang mereka pegang.

“Peresmian pelabuhan MNP oleh Presiden Joko Widodo, [adalah] bentuk nyata pengabaian negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan pesisir dan nelayan tradisional,” kata Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.

Makassar New Port
Makassar New Port

***

Separuh dekade lalu, air ledeng tetangganya berhenti mengalir. Padahal dari situlah Rahman bisa menikmati air bersih—tentu saja dia ikut membayar iuran. 

“Itu di depan semua ada ledengnya tapi tidak mengalir,” Rahman menunjuk deretan rumah yang membelakangi rumah kayunya. 

“Bahkan disuruh membayar. Bagaimana mau kita bayar sementara tidak mengalir air.”

Rahman seorang nelayan berkulit legam berumur 60 tahun. Di Tallo, laki-laki itu tinggal di Kampung Biring Jene, salah satu kampung tepian Muara Sungai Tallo, seberang blok permukiman Hasiah. Rumahnya menjulang tepat di atas tepi sungai dengan belasan tiang kayu, di ujung gang batas antara sungai dan daratan.

Di sini, kata Rahman, bikin sumur bor juga percuma. Air tanah telah berubah asin dan bau karena air laut selama ini menyusup. “Kadang kering juga,” katanya. “Karena misalnya ada titik bagus air, banyak lagi orang bikin sumur bor di situ semua.”

Demi air minum, Rahman merogoh duit hingga Rp 300 ribu dalam sebulan, buat galon dan air kemasan gelas, “itu di luar air ledeng yang dipakai mandi dan cuci”. Dan sejak air ledeng tetangganya berhenti mengalir, ongkos buat air bersih bertambah, karena dia harus lebih jauh pergi mencari titik air bersih. 

Kadang kala, Rahman pergi ke suatu tempat—juga wilayah pesisir dengan krisis air—di mana para calon legislatif berkampanye. “Karena di sana kita bisa dapat air gratis,” Rahman tertawa.

Kapan akhirnya air di sini mulai macet? Kami bertanya.

“Itu pas bersamaan [beroperasi] MNP,” Rahman menunjuk sesuatu.

“Bagaimana sebelum pembangunan MNP?”

“Lancar,” lugas Rahman. “Pernah juga ada turun orang PAM ke sini, sudah lebih setahun kira-kira itu, mengalir kembali air. Sudah ada MNP. Sudah bagus dan akhirnya mengalir tapi cuma tiga hari, habis itu hilang lagi. Jadi saya pemikiranku, di-remote kayaknya ini air. Dibelokkan ke mana begitu.”

“Coba bayangkan,” kata Rahman pelan. “Itu kapal sandar di pelabuhan, di mana ambil air kira-kira? Jadi kita ini masyarakat berpikir, barang kali air turun di situ karena pas itu terbangun tidak turun ke sini air. Pipanya saja sampai, padahal sudah diganti pipanya sama orang PDAM.”

Tapi dia tak diam. Rahman protes ke PDAM Makassar, beberapa waktu lalu sebelum kami berjumpa. “Tapi katanya ‘ini musim kemarau’ dan kalau katanya sudah jalan nanti dari Maros akan baik. Tapi sekarang tidak ada.”

“Jadi betul itu,” Rahman menaikkan suaranya. “Pipanya saja sampai, airnya tidak.” 

Selama empat hari, kami mengunjungi sejumlah permukiman di Kelurahan Tallo yang penduduknya kesusahan memperoleh air bersih: Dari Mangngara Bombang, Pancayya, Karaba, hingga Biring Jene. 

Di sini, air ledeng yang lebih bersih mereka pakai buat keperluan masak dan minum, sedang air dari sumur bor untuk keperluan mandi cuci kakus.

Dugaan Rahman hanya salah satu dari sekian dugaan di Tallo, untuk menerka mengapa air ledeng tak pernah sampai ke permukiman mereka. 

Seperti Rahman, beberapa orang mendengar desas-desus bahwa air ledeng itu dialirkan ke MNP, dua kilometer dari permukiman mereka. Sebagian orang lagi menduga, air mereka dibelokkan ke kawasan industri yang banyak berkecambah di Tallo. (Mohammad Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar mengklaim pergudangan di sekitar Tallo menggunakan air tanah)

Sementara yang lain meyakini, bahwa permukiman mereka berada lebih tinggi, sehingga air tak mampu ‘mendaki’. “Mungkin karena ini jadi hanya pipanya saja sampai di sini,” kata seorang Ibu yang kami temui di Tallo.

Tetapi tak seorang pun dapat memastikan dan meyakini apa yang mereka duga. Muh Idris Thahir, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PDAM Makassar, bilang bahwa air ledeng tak sampai bukan persoalan ketinggian. “Tapi karena kejauhan. Kita lihat sendiri ada ndak daerah berbukit?”

“Salah itu informasi,” kata Idris melalui panggilan telefon. “Kalau [sekitar] Mangngara Bombang, itu ada di ujung pelayanan. Jauh dari lokasi instalasinya PDAM.”

Tallo, adalah kecamatan di utara Kota Makassar—terjauh dari jantung kota. Dan Kelurahan Tallo, tempat hidup Hasiah dan Rahman, berada paling jauh. 

Kelurahan Tallo salah satu yang terpadat di kecamatan ini. Rumah-rumah berjejal padat, mendekati tepi pantai dan muara sungai. Setidaknya, ada enam ribuan penduduk tinggal di sini dan banyak dari mereka hidup dari berkah laut. 

Air ledeng yang bersirkulasi di rumah-rumah warga Kecamatan Tallo berasal dari Sungai Maros, yang dibendung di Bendungan Lekopancing, puluhan kilometer di Tompo Bulu, sebuah kecamatan terdalam Kabupaten Maros.

Dari bendungan itu air baku dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air 2 milik PDAM, di Panaikang, melalui saluran rumit. Membentang sepanjang 27,91 kilometer, gabungan saluran terbuka sepanjang 22,66 kilometer, siphon 4,52 kilometer, dan terowongan 0,73 kilometer. 

“Memang suplai air di sana [Tallo] bergantung dari [Bendungan] Lekopancing,” kata Mohammad Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar, kepada Bollo.id baru-baru ini.

Tetapi debit air baku dari sana tak selamanya cukup, apalagi jika sedang musim kemarau. Sejak 2012, PDAM Makassar bersiasat memasang pompa portabel di Sungai Tallo, untuk menyedot air dan menutupi kebutuhan sumber baku dari Lekopancing yang menyusut. 

Secara praktis dan biaya, siasat itu tak dapat diandalkan. Ketika musim hujan menaikkan debit sungai, pompa itu terendam. Biaya pengoperasian pun menuntut biaya selangit. Di tahun 2023, instalasi itu memakan biaya Rp 1,6 miliar, untuk biaya mobilisasi, bahan bakar, dan operasional buat mengoperasikan pompa selama lima bulan.

Pemerintah Kota Makassar kembali meluncurkan siasat lain. Membangun sebuah fasilitas Intake secara permanen, di Moncongloe. Sebuah proyek seluas 2400 meter persegi, berkapasitas 1200 liter per detik. Pembangunan proyek ini baru dimulai pada akhir Juli 2024.

Insyaallah, dengan 2 pompa [tambahan] ini, akan bisa menyuplai ke utara,” klaim Danny sapaan Walikota Makassar. 

Nah… Kita kasih berlipat-lipat [suplai air] termasuk untuk mengantisipasi kemarau.”

Jadi persoalan apa sehingga air ledeng tak mencapai separuh Kelurahan Tallo?

“Tekanannya. Jauh sekali dari instalasi kita,” kata Idris dari PDAM Makassar, di ujung telefon. “Tekanan air tidak bisa sampai ke ujung pelayanan. Dia kan di pesisir. Paling jauh di sana. Tidak banyak ji pelanggan di sana.”

Apa pun itu, dari segala banyak keperluan rumah tangga, Rahman dan warga yang bernasib serupa sangat butuh air bersih–entah dugaan mereka benar atau salah. “Ini kalau Caleg [Calon Legislatif] datang, satu ji yang kita minta. Air.”

“Pemerintah tidak pernah datang?” kami bertanya.

“Biasa ji datang Walikota,” kata Rahman. “Tapi bukan itu air dia urus”

Pesisir Tallo/Bollo.id
Rahman/Bollo.id
Rahman/Bollo.id
Pesisir Tallo/Bollo.id

***

Pada 2045, Sulawesi Selatan bakal mengalami kelangkaan air, menurut laporan dari sebuah badan Pemerintah Indonesia.

Di tahun itu, pemerintah memperkirakan wilayah kritis air meningkat hingga 9,6 persen, dari 6 persen pada Tahun 2000. Penyebabnya: berkurangnya tutupan hutan di kawasan hulu sungai dan hantaman krisis iklim.

Dan di Tallo, kelangkaan ini dimulai sejak lama, sementara warga berharap pemerintah dapat melakukan sesuatu. 

“Hak atas air itu adalah bagian Hak Asasi Manusia,” kata Sigit Karyadi Budiono, dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA). 

“Karena air salah satu unsur penting kehidupan.”

Lalu bagaimana supaya air bersih ini tersedia buat semua orang? 

“Siapa pun, baik orang miskin, apa pun statusnya, kelasnya, dia harus punya hak untuk akses air atau sumber air,” menurut Sigit.

Gak ada masalah atau berapa pun sekiranya tarif yang ditetapkan, tapi hitungannya adalah kemampuan dan kesanggupan dari warga itu. Jadi ini soal jangkauan.”

29 Agustus 2024, belasan perempuan Tallo bersama kelompok organisasi masyarakat sipil di kota ini berkumpul dan meluncurkan protes kepada Pemerintah Kota Makassar. Bagi mereka pemerintah selama ini telah abai. “Kondisi ini memberi dampak buruk terhadap akses lain seperti ekonomi, sosial, dan kesehatan,” kata Hikmawaty Sabar, dari Walhi Sulawesi Selatan.

Tapi ada hal lain. Bagi mereka, kesulitan akses air bersih ini kerap kali hanya dijadikan sebagai alat penarik suara, menjelang pemilihan umum. Bagi Altriara Pramana Putra Basri dari LAPAR Sulsel, pemerintah tidak bersungguh-sungguh.

“Padahal sangat jelas amanah konstitusi dan undang-undang HAM,” katanya. “Negara atau pemerintah Kota Makassar punya tanggung jawab untuk melakukan pemenuhan Hak Dasar terutama hak atas air bersih. Karena tak ada alasan logis untuk kita mengatakan Kota Makassar menuju Kota Dunia atau kota bahagia jika rakyatnya masih mengalami kesulitan akses air bersih selama puluhan tahun.”

Perempuan Tallo protes ke Pemerintah Kota Makassar yang abai soal krisis air/Walhi Sulsel
Perempuan Tallo protes ke Pemerintah Kota Makassar yang abai soal krisis air/Walhi Sulsel

***

Di Tallo, belasan sumur bor menyebar ke sudut-sudut permukiman. Mereka dibuat ketika para politisi yang ingin naik ke tampuk kekuasaan datang untuk berkampanye atau bantuan dari pihak swasta. Beberapa terpakai. Beberapa tak berguna sama sekali bahkan sebelum dimanfaatkan, berdiri bak pajangan semata.

Sumur-sumur bor yang berfungsi diurus oleh warga dengan struktur dan pembagian tugas masing-masing. Warga yang memanfaatkan dibebani iuran dan diberi jatah harian. Di sebagian sumur bor, warga menarik pipa hingga ke rumah mereka dan diberi jadwal pengaliran. Tetapi, tak semua warga seberuntung ini.

Di seberang kompleks Makam Raja Tallo, ada sebuah ceruk tua, menampung air tawar.  “Tapi,” kata Hasiah. “Di situ banyak yang antre. Kalau kemarau seperti tahun lalu itu, kering juga. Jadi kita menunggu lagi airnya terisi lagi. Kita tidak tahan. Mending kita pergi beli.”

Hasiah/Bollo.id
Hasiah/Bollo.id

Saat kami berkunjung, anak-anak Hasiah tidak lagi berburu air bersih. Hujan telah turun setelah kemarau berbulan-bulan karena hantaman El Nino

Seperti tetangganya, Hasiah telah memasang instalasi penampungan air hujan yang sederhana. Corong plastik di ujung atap dengan pipa yang bermuara di sebuah tong besi, tempat air hujan tertampung dan dapat mengirit pengeluaran mereka.

Hujan semalaman telah mengisi penuh bak penampungnya. Jika itu habis—sebelum hujan datang, mereka harus mendulang air lagi dari sumur bor atau ledeng milik orang lain, berkilo-kilo meter jauhnya. Dan tentu saja dengan uang.

Umur Hasiah kini 62 tahun. Segala hal di sekitarnya telah berubah, kecuali satu: Mendapatkan air bersih masih saja susah!

“Waktu dulu pertama pindah ke sini, itu ambil air pakai baskom, dijunjung di kepala,” kata Hasiah. “Kalau sekarang pakai gerobak. Ditarik. Kalau ada orang yang pinjamkan motor, kita tarik pakai motor, kalau tidak ada kita sendiri yang tarik.”

“Itu bedanya. Tapi kehidupan tidak pernah berubah.”

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo

Foto sampul: Bollo.id

Tim Laporan Mendalam: Muh. Aidil, A. Nur Ismi, dan Agus Mawan W

Editor: Agus Mawan W

Penata ruang: Agus Mawan W

Skip to content