Siang selalu menolak melibatkan diri dalam rapat sosialisasi perencanaan reklamasi. Dia khawatir jika dalam pertemuan itu, dia bersama dengan nelayan lain justru terjebak karena membubuhkan tanda tangan: tanda bahwa mereka menyetujui reklamasi di Pulau Lae-Lae.
“Pemerintah itu pintar,” katanya.
“Dia bilang, ini semua orang Pulau Lae-Lae sudah tanda tangan, dia baleki kita.”
Suatu waktu, kata Siang perwakilan pemerintah bertanya. “Kenapa tidak mau direklamasi pulaunya?”
“Jadi kita bilang,” kata Siang.
“Kalau direklamasi itu, Pak, di mana mata pencaharian kita? Sedangkan yang mau direklamasi itu, di situ kami mencari. Jadi kami tidak mau.”
Sejauh ini rencana reklamasi itu masih dalam tahap persiapan. Pemprov saat ini sedang menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal). “Baru mau dianalisis lingkungannya, tapi didemo-demo terus,” kata Ichsan Mustari.
“Apa dampak lingkungannya?” jurnalis Bollo.id bertanya.
“Saya kira tidak berdampak pada lingkungan, insyaallah,” Ichsan menjawab. “Karena kan, dilakukan analisis dulu toh. Kalau memang tidak sesuai dengan lingkungan, kita tidak bangun. Kan gitu.”
Reklamasi Lae-Lae membutuhkan 380 ribu meter kubik urugan. Dalam dokumen kerangka acuan, urugan itu berasal dari sedimen di kanal pelabuhan milik Pelabuhan Indonesia IV, melalui proses penambangan. Ichsan mengklaim penambangan itu sudah sesuai aturan.
“Regulasi hukum ada yang kita pakai. Saya tidak terlalu tahu teknisnya yang pasti bahwa itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” katanya. “Itu saja.”
Selama di Pulau Lae-Lae, kami kerap mendengar ungkapan warga bahwa, jika reklamasi terjadi, maka pemerintah akan membangun sebuah jembatan yang menyambungkan CPI dan pulau itu. Ichsan membantah. “Saya tanda tangan lho, saya bikin pernyataan bahwa tidak ada dibikin jembatan.”
“Siapa yang bilang? Saya ini mewakili Pemprov,” kata dia.
“Di dalam [memang ada jalur pedestrian] bukan jembatan. Dia [Pergub Nomor 14/2021] tidak sebut mengenai jembatan toh,” kata Ichsan, sambil mencolek perut jurnalis Bollo.id, yang mewawancarainya.
Jurnalis Bollo.id juga menanyakan dampak sosial yang akan timbul dari reklamasi Lae-Lae.
“Dampak sosialnya?” jawab Ichsan. “Yaa… Masyarakat semakin punya tempat untuk meng-healing-kan dirinya, karena destinasi wisatanya ada.”
Icshan tertawa. “Masyarakat sudah punya banyak tempat untuk bersantai. Kumpul dengan keluarga. Sehingga, bisa betul-betul memperbaiki kondisi psikis mereka untuk menghadapi hari Senin sampai Jumat, saat mereka kerja.”
Pada kami, Ichsan mengklaim bahwa reklamasi Lae-Lae berbeda dengan reklamasi yang lain–tanpa menunjukkan contohnya. Yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial. “Jangan kita bayangkan sama dengan reklamasi yang lain,” katanya.