Suatu hari di Mampie, sebuah kampung di tanjung tepi barat Polewali Mandar, tahun 1999 silam, Darwis menyaksikan bagaimana ombak laut berganti-ganti menerjang deretan pohon kelapa hingga tumbang, dan bergulung-gulung mendekati perkampungan.
Waktu itu, usia Darwis masih lima belas tahun. “Kebun bapak waktu itu juga kena.”
24 tahun kemudian, saya menemui Darwis, di rumah panggungnya, pada akhir Juli 2023. Usia Darwis, kini sudah 40 tahun dan punya tiga anak. Dia masih ingat petaka itu. Di Mampie, Darwis menjadi kepala dusun, seperti ayahnya.
“Di mana kebun itu sekarang?” saya bertanya.
“Sudah hilang. Hanya sertifikat saja yang masih ada. Tiap tahun saya masih bayar pajaknya,” Darwis cerita. “Dulu di sana, banyak rumah dan kebun-kebun yang luas. Sekarang sudah hilang.”
Sejak 90-an, laut kerap membanjiri dan mengikis pesisir Mampie ketika penghujung tahun tiba. Menghapus daratan seluas satu setengah lapangan bola bersama tanaman dan harapan yang tumbuh di atasnya. Menyisahkan sedikit lahan buat warga dan mengubah air tanah yang tawar menjadi asin.
“Ah…,” sela Darwis. “Itu lagi masalahnya di sini. Air bersih.”
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
***
Saya berkeliling bersama Darwis. Di setiap sudut, dia melempar telunjuk ke arah laut. Berusaha menggambarkan pada saya, kehidupan lampau yang kini telah ditelan laut. Bahwa di sana pernah ada rumah dan jalan yang melintang. Hamparan kebun kelapa yang teduh. Parit tempat kerbau berkubang. Pohon jeruk dan sebuah pohon besar.
Seperti Darwis, warga memindahkan rumah mereka menjauh dari pantai. Tetapi, laut seperti bayangan mereka yang terus mengejar. Di Mampie, rumah tak hanya terhimpit laut, tapi juga tambak. Di tepi pantai tanggul telah terbangun dan menangkap sedimen, tetapi di sebelah deretan tanggul, laju abrasi tak pernah berkurang.
Saya juga melihat belasan titik sumur milik warga. Saya mencicipi dan membaui air di tiap sumur. Rasanya asin, berbau laut, dan berwarna kuning kecoklatan. “Dulu, sumur di sini jernih. Itu yang dipakai minum,” kata Hansiani, seorang warga Mampie.
Beberapa tetangga Hansiani, juga menampung air hujan. Mereka memasang sebuah corong dari botol bekas di ujung atap dengan pipa yang bermuara di sebuah tong besi. Tetapi, ketika saya berkunjung, musim kemarau telah mulai dan warga tak punya lagi air bersih selain mengandalkan air galon dan air sumur yang jauh dari Mampie.
Sejak air tanah mereka berubah asin, banyak tanaman yang mengering hingga akhirnya mati. Pohon-pohon mangga yang sebelumnya subur kini menjulang tanpa daun dan tak berbuah.
Baca laporan mendalam dari Agus Mawan: Linor: Amuk Gempa di Majene
***
“Jika musim barat,” kata Dwi Susanto, ilmuwan atmosfer dan kelautan University of Maryland. “Di situ [pesisir Sulbar] kecenderungannya akan terjadi banjir rob.”
Kenapa?
Pesisir Sulbar secara geografi terletak pada tepian Selat Makassar, di mana arus lintas Indonesia (Arlindo) berlangsung. Arlindo adalah arus yang merangkak dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, melalui perairan Indonesia.
Ketika musim barat, arlindo yang masuk melalui Selat Luzon menuju Selat Karimata dan menerus ke Laut Jawa, bergerak bersama angin menuju ke arah timur, di Pantai Barat, bertemu dengan arlindo di Selat Makassar.
“Makanya Sulawesi Barat dan Selatan muka lautnya akan tinggi. Kalau anginnya keras, ya air lautnya juga akan numpuk,” kata Dwi.
“Makanya, kenapa kok kalau musim barat banyak air [lautnya]. Jadi lebih ke arah monsunnya.”
Dari ujung ke ujung Sulbar, membentang 677 kilometer garis pantai, tempat orang memulai peradaban, membentuk perkampungan hingga menjadi kota yang gemilang. Secara administrasi, lima kabupaten berada di pesisir.
Setidaknya 88 ribu penduduk pesisir Sulbar terancam paparan gelombang ekstrim dan abrasi, menurut Indeks Resiko Bencana tahun 2023. Sejak 2021, bencana yang disusul banjir laut itu setidaknya telah merusak 18 hektare dan menelan kerugian hingga ratusan juta rupiah, di tengah kapasitas pemerintah di Sulbar dalam penanggulangan bencana yang rendah.
Tapi bukan hanya itu. Topografi Selat Makassar begitu beragam. Lantai selat sisi barat (paparan sunda) menjorok ke arah Mamuju dan membentuk tebing sempit, dan ‘menghimpit’ arus. “Jadi ibaratnya begini,” kata Dwi. “Jika pipa besar, terus dikasih sambungan pipa kecil, itu nanti arus yang lewat di pipa kecil akan besar sekali. Akhirnya kan, semprotannya lebih kenceng.”
Karena kondisi itulah menurut Dwi, pesisir Sulbar rentan pula terhadap abrasi.
***
Jelang petang, saya berkunjung di sebuah rumah, di tengah tanjung Mampie, di mana empat ibu-ibu sedang duduk dan mengobrol. Saya bertanya ke mereka tentang abrasi, banjir laut, air bersih, dan pengeluaran mereka untuk menjamin supaya air bersih tetap ada di rumah.
“Beli air galon,” kata Hasira. Ibu yang lain menganggukkan kepala.
Hasira cerita, dalam sekali beli, dia memboyong enam galon seharga Rp6 ribu. Air itu akan habis selama empat hingga enam hari. Ibu yang lain bahkan hanya tiga hari. “Tergantung pemakaian saja,” katanya.
“Karena kadang kita pakai cuci baju sekolah. Kalau air sumur dipakai itu baju jadi kuning.”
Hasira mengeluh pengeluarannya yang membengkak karena membeli air bersih. Dalam setahun Hasira harus mengeluarkan uang Rp6,9 juta untuk membeli galon. Sedangkan sumber ekonomi keluarga hanya bertumpu pada suaminya yang kerja serabutan.
“Biasa kita jual kelapa. Kita jual Rp3200 per 2 biji. Tapi semenjak itu abrasi, kelapa di sini sudah sedikit.”
“Menderita betul!” seloroh Hasira. Setelah tertawa, dia mengatakan kepada saya sebuah pernyataan umum di Mampie. “Di sini, lebih banyak yang hilang daripada yang tinggal.”
Tujuh puluh kilometer ke arah barat, di Pabettengan, sebuah dusun di Desa Pesuloan, pesisir Majene saya bertemu Jumari, pria kelahiran 1965. Di sini, Jumari menjabat sebagai Sekretaris Desa.
“Kalau mau cari sumur yang asin, di sinilah tempatnya,” kata Jumari.
Dusun Pabettengan terletak di tanjung, dengan ribuan pohon kelapa yang menjulang, dihuni seribuan warga. Halaman depan kampung ini adalah jalan lintas provinsi. Kampung ini punya satu masjid, yang kerap kali disambangi para pengendara.
“Tapi kalau dia sudah tahu airnya asin. Dia tidak akan singgah,” kata Jumari.
Dahulu, di Pabettengan, warga seperti bermain kucing-kucingan dengan air tawar. “Titik-titiknya berpindah,” kata Jumari. “Di mana titik yang tawar, warga ke sana. Kalau airnya berubah asin. Warga berpindah lagi.”
“Bagaimana kalau sekarang?” saya bertanya.
“Semua sudah asin kalau di dusun sini.”
***
Gempuran abrasi bertahun-tahun telah meninggalkan petaka berkepanjangan bagi warga pesisir. Mengubah garis pantai lebih dekat kampung dan di bawah tanah, air laut menyusup lapisan akuifer, mengubah cadangan air tanah mereka yang semula tawar menjadi asin dan tak layak lagi dikonsumsi. Orang mengenalnya sebagai intrusi air laut.
“Intrusi air laut, secara teoritik, bisa dibangkitkan oleh rusaknya beberapa komponen ekosistem pesisir,” Widodo Setiyo Pranowo, Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Seperti rusaknya ekosistem terumbu karang, berkurang atau hilangnya tutupan mangrove di pantai, dan peningkatan abrasi pantai.”
Saya menghubungi Widodo baru-baru ini, dan menunjukkannya sebuah peta, di mana tujuh titik pemukiman pesisir yang saya kunjungi pada akhir Juli 2023, mengalami intrusi air laut: Kambunong, Mamuju Tengah; Tapandullu, Mamuju; Pelattoang dan Pesuloang, Majene; Tangnga-tangnga, Polewali Mandar; dan Mampie, Polewali Mandar.
Widodo merujuk data model Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2008, yang digunakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010.
Secara umum—dalam model itu, kata Widodo wilayah pesisir Kambunong, Tapandullu, Pelattoang, Pesuloang, Tangnga-Tangnga, memiliki indeks kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim yang sangat rendah. Sedang wilayah pesisir Mampie, Polewali Mandar, memiliki indeks kerentanan pesisir yang tinggi.
Tapi itu dulu. Widodo terkejut, ketika mengetahui wilayah tersebut kini mengalami krisis akibat intrusi air laut yang menyusup ke sumur air tawar warga. “Maka ini adalah salah satu indikator dari peningkatan kerentanan pesisir secara cepat (rapid onset of climate change impact).”
Widodo juga membandingkan dua data gelombang di pesisir Sulbar.
Data pada tahun 2010 menunjukkan, bahwa tinggi gelombang di pesisir Sulbar bagian selatan mencapai 1-1,25 meter sedikit lebih tinggi daripada di bagian utara, 0,75-1 meter. Sedangkan, data terkini dari Januari 2021-Oktober 2023, Widodo menemukan, ketinggian maksimum dari gelombang di pesisir Sulbar, mencapai 2,3 meter.
“Ketinggian maksimum tersebut terjadi antara Desember hingga Januari,” kata Widodo. “Sehingga berdasarkan analisis dari kedua dataset gelombang tersebut, diduga saat ini terjadi peningkatan cuaca laut ekstrim.”
Frekuensi cuaca laut ekstrim yang meningkat selama 15 tahun (2008-2023) terakhir, kata Widodo, terjadi dalam kurun waktu cukup cepat (rapid onset of climate change impact).
Peningkatan tersebut, akhirnya menurut Widodo, berpotensi meningkatkan indeks kerentanan pesisir Sulbar terhadap perubahan iklim. “Dikhawatirkan, dampak perubahan iklim secara cepat tersebut akan berkombinasi (coupling) dengan dampak lambat (slow onset of climate change impact), seperti kenaikan muka air laut.”
Dua abad terakhir, temperatur bumi terus naik hingga satu derajat celcius, pada 2020. Dan jika temperatur bumi naik, begitu pula permukaan laut. Lapisan es terakhir di belahan utara meleleh, menambah volume air laut, dan memberikan titik tertinggi pasang mencapai daratan, melewati tanggul laut, dan membanjiri segalanya di pesisir juga pulau-pulau kecil berdataran rendah saat badai.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), permukaan laut bisa naik sekitar dua meter, di akhir abad ini dan peristiwa ekstrim permukaan laut yang dulunya terjadi sekali dalam satu abad akan terjadi saban tahun. Dari 1993, air laut telah naik setinggi 10,16 cm
“Ketika terjadi peningkatan tinggi muka laut secara signifikan, maka gelombang laut akan semakin leluasa menjalar ke pantai, meningkatkan potensi menginundasi/membanjiri daratan pantai,” kata Widodo.
“Sehingga semakin meningkatkan potensi intrusi air laut ke air tanah di wilayah pesisir Sulawesi Barat.” Dan menurut laporan IPCC tahun 2019, pada musim kekeringan, intrusi air laut kian meningkat.
Negara “Gagal” Memenuhi Hak atas Air Warga Pesisir
Selama sepuluh hari, saya mengunjungi lima kampung pesisir di Polewali Mandar hingga Mamuju Tengah. Masalah mereka sama: air bersih yang hilang karena intrusi air laut. Dan itu tidak terjadi baru-baru saja.
Di pesisir Kambunong, Mamuju Tengah, air tawar telah hilang sejak satu dekade lalu, karena intrusi air laut. Seorang keluarga bahkan menghabiskan sepuluh galon hanya dalam 4 hari.
Pemerintah Kabupaten Mamuju Tengah telah memasukkan pipa, tiga tahun lalu tetapi kini tak berguna. Di Pelattoang, Majene, air sumur mereka bahkan tak pernah berasa tawar.
“Secara tradisional, distribusi air di Indonesia tidak merata. Di situ makanya perlu intervensi negara,” kata Muhammad Reza Sahib, dari Koalisi Rakyat untuk hak atas Air (KRuHA).
Bagi Reza, kawasan pesisir sudah lama diabaikan. Reza mencotohkan, betapa mudahnya aktivitas tambang di pesisir diizinkan beroperasi, yang kelak dapat merusak pesisir dan cadangan air. Pengelolaan sumber air di banyak pesisir Indonesia pun, menurut Reza amat buruk. “Termasuk layanan airnya.”
“Dan itu tanggung jawab siapa?” kata Reza. “Itu tanggung jawab negara.”
Bagi Reza, hak air adalah hal dasar dalam hak ekonomi sosial dan budaya. “Dan hak atas air itu hak positif [Intervensi negara diperlukan], artinya jika tidak dipenuhi maka terjadi pelanggaran.”
Secara mandat, kata Reza, negara punya hak menguasai sebagaimana pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. “Jadi itu mutlak tanggungjawab negara dan hak masyarakat. Masyarakat pasif saja, tidak perlu ngapa-ngapain.”
***
“Hasil pantauan kita, Desember 2022, ada beberapa daerah yang parah karena air laut sudah masuk sampai pemukiman,” kata Khaeruddin Anas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Barat.
“Dan itu tidak bisa kita pungkiri bahwa itu adalah [penyebab] intrusi air laut.”
Pemerintah, kata Khaeruddin, telah menggelar penanaman satu juta mangrove dan melibatkan pelajar bersama warga pesisir, pada akhir tahun 2022. Harapannya, mangrove itu akan tumbuh dan menjadi sabuk pelindung.
Tetapi, penanaman mangrove itu diluncurkan pada bulan Desember, ketika musim barat berlangsung. “Tetapi di beberapa tempat, mangrovenya mulai tumbuh,” kata Khaeruddin. “Dan itu akan dijadikan pilot project untuk potensi wisata mangrove, seperti di Tabo, Majene.”
Khaeruddin mengklaim, tutupan mengrove di Sulbar sudah “besar” dan capaian indikatornya telah 80 persen. “Namun kenyataannya di lapangan belakangan ini banyak terjadi kerusakan terutama mangrove. Kemudian masih banyak ekosistem laut kita yang terganggu, seperti aktivitas pengeboman yang merusak terumbu karang.”
“Betul. Lebih banyak yang hilang daripada yang tinggal. Airnya juga hilang.”
Di Mampie, ketika Darwis menemani saya berkeliling, dia–sekali lagi–menunjuk ke tanah. “Di sini itu pipa pam.” Maksud Darwis: Pemerintah telah memasukkan pipa air ke Mampie, beberapa tahun lalu, tetapi gagal dan air yang mereka dambakan tak pernah sampai ke dalam rumah.
Suatu waktu, warga membangun bak air setinggi 5 meter dan mendapat bantuan air. Truk bak air keluar masuk. Seingat Darwis, truk itu masuk hanya beberapa bulan. Ketika berhenti, Darwis meminta di perusahaan daerah air minum (PDAM) Polewali Mandar, untuk menyalurkan air bersih ke Mampie. Permintaan itu dikabulkan.
“Tapi hanya satu kali saja datang,” kata Darwis.
Kedua kalinya, permintaan Darwis tidak dikabulkan. “Katanya hanya untuk yang langganan saja,” kata Darwis.
“Saya bilang ke dia, kami juga mau langganan. Tapi yah tidak ada lagi kabarnya.”
Kini, bak air itu hanya dijadikan penampung air hujan, ketika musim hujan tiba. Ketika kemarau, bak itu kosong. Warga hanya mengandalkan air galon dan air bersih di Galeso, berkilo-kilo meter dari Mampie. Seperti Darwis, dia harus ke rumah keluarganya di dusun sebelah, berkilo-kilo meter jauhnya untuk ambil air bersih. “Saya yang bayar tagihan PAM-nya tiap bulan. Rp 35 ribu.”
Tak jauh dari bak itu, Darwis kembali–untuk terakhir kali–menunjuk ke arah pantai. Sebuah tempat kesukaan Darwis saat kecil—bekas rumah pertamanya. “Di situ ada tiga pohon mangga. Saya suka panjat, ambil mangganya.”
“Tapi sudah hilang. Sudah lama,” Darwis tertawa.
“Betul itu di sini. Lebih banyak yang hilang daripada yang tinggal. Airnya juga hilang.”
Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan SISJ, CNN ID Academy, dan US Embassy.
[…] Baca laporan mendalam dari bollo.id: ‘Lebih Banyak Hilang daripada yang Tinggal’ […]
[…] Baca juga laporan mendalam tentang krisis iklim: ‘Lebih Banyak Hilang daripada yang Tinggal’ […]