Bagaimana Media di Makassar menjadi Mimbar Kebencian terhadap Keragaman Gender dan Seksual
Foto sampul: Brian Kyed/Unsplash

Bagaimana Media di Makassar menjadi Mimbar Kebencian terhadap Keragaman Gender dan Seksual?

Media online di Sulawesi Selatan menjadi mimbar bagi pembenci kelompok keragaman gender dan seksual.

8 Maret 2016, Walikota Makassar Danny Pomanto, kedatangan kunjungan pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Makassar. Hari itu, Danny menerima KAHMI di rumah jabatannya.

Dihadapan pengurus KAHMI, Danny meluncurkan niatnya untuk menangani kelompok LGBT, akronim yang kerap disematkan pada kelompok keragaman gender dan seksual: Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.

Danny menuduh LGBT macam orang sakit, tanpa bukti ilmiah. “Yang membutuhkan penanganan, perawatan, bukan dijauhi tetapi diobati.”

Klaim Danny, mencerminkan kekeliruan umum tentang LGBT. Padahal, sejak tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus homoseksual dari klasifikasi penyakit (ICD).

Kekeliruan Danny tak menghalau Tribun Timur, untuk memberitakannya. Tanpa mengoreksi ungkapan Danny, dua berita terbit di hari itu juga, tepat di tahun, ketika ujaran kebencian mendera komunitas LGBT dan tak pernah semencekam ini.

Judulnya meyakinkan: LGBT Ibarat Orang Sakit yang Butuh Diobati, Bukan Dijauhi tayang di tribunnews.com dan Danny Pomanto: LGBT Butuh Penanganan, Bukan Dijauhi di makassar.tribunnews.com.

“Seharusnya berita ini cover both side, minimal meminta tanggapan ‘pemerhati’ LGBT,” kata Manajer Online Tribun Timur, Mansur Amirullah.

Kemungkinan, kata Mansur, wartawan sulit menjangkau sumber dari kelompok LGBT. “Meskipun kalau mau berpedoman ke kode etik [jurnalistik], ini sebenarnya sudah bertentangan.”

Namun, sudah terlambat untuk menyadarinya. Stigma yang terselip, turut menjadi jeram kebencian terhadap kelompok LGBT di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebuah daerah tempat keragaman gender non-biner tumbuh dengan budaya, macam transpuan (calabai), transpria (calalai), dan Bissu yang memainkan peran spiritual di masyarakat Bugis, hingga sekarang.

Tribun Timur bagian Kompas Gramedia, berbasis di Kota Makassar. Sejak tahun 2004, menerbitkan koran harian dan tahun 2006 mengekspansi bisnis media siber. Kini, Tribun Timur merajai bisnis media siber di Indonesia. Dibaca jutaan orang.

Di Indonesia, nasib orang LGBT kian nestapa. Diskriminasi, beberapa regulasi pemerintah dan kekerasan telah merenggut kedamaian mereka, beberapa tahun belakangan. Stigma terhadap mereka seakan abadi.

Tribun Timur bukan cerminan seluruh redaksi media di Indonesia. Yang dinilai ramah belum punah. Persoalannya, dari berbagai studi, amat sulit membantah anggapan, bahwa banyak media belum ramah terhadap kelompok LGBT.

Di Sulsel, Tribun Timur tidak sendiri. Sepanjang tahun 2014-2019, Komunitas Sehati Makassar (KSM), menemukan 62 media, gencar memberitakan LGBT di Sulsel. Tribun Timur paling dominan, 109 berita. Menyusul Fajar Online, 30 berita dan 24 berita dari GoSulsel.com. Keseluruhan, KSM mengkliping sebanyak 361 berita.

288 berita diantaranya bernada negatif, berupaya menggiring opini penolakan dan membonceng pelbagai stigma. Hanya 34 bernada positif dan sisanya dinilai netral. “Dari pemberitaan-pemberitaan negatif itu, banyak mengandung stigma, stereotip, dan hal-hal yang sebenarnya tidak benar,” kata Eman Memay Harundja, ketua KSM.

Di Sulsel, media seakan merawat ujaran kebencian kepada kelompok LGBT. Tribun Timur dan Fajar Online membantahnya. Memberi porsi sama–bagi kelompok LGBT dan kelompok penentang–adalah alasan mereka. Namun menurut studi KSM, berita dengan ujaran kebencian justru meruah.

“[Berita ujaran kebencian] itu bisa menjadi opini baru masyarakat yang sudah membacanya. Biasanya, masyarakat menganggap bahwa [berita] itu benar,” kata Eman. “Contohnya, LGBT adalah penyebab bencana atau hal-hal negatif lainnya.”

Saya mencoba mewawancarai GoSulsel.com, tapi hingga kini tidak menanggapi. Wartawan lapangan Tribun Timur dan Fajar Online juga menolak diwawancara.


Baca juga: Hidup di Tengah Gempuran Tambang Nikel: Cerita Nelayan Luwu Timur ‘Terciprat’ Limbah [1]


“Semacam Paradoks”

Ujaran kebencian kepada kelompok LGBT makin menggeliat. Mengapa? Adakah peran media?

“Jelas ada,” kata Dina Listiorini, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).

Dina menyelesaikan studi Doktor, pada 4 Desember 2020, di Universitas Indonesia. Mengangkat disertasi berjudul; Rezim Kebenaran Media dalam Kepanikan Moral. Disertasi Dina mengurutkan bagaimana media siber macam Kompas.com, Tempo.co, Republika.co.id, Viva.co.id dan media teve, dari tahun 2016-2018 menebar narasi fobia LGBT melalui praktik kuasa dan kebenaran secara sistematik.

“Saya melihat, tidak pernah sebelumnya—sebelum di tahun 2016 itu, terjadi kecaman yang luar biasa terhadap komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif,” kata Dina.

Sejak tahun 2016, kepanikan moral tumbuh dan begitu cepat mewabahi negeri ini. Dina bilang, kepanikan itu bermula dari kasus Support Group and Resource Centre on Sexuality (SGRCS), di Universitas Indonesia, pada Januari 2016. Program SGRCS yang membuka konseling bagi individu LGBT di luar dugaan, meledakkan reaksi luar biasa, termasuk dari media hingga pejabat negara.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir, lewat media, mengecam SGRCS UI dan menyatakan, LGBT dilarang masuk kampus. Dari kalangan pejabat, Nasir tidak sendiri mengutuk LGBT.

Menurut laporan Human Right Watch, hingga Maret 2016, 17 pejabat dan lembaga pemerintah telah melayangkan kutukan kepada komunitas dan kampanye Hak Asasi Manusia terhadap kelompok LGBT. Dua bulan saja, LGBT bagai musuh bersama. Dan peran media, menurut Dina, adalah menyiarkan narasi ketakutan.

Pemberitaan bernuansa penentangan LGBT pun, melesat 12 kali lipat dari tahun sebelumnya. Ada 186 berita, menurut studi Arus Pelangi (AP), bersama Kemitraan – Partnership for Governance Reform, dan OutRight Action International.

Melesatnya pemberitaan yang mendiskriminasi kelompok LGBT, selaras dengan aksi kekerasan dan diskriminasi yang menyasar LGBT di Indonesia. Dari Januari-Maret 2016 saja, menurut Arus Pelangi, ada 142 kasus. Pelaku adalah aparat Negara`(27%), Organisasi Masyarakat (27%), dan media (22%).

Setahun berikutnya, masuk babak persekusi. Setelah kebencian-kebencian bermunculan, entah bagaimana kata Dina, penertiban LGBT bekerja. Atas nama moral, polisi merasa perlu ‘menertibkan’ kelompok LGBT. Dari bawah, masyarakat mendorong aparat hukum mengkriminalisasi orang LGBT, karena dianggap sebuah ‘ancaman.’

Tahun 2017, situasi mencekam. Kegiatan berbau LGBT santer dibubarkan paksa, meski hanya sekadar diskusi. Di Sulsel, Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria-Bissu dihentikan Polisi. Ratusan situs yang mengkampanyekan hak LGBT tak luput diblokir pemerintah. Media mulai mengaitkan orientasi seks dengan perilaku kejahatan. Sementara kekerasan menyasar individu LGBT terus berlanjut.

Di sisi lain, sementara kampanye homophobia dan transphobia meluas, kelompok konservatif—kantong gerakan menentang LGBT—berkecambah begitu cepat melalui budaya populer–yang menggaet banyak kawula muda.

“Tahun 2018 itu, sudah jelas-jelas memperjuangkan kriminalisasi. Dan ada daerah yang melakukan kriminalisasi itu. Di Sumatera Barat (Pariaman) itu sudah muncul Perdanya. Dan ‘berhasil’,” kata Dina.

Penanda meruaknya kepanikan moral menurut Dina, ketika upaya kriminalisasi dijalankan.

Ribuan kilometer dari Pariaman, pada pertengahan malam, awal tahun 2018, rumah Maria (bukan nama sebenarnya) seorang transpuan di Gowa, Sulsel, diseruduk puluhan warga. Di gerombolan itu Maria melihat, tetangganya, ketua RT dan kepala Dusun.

Polisi bersenjata mengawal kelompok warga dan menggeledah rumahnya. Warga dan Polisi menghujani Maria dengan pertanyaan dan umpatan kasar. Maria terdesak, tak kuasa membela. Dia terpojokkan di rumah sendiri.

Di rumah itu, Maria tinggal bersama pasangannya asal Australia. Mereka telah menikah secara sipil di negara asal pasangannya itu. Saat kejadian, tubuh pasangan Maria terkulai lemas, nyaris pingsan. “Kenapa kalian datang membongkar-bongkar? Memangnya kita bikin apa? Kita bisa bicara baik-baik,” kata pasangan Maria di hadapan warga, dengan bahasa Indonesia.

Tapi warga menutup telinga. Tetangganya keukeuh mengusir mereka. Warga menganggap jika pasangan itu tinggal seatap, maka kesialan segera melumat warga.

Maria menceritakan persekusi yang menimpa dirinya ke saya, pada penghujung November 2020. Kejadian itu membuat hati Maria hancur. Tubuhnya bergidik bila menceritakannya kembali. Setelah kejadian itu, Maria terpaksa berdamai dan menuruti kemauan tetangganya. Maria dan pasangannya kini tinggal berpisah. Jarak yang terentang di pasangan itu, tak bikin mata warga tercabut dari rumah Maria. “Warga bilang kalau tinggal berdua lagi, kami angkut ke kantor [polisi],” kata Maria.

Di Sulsel, Maria tidak sendiri. Sepanjang tahun 2007-2019, 21 transpuan telah menjadi korban kekerasan, menurut studi KSM. Kebanyakan, kasusnya menguap begitu saja.

Ironisnya, parade kekerasan ini, berguling di era reformasi. Seharusnya, demokrasi membuat Indonesia merengkuh keragaman, termasuk gender dan seksual. “Ada semacam paradoks ya,” kata Dina.

Indonesia dikenal negara heteronormatif paling ekstrim. Sejak kecil, melalui institusi pendidikan, manusia Indonesia, ditanamkan doktrin tersebut, melalui konsep keluarga ‘ideal’. Ada ibu dan ayah: laki-laki sejatinya menikahi perempuan, lalu beranak-pinak. Konsep ini dikenal dengan heteroseksual. Maka konsep sebaliknya dianggap asing dan menerabas kenormalan.

Kepanikan moral, menurut Dina, tumbuh melalui relasi kuasa dan pengetahuan, yang ingin mengabadikan doktrin heteronormatif—dengan membutuhkan pendisiplinan. Kepanikan moral yang homofobia, yang menebar rasa takut akan LGBT, katanya adalah cara kuasa heteronormatif menundukkan seksualitas manusia: “tubuh yang patuh.”

Dan, bagi Dina, media—tentu tidak semua—adalah satu diantara agen negara, yang menjaga moral sekaligus mendisiplinkan seksualitas warga negara.

“Saya temukan—dengan wawancara jurnalis, bahwa, rezim heteronormatif itu, salah satu yang membentuk karakter pengetahuan jurnalis,” katanya.

Dina punya pengalaman mentoring wartawan di Indonesia. Kerap kali dia temukan, kekeliruan wartawan saat menulis tentang transpuan–misalnya. “Masih beranggapan, itu orang perlu tahu bahwa dulunya dia laki-laki. Itukan sebetulnya, ketika teman transgender perempuan pingin dikatakan sebagai perempuan, ya sudah. Kita harus menghormati bahwa dia ingin disebut perempuan. Gak perlu melihat asal-usulnya.”

“Saya kadang berpikir, memberikan pengetahuan SOGIESC [ke Jurnalis] itu tidak cukup. Menurut saya, yang lebih krusial lagi adalah, menghancurkan paham heteronormatif yang melekat di kepala jurnalis. Dan itu tidak mudah.” SOGIESC adalah konsep pemahaman tentang keragaman seksualitas dan gender: orientasi seks, identitas dan ekspresi gender, dan karakteristik seksual.

Media meminggirkan kelompok keragaman gender dan seksual

“Ada tiga peminggiran [terhadap LGBT] yang dilakukan oleh media, yang kemudian media menjadi homophobic,” kata Dina.

Peminggiran bersifat ekonomi. Dina bercerita, wartawan kadang cemas bila memberitakan LGBT dari ‘sisi yang berbeda’. Pengiklan dan pembaca tidak bakal merapat. Bahkan khawatir bakal dipecat atau diserang kelompok penentang.

“Salah satunya juga: Karena pesta seks gay itu kalau dalam algoritma Google tinggi. Kalau kita nggak nampilin itu, kita nggak dibaca,” Dina cerita ungkapan seorang wartawan. “Itu persoalan teknologi, yang juga dipakai oleh media, yang jadi peminggiran.”

Dalam bisnis media siber, banyak ‘klik’ dan pembaca berarti keuntungan.

Media siber di Indonesia, umumnya mengandalkan iklan: dari pengiklan dan monetisasi situs lewat Google Adsense. Biasanya, pengiklan enggan membakar uangnya di media yang sepi pembaca. Tapi Google Adsense hal lain.

Google Adsense adalah tambang uang bagi media siber. Tak butuh bersusah payah, selama situs kebanjiran klik pengunjung.

“Jujur, kalau online dilihat dari nilai kliknya, jumlah pengunjung. Tidak bisa dipungkiri,” kata Edy Arsyad, Koordinator Sulsel Fajar Online.

“Kalau Fajar Online memberitakan LGBT, apakah banyak pembaca?” saya bertanya.

“Jujur bahwa judul-judul—yang tanda kutip—LGBT, banyak.  Apalagi pemberitaan yang menyebutkan perkawinan LGBT. Karena istilahnya di luar konsep mainstream, pasti orang penasaran [membacanya].”

“Itu berpengaruh ke bisnisnya?”

“Kita bicara redaksional saja, bahwa ada peningkatan pembaca.”

Bagaimana dengan Tribun Timur?

“Tidak ada data spesifik, apakah banyak penghasilan dari kata kunci LGBT,” kata Mansur. “Tapi rata-rata [berita LGBT] yang banyak pembacanya. Yang viral baru-baru ini, soal oknum Polri dan TNI itu. Saya lihat memang banyak pembacanya. Belum ada saya temukan, LGBT tidak ramah bagi pengiklan.”

Menjelang pemilihan umum, isu LGBT kerap kali menguat. Para calon, kerap berdandan diri anti-LGBT demi mengikat suara pemilih–yang mayoritas menolak LGBT. Peran media, menyiarkannya. Tanpa sadar–mungkin juga sadar–media telah melakukan peminggiran, yang bagi Dina, bersifat politik. Di Sulsel, cara itu bergulir ketika debat ketiga Pemilihan Gubernur dengan tema minoritas, pada tahun 2018.

Kala itu, gagasan Andi Sudirman Sulaiman, sekarang Wakil dari Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, tentang pemberdayaan kelompok LGBT dipelintir oleh lawan politik. Bahwa pasangan NA-ASS dukung LGBT. Di Indonesia, menyatakan dukungan kepada LGBT mengundang masalah. Dan, bisa ditebak, arah pemberitaan media di Sulsel seperti apa.

Fajar menayangkan berita berjudul: ‘Mengaku Dukung LGBT, NA-ASS Ibarat Pelihara Bom Waktu’. GoSulsel.com, berjudul: ‘Waduh, Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman Dukung LGBT’. Tribun Timur: ‘NA-ASS Dukung LGBT, Jubir NH-Aziz: Ini Bahaya Bagi Masyarakat Sulsel’.

Judul boleh berbeda, tapi semua berasal dari pers rilis. Isi berita cenderung memojokkan LGBT, bukan NA-ASS. Dari serangkaian pemberitaan soal itu, kelompok LGBT absen sebagai narasumber utama. Saya tidak menemukannya. Satupun.

Lebih jauh, ketidakhadiran kelompok LGBT sebagai narasumber berita adalah peminggiran secara sosial budaya.

“[Kelompok LGBT] dianggap tidak ada keberadaannya. Kemudian, sejarahnya ditiadakan. Orang tidak lagi, mencari sejarah atau riwayat-riwayat keragaman gender dan seksualitas di Indonesia,” kata Dina.

Namun, Dina bilang, Kompas hingga 2016 masih kerap menghadirkan keragaman gender dan seksualitas di Indonesia melalui pemberitaannya. Kompas relatif memposisikan kelompok LGBT sebagai manusia yang kehilangan haknya. Namun, riset media inklusif berdasarkan keragaman gender dan seksualitas dari Remotivi–lembaga studi dan pemantauan media, mendapuk Tirto.id di urutan pertama.

Peminggiran oleh media bukan hal sepele, begitu pula dengan berita-berita yang negatif menyangkut LGBT. Dampaknya bahkan, menggoyahkan psikis individu LGBT. “Kepercayaan diri [individu LGBT] bisa berkurang,” kata Eman.

Terlebih, katanya, bagi individu yang sama sekali belum mengenyam konsep SOGIESC. “Itu biasanya lebih tidak percaya kepada dirinya. Merasa bahwa ini [menjadi LGBT] sebuah kesalahan, sebuah hal yang tidak baik.”

Selama ini, KSM mengkampanyekan keragaman gender dan seksual ke masyarakat, selain memberi penguatan diri bagi individu LGBT yang terpinggirkan. “Kami melihat [berita-berita negatif] sebenarnya, bisa melemahkan apa yang sudah kami kerjakan, termasuk bagaimana membangun kepercayaan teman-teman komunitas.”

Di mata Eman, kebencian yang menyasar komunitas LGBT selama ini, semacam sistem agar orang-orang membenci LGBT. Melakukan persekusi dan kriminalisasi.

“Ini seperti upaya menghilangkan LGBT. Kayak mau dibasmi. Kayak komando bersama untuk membenci LGBT.”


VIDEO

Nestapa Nelayan di Tengah Gempuran Tambang Nikel


Bagaimana selanjutnya?

Tribun Timur dan Fajar, berkata tengah berubah dan kelak akan menjadi media yang inklusif, serta menekankan empati kepada komunitas LGBT di tiap pemberitaan. Saban tahun, Tribun Timur mengirim awaknya buat belajar lebih tentang peliputan minoritas ke Kompas. Sedang Fajar belum pernah melatih wartawannya soal keragaman gender dan seksual.

Selama ini, pedoman bagaimana menulis kelompok keragaman gender dan seksual belum ada. Sisi lain, wartawan, belum banyak memiliki perspektif yang baik tentang keragaman gender dan seksual. Belum lagi, bias si wartawan–dengan latar belakang beragam hingga redaksi medianya. Satu-satunya pedoman—meski kerap dipalingkan, adalah kode etik jurnalistik (KEJ) dari Dewan Pers.

Tapi, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), beranggapan lain. “Kode etik 11 pasal itu tidak cukup untuk memberikan panduan, terkait pemberitaan-pemberitaan keragaman seksual dan gender. Karena nggak detail,” kata Ahmad Alex, direktur Sejuk.

“Cuman pasal 8 ada sedikit itu: tidak berdasarkan prasangka [atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan] jenis kelamin. Tapi, apa? Lebih detailnya apa sih? Itu tidak dijelaskan.”

Sejuk bersama organisasi wartawan, katanya telah menyusun pedoman peliputan kelompok minoritas—termasuk minoritas gender dan seksual. “Itu sudah diserahkan ke Dewan Pers. Ini semacam panduan pelengkap dari kode etik.”

Bila KEJ belum cukup, sementara pedoman belum ada, maka bagaimana dengan uji kompetensi wartawan?

Tapi, apakah sertifikasi menjamin? “Aku setuju, bahwa sertifikasi itu tidak menjamin. Memang benar,” kata Alex. “Di daerah—saya tidak mau sebut nama organisasi yang suka bikin sertifikasi, [hanya] ngejar setoran sertifikasi.”

Dewan Pers, sejak 2010, melakukan sertifikasi wartawan, lewat uji kompetensi. Penyelenggara adalah organisasi profesi, macam Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Juga lembaga pendidikan pers, perguruan tinggi, dan badan usaha pers. Di Sulsel, Fajar adalah satu penyelenggara uji kompetensi.

Ada tiga jenjang uji kompetensi: dari wartawan muda, wartawan madya, hingga wartawan utama. Satu diantara tujuan uji kompetensi adalah meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.

Dalam uji kompetensi, kata Alex, umumnya hanya mempelajari hal dasar, menembus narasumber, dan mendalami KEJ. “Cover both side, ditanya. Itukan biasa aja. Itu nggak menjamin, tulisan-tulisan tidak bias terhadap kelompok minoritas—agama, gender dan seksual. Malah kalau waktu wawancara, kalau misalnya, nggak punya perspektif, nanti wartawannya justru–bisa saja, menyudutkan kelompok-kelompok minoritas. Memang, dia dapat beritanya. Tapi karena tidak punya perspektif gender, sehingga timbul bias.”

“Saya melihat dari teman-teman yang ikut, [uji kompetensi] tidak memasukkan soal perspektif, soal toleransi pada keragaman seksualitas. Tapi bukan berarti jelek, Ya. Saya nggak menentang, tapi [memang] tidak menjamin.”

Melihat media bagai mimbar para pengujar kebencian kepada kelompok LGBT, membuat saya mengingat istilah jurnalisme semu, yang dipakai Bill Kovach, pengajar jurnalisme. Ketika media tidak menengahi debat publik dengan fakta memadai. Reportase berubah sekadar ‘meminjam mulut’ penentang dan kecanduan isu yang terpolarisasi. Jurnalisme semu hanya menebar provokasi dan memupuk kebencian.

Tapi, pemberitaan negatif tentang LGBT mulai berkurang, menurut pantauan KSM. Harapan bahwa media kelak lebih baik, belum pupus. “Sangat besar sih harapannya. Dan saya yakin, masih banyak jurnalis-jurnalis yang menghargai keragaman. Dan beberapa media mulai baik,” kata Eman.


Tulisan ini merupakan bagian dari fellowship meliput keberagaman gender dan seksualitas di Sulawesi Selatan, yang diinisiasi Komunitas Sehati Makassar.

Tulisan ini telah tayang di Konde.co

Agus Mawan

Agus Mawan adalah jurnalis yang berbasis di Kota Makassar, Indonesia. Pada 2020, Agus Mawan meraih penghargaan Agrarian Reform Media Award atas peliputannya terhadap konflik lahan antara Orang Bunggu dan Perusahaan Sawit, di Pasangkayu, Sulawesi Barat.

1 Comment

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam

Skip to content